Senin, 09 September 2013

SABAR - RIDA - MAHABAH


Sabar


Sabar juga termasuk ibadah batin yang tinggi nilainya dalam pandangan Allah. Banyak firman Allah tentang sabar di dalam al-Qur’an, antara lain:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابرُوْنَ أَجْرَهُمْ بغَيْرِحِسَابٍ [1]

Artinya:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اسْتَعِيْنُوْا بالصَّبْرِِوَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابرِيْنَ [2]

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (menjalankan) shalat, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Sebaliknya, orang yang tidak sabar, yaitu putus asa, menggerutu, gegabah, terburu-buru, dan sebagainya, berat sekali akibat yang dideritanya; bahkan diperingatkan oleh Allah SWT, seperti disebutkan di dalam hadis qudsi:

أنَا اللهُ لآ إِلهَ إِلاَّ أَنَا مَنْ لَمْ يَشْكُرْ عَلَى نَعْمَآئِي وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلآئِي وَلَمْ يَرْضَ بِقَضَآئِي فَلْيَتَّحِذْ رَبًّا سِوَآئِي
Artinya:
Aku Allah, tiada Tuhan melainkan Aku; siapa tidak bersyukur atas nikmat-nikmat pemberian-Ku, tidak bersabar atas ujian-Ku dan ridla terhadap kepastian qadla-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku.
Pengertian dan praktek sabar luas sekali, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
الصَّبْرُ ثَلاَثَةٌ فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ وَصَبْرٌ عَنِ المَعْصِيةِ... (رواه ابن أبي الدنيا عن علي)
Maksudnya demikian; sabar ada tiga macam, yakni:
a.
صَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ
(Shabrun ’ala al-Mushibah)
b.
صَبْرٌ فِي الطَّاعَةِ
(Shabrun fi al-Tha’ah )
c.
صَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ
(Shabrun ’an al-Ma’shiyah)


a. Shabrun ’ala al-Mushibah 

Shabrun ’ala al-mushibah adalah sabar, tabah, tahan uji menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup. Diuji soal ekonomi, soal kesehatan, soal keluarga, soal pekerjaan dan sebagainya. Bersabdalah Rasulullah SAW:
صَبْرُ سَاعَةٍ عَلَى الْمُصِيْبَةِ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ [3]
Artinya:
Sabar satu saat atas mushibah itu lebih baik daripada ibadah setahun.

b. Shabrun fi al-Tha’ah

Shabrun fi al-tha’ah adalah kuat, tabah, tekun, rajin, dan bersunguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan; tidak menoleh ke kanan dan ke kiri; tidak terpengaruh sekalipun bagaimana rintangan dan gangguannya.

c. Shabrun ’an al-Ma’shiyah

Shabrun ’an al-ma’shiyah adalah kuat menahan diri dari maksiat. Betapapun pengaruh dan rayuan maksiat, orang yang sabar tidak terpengaruh sedikitpun olehnya, tetapi menjauhkan dan menahan atau menghindarkan diri dari maksiat. Sekalipun ada tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman yang ditujukan kepadanya, dia tidak gentar, tidak takut, dan tetap menahan diri dari perbuatan maksiat.

Di dalam prakteknya, sabar harus bersamaan dengan tawakkal. Di samping sabar harus tawakkal, pasrah, sumeleh, menyerah bongkokan kepada Allah SWT. Sabar tanpa tawakkal adalah sabar imitasi, sabar palsu, dan dengan sendirinya, salah guna dan ada pamrih di balik sabarnya itu. Misalnya ada orang mengatakan: ”Sudah tidak kurang-kurang saya menyabarkan diri, akan tetapi, yah, keadaan masih tetap begini saja”. Ini bukan sabar, tetapi malah menggerutu, tidak sabar atas apa yang dialaminya.
Definisi tawakkal antara lain disebutkan dalam kitab Ihya’:

اَلتَّوََكُّلُ عِبارَةٌ عَنِِ اعْتِمَادِ القلْبِ عَلَى الْوَ كِيْلِِ وَحْدَهُ [4]
Artinya:
Tawakkal adalah ibarat dari bersandarnya hati kepada Wakil satu-satunya.
Dengan demikian, tawakkal adalah perbuatan atau sikap batin dan termasuk ibadah batin yang diperintahkan Allah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur’an tentang tawakkal antara lain:
وَمَنْ يتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ [5]

Artinya:
Dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah-lah yang mencukupkan (keperluan)-nya.
Orang yang tidak tawakkal pasti mengandalkan selain Allah; dia mengandalkan kepandaian, semangat, usaha, perjuangan, jasa-jasa, taat dan ibadah, kekuatan, dan sabarnya, dan sebagainya, yang semua itu merupakan tandingan terhadap kekuasaan Allah. Orang seperti itu terjebak ke dalam syirik khafi (samar), tetapi dia tidak merasa (tidak menyadari).

Di samping sabar dan tawakkal, ada lagi kewajiban yang harus diisi, yaitu ikhtiar (usaha) mencari keadaan yang lebih baik. Misalnya orang sakit, di samping harus sabar dan tawakkal atas derita sakit yang dialaminya, berkewajiban usaha mencari kesembuhan; mencari jamu atau obat ke dokter dan lain-lain. Akan tetapi harus dijaga, di dalam ikhtiar itu jangan sampai mengandalkan ikhtiarnya; sekalipun sudah ikhtiar, harus tetap sabar dan tawakkal. Sebab jika orang mengandalkan usahanya, mengandalkan jamu atau obat, maka tawakkalnya menjadi hilang, sabarnya pun hilang pula. Orang yang mengandalkan usahanya, jika usahanya tidak berhasil, maka ia ngresulo, menggerutu, atau bisa putus asa; jika usahanya berhasil, maka ia merasa bangga, sombong dan semakin berlarut-larut, semakin jauh dari Allah.

Dengan demikian, sabar, tawakkal, dan ikhtiar harus gandeng menjadi satu. Jika hanya sabar dan tawakkal saja, tidak ikhtiar, padahal ada kemampuan dan kondisi yang memungkinkan, maka akan terjadi salah guna, salah penerapan. Akibatnya, ia menjadi orang lumpuh usaha alias pemalas, padahal sifat malas menjadi makanan nafsu. Kemudian dia mengandalkan tawakkal karena sifat malas itu, dan hal ini jelas tertipu oleh bujukan nafsunya. Begitu juga, jika hanya ikhtiar tanpa ada kesabaran dan tawakkal, maka hal itu akan menyeret kepada kesesatan.

Sabar itu menjadi kunci keselamatan dan alat peraih bermacam-macam pertolongan, tawfiq, hidayah, dan perlindungan Allah SWT. Dalam kaitan ini, bersabda Rasullullah SAW:

مَنْ أُعْطِيَ فَشَكَرَ وَابْتُلِىَ فَصَبَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ وَظَلَمَ فَاسْتَغفَرَ, سَكَتَ رَسُوْلُ الله r قالَ: لهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (رواه الطبراني والبيهقي عن سخبرة)
Artinya:
“Siapa yang diberi kemudian bersyukur, diuji bersabar, dizalimi memaafkan, berbuat zalim lalu minta maaf," Rasulullah SAW berdiam sejenak, kemudian bersabda lagi, “mereka itulah orang-orang yang aman (selamat) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (H.R. Thabrani dan Bayhaqi dari Sakhbarah).
Sabda Rasulullah SAW lagi:

إِنَّ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ أَعْظَمِ الْبَلآءِ وَإِنَّ اللهَ تَعَالى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا ابْتَلاَهُ وَإِذَا صَبَرَ اِجْتَبَاهُ وَإِذَا رَضِيَ اصْطَفَاهُ [6]

Artinya:
Sesungguhnya paling besarnya balasan Allah itu disertai dengan besarnya balak (ujian). Dan sesungguhnya apabila Allah SAW mencintai seorang hamba, Allah menguji nya lebih dahulu, jika sabar maka Allah memilihnya dan jika ridla, disayanginya.

Kata-kata orang kuno yang cocok dengan hadis tersebut adalah ”wong sabar kasihane Allah” (orang yang sabar itu kekasih Allah). Oleh karenanya, siapa yang ingin dikasihi, dicintai oleh Allah, maka dia harus sabar dan rida. Dikatakan bahwa “shabir” (orang yang bersabar) itu lebih utama daripada “syakir” (orang yang bersyukur). Sebab, terhadap “syakir” Allah menjanjikan “la-azidannakum” (kelipatan tambahan nikmat), sedangkan terhadap ”shabir” Allah menjanjikan “Innalla>ha ma’a al-shabirin” (Allah menyertai orang-orang yang bersabar).

  
Rida

Dalam ajaran Wahidiyah dikatakan, bahwa rida ialah merasa puas terhadap qad}a’-qadar Allah, meski bagaimanapun keadaannya. Rida termasuk adab dan ibadah batin yang paling tinggi nilainya. Dalam kaitan ini, ada firman Allah dalam al-Qur’an:

وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ [7]
Artinya:
Dan keridlaan dari Allah itu paling agung.
Dalam tradisi kaum sunni, mereka biasa memberikan kata penghormatan kepada para sahabat Nabi SAW, kepada Awliya’, ‘Arifin, dan Shalihin, dalam bentuk doa: “Radliyalla>hu Ta’a>la> ’Anhum”. (semoga Allah SWT meridai mereka). 

Menurut ajaran Wahidiyah, dalam hal rida ada dua kemungkinan; kalau tidak diridai, berarti dikecam atau dimurkai (Jawa: dibendu) oleh Allah; tidak ada yang setengah-setengah (setengah dikecam dan setengah diridai). Kita diberi kebebasan untuk memilih yang mana, itu terserah pribadi kita masing-masing. Jika kita ingin diridai oleh Allah, maka kita harus rida kepada Allah. Misalnya, kita ditakdir menderita sakit, ditakdir mengalami ekonomi seret, sulit mencari pekerjaan, menghadapi problem-problem rumah tangga dan keluarga, menghadapi masalah pendidikan, masalah perjuangan, dan lain-lain, kita harus rida kepada Allah; kita harus selalu merasa puas di dalam hati menghadapi keadaan seperti itu. Kita tidak boleh menyesal, menggerutu (Jawa: ngresulo), dan sebagainya, sekalipun arah ngresulo atau rasa tidak puas itu kepada makhluk. Sebab, segala-galanya itu tidak lepas dari Allah SWT yang menciptakan. Kita harus selalu puas dan sadar kepada Allah yang memberi segala-galanya itu.

Sesungguhnya segala keadaan yang dialami oleh manusia, baik keadaan yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, itu semua harus disadari, sesungguhnya adalah rahmat kasih Allah SWT kepada hamba-Nya, misalnya, untuk melindungi hamba-Nya agar tidak jauh-jauh dari-Nya, agar hamba-Nya selalu dekat kepada-Nya, supaya senantiasa kembali kepada-Nya. Sebab, kalau hamba selalu jauh dari Allah Tuhannya, dikuatirkan ditelan atau pasti bahkan pasti ditelan oleh imprialis nafsu yang sangat ganas dan jahat, sehingga si hamba tersesat, menderita kehancuran dan kesengsaraan. Tentunya itu tidak dikehendaki oleh Allah yang Rahman-Rahim (Maha Pengasih-Maha Penyayang) terhadap hamba-Nya.

Selanjutnya Wahidiyah mengajarkan, di samping rida, hendaklah kita tidak meninggalkan ikhtiar atau berusaha mencari jalan keluar dari kesulitan dan kesusahan yang kita hadapi, atau berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik, tetapi kita harus selalu tetap bertawakkal kepada Allah, agar kita tidak mengandalkan atau membanggakan usaha kita. Di samping itu, hendaklah ikhtiar itu selalu dijiwai oleh perilaku Lillah-Billah. Jika hanya rida saja, tanpa ikhtiar mencari jalan keluar, padahal ada kesempatan dan kemampuan, maka itu berarti melanggar perintah, berarti tidak melakukan ibadah lewat bidang ikhtiar yang disertai niat Lillah. Ikhtiar itu pun harus dilakukan secara lahir dan batin. Kedua cara harus dijalankan sebesar kemampuan. Jika hanya ikhtiar lahir saja, maka besar kemungkinan dapat tersesat ke jalan yang keliru jika tidak mendapat hidayah dari Allah SWT, dan jika hanya ikhtiar batin (semisal berdoa) saja, maka kurang lengkap dalam mengisi bidang-bidang yang harus diisi. 

Dengan demikian, dalam ajaran Wahidiyah, sabar, rida, ikhtiar, dan tawakkal harus selalu bergandengan di dalam penerapan dalam hati. Seperti halnya di dalam ikhlas dan sabar.

Dalam ajaran Wahidiyah, ikhtiar batin adalah berdoa memohon kepada Allah SWT; bukan pergi ke dukun-dukun atau menggunakan mantera-mantera dan sejenisnya. Dalam kaitan ini, Romo K.H. Abdoel Ma’roef (Muallif Shalawat Wahidiyah) pernah mengajarkan “Do’a Faraj” (memohon diberi jalan keluar dari kesulitan dan sebagainya) karya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَللَّهُمَّ بِحَقِّ اسْمِكَ اْلأَعْظَمْ, وَبجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ r وَبِبَرَكَةِ غَوْثِ هَذَا الزَّمَانِ وَأَعْوَانِهِ وَسَآئِرِ أَوْلِيآءِ اللهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَي اجْعَلْ لَنَا وَلِذُرِّيَّاتِِنَا وَلِمَنْ لهُ حُقُوْقٌ عَليْنَا وَلِجَمِيْعِ مَنْ عَمِلَ بِهَذِهِ الصَّلَوَاتِ الوَاحِدِيَّةِ وَمَنْ أَعَانَا عَلَيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقيَامَةِ وَ ِلأُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ r (فَرَجًا وَمَخْرَجًا وَاهْدِنَا وَإِيَّاهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقيْم) × 3

Artinya:
Ya, Allah, dengan hak keagungan Asma-Mu dan dengan Kebesaran Baginda Nabi Muhammad SAW, dan sebab berkah Ghautsu Hadzaz-Zaman dan para pendukungnya serta para kekasih Allah Radiyallahu Ta’ala ‘anhum (semoga Allah meridai mereka), jadikanlah bagi kami dan keluarga serta keturunan kami dan bagi orang-orang yang ada hubungan hak dengan kami dan bagi mereka para Pengamal Wahidiyah sampai hari Kiamat, dan bagi seluruh umat Baginda Nabi Muhammad SAW (jalan keluar dari segala kesulitan dan kesusahan, dan tunjukilah kami dan mereka jalan-Mu yang lurus) (dalam kurung dibaca 3 kali).

Secara psikologis, orang yang selalu rida, niscaya hidupnya senang dan tenteram; tidak gampang menyesal atau menggerutu. Dia selalu merasa puas dan gembira menghadapi segala situasi dan kondisi hidupnya. Ibaratnya, seperti falsafah itik yang berenang di atas air yang dangkal maupun air yang dalam, tetap setinggi dadanya. Hidupnya tenteram, tidak bingung, tidak kuatir, tidak takut melainkan hanya kepada Allah. Hatinya senantiasa menghadap kepada Allah. Sebaliknya, orang yang tidak rida atas qada’-qadar Allah, pasti mudah menggerutu, menyesal, dan emosi. Padahal qad}a’-qadar Allah tidak dapat berubah karena tidak ridanya si hamba. Bahkan selain itu, orang yang tidak rida atas qada’-qadar Allah, tidak diakui sebagai hamba-Nya seperti disebutkan di dalam Hadis Qudsi di muka, pada pembahasan tentang sabar.


Mahabbah (Cinta)

Mahabbah atau cinta, menurut ajaran Wahidiyah, adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; cinta kepada para Nabi, para Rasul, dan para Malaikat; cinta kepada para keluarga dan para Sahabat Beliau SAW; cinta kepada para Wali Allah; cinta kepada para Ulama, kepada pemimpin, kepada orang tua, dan keluarga; dan umumnya kepada segenap umat Islam dan kepada segala makhluk ciptaan Allah pada umumnya.

Cinta kepada Allah, al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), harus cinta juga kepada makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi cintanya kepada Khaliq sudah tentu harus tidak sama dengan cintanya kepada makhluk-Nya. Pada prinsipnya, kepada segala makhluk, berupa dan berbentuk apa saja dan bagaimanapun juga wujudnya, kita harus mencintainya. Kita mencintainya, karena ia adalah ciptaan Allah SWT, sekalipun makhluk itu berupa sesuatu yang menjijikkan atau menakutkan; sekalipun berupa maksiat atau munkarat. Atas dasar pengertian bahwa itu semua ciptaan Allah, kita harus mencintainya. Akan tetapi, di samping cinta, kita diperintah supaya menjauhkan diri dan tidak menyukai maksiat dan munkarat. Dengan demikian, pandangan kita harus dobel; di samping cinta atau senang, harus pula tidak senang dalam arti ingkar, dalam arti harus menjauhkan diri darinya. Kita senang terhadap dzatiyah ma’shiyat dan munkarat, karena kita mengingat bahwa itu adalah ciptaan Allah yang kita cintai. Akan tetapi kita harus tidak senang dan harus menghindarkan diri dari perbuatan maksiat dan munkarat karena memang diperintah begitu oleh Allah.

Dengan demikian, kita senang atau cinta kepada dzatiyah ma’shiyat dan munkarat karena itu semua sama-sama ciptaan Allah, dan kita harus tidak senang (menjauhi) perbuatan maksiat dan munkarat karena dilarang melakukannya. Jika kita hanya senang dan cinta saja kepada maksiat dan munkarat, tetapi tidak ingkar dan tidak menjauhinya, maka berarti kita melanggar perintah Allah. Jika kita hanya membencinya saja, tanpa ada rasa senang bahwa itu adalah makhluk, maka berarti kita melukai kepada makhluk atau lebih-lebih, menghina makhluk, yang berarti juga melukai kepada Khaliq (Pencipta)-nya.

Dalam ajaran Wahidiyah, cinta atau senang maupun benci atau tidak senang itu harus didasari oleh Lillah-Billah. Jika hal itu tidak dijiwai oleh Lillah-Billah, niscaya dasarnya adalah nafsu (linnafsi-binnafsi), dan jika demikian, maka pasti ada pamrih untuk kesenangan nafsu. Ini berarti, bahwa cintanya adalah cinta gadungan, cinta palsu, tidak tulus, tidak murni; bukan cinta sejati; cinta karena “ada udang di balik batu” (pepatah; ada pamrih atau kepentingan). Ini dapat membahayakan. Sebab, jika sesuatu yang menjadi daya tarik cinta itu hilang atau tidak kelihatan, maka secara logis, yang terjadi adalah tidak cinta lagi. Begitu juga benci atau tidak senang harus dijiwai oleh Lilla>h-Billa>h. Jika tidak, maka hal itu hanya menuruti kemauan nafsu, tidak atas dasar menjalankan perintah.

Seperti keterangan di atas, cintanya kepada makhluk harus tidak sama dengan cintanya kepada al-Khaliq. Cinta kepada makhluk haruslah hanya sebagai realisasi atau pelaksanaan cinta kepada al-Khaliq, atau sebagai manifestasi (cetusan) rasa cinta kepada al-Khaliq; tidak boleh memadukan antara cinta kepada al-Khaliq dan cinta kepada makhluk, karena hal seperti ini berbahaya. Lebih-lebih, cinta kepada makhluk tidak boleh mengalahkan cinta kepada Sang Khaliq. Dalam kaitan ini Allah SWT telah berfirman:

قُلْ إِنْ كَانَ آبآؤُكُمْ وَأ َبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِليْكُمْ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يهْدِي الْقوْمَ الْفَاسِقِيْنَ [8]

Artinya:
Katakanlah (wahai Muhammad), jika bapak-bapak kamu sekalian, anak-anak kamu sekalian, saudara-saudara kamu sekalian, suami/isteri kamu sekalian, keluarga kamu sekalian, harta benda yang kamu sekalian kumpulkan, perniagaan yang kamu sekalian takut menderita rugi dan rumah tempat tinggal yang kamu sekalian senangi, jika semua itu lebih kamu cintai daripada Allah wa Rasulihi dan daripada berjuang di jalan-Nya, maka bersiap-siaplah sampai Allah menurunkan perintah penyiksaan-Nya dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِليْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخاري ومسلم وأحمد والتر مذي وابن ماجه عن انس y)

Artinya:
Tidaklah sempurna iman salah satu dari kamu sekalian sehingga Aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, hartanya dan manusia semuanya (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Anas).

Dengan demikian, cinta kita kepada diri kita sendiri, kepada orang tua, kepada suami atau isteri, kepada keluarga, dan lain-lain, itu semua seharusnya hanya sebagai cetusan rasa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini, menurut ajaran Wahidiyah, dapat timbul dari hati yang senantiasa menerapkan Lillah-Billah, Lirrasul-Birrasul, dan Lilghauts-Bilghauts, dan rajin melakukan Mujahadah Wahidiyah, serta memperbanyak tafakkur. Tafakkur tentang keagungan Allah, tafakkur tentang kebesaran, kemuliaan atau keluhuran budi Rasulullah, dan tafakkur tentang keindahan-keindahan yang terdapat pada segenap makhluk Allah.

Mahabbatullah dapat bertambah mendalam dan bertambah murni dengan mahabbatur-Rasul, dan mahabbatur-Rasul dapat menjadi subur antar lain dengan memperbanyak mengingat Rasulullah di mana saja kita berada dan memperbanyak bacaan shalawat, khususnya Shalawat Wahidiyah, serta memperbaiki dan meningkatkan hubungan batin dengan Ghauts hadzaz-Zama>n. Caranya, antara lain, mempraktekkan “Haqiqah al-Mutaba’ah Ru’yah al-Matbu’ ‘inda Kulli Syay’in” sebagaimana telah bahas pada bagian tentang “Al-Ta’alluq Bijanabihi di muka.

Bersabda Rasulullah SAW:

مَنْ أَحَبَّ شَيْئاً أَ كْثَرَ مِنْ ذِكْرهِ (رواه الد يلمي عن عا ئشة)

Artinya:
Siapa mencintai sesuatu, dia banyak menyebut (mengingat) sesuatu itu (H.R. Daylami dari Aisyah RA).

أَلاَ لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ مَحَبَّةَ لهُ, لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ مَحَبَّةَ لهُ [9]

Artinya:
Perhatikanlah, tidak disebut beriman orang yang tidak mempunyai rasa cinta.
Dengan demikian, mahabbatullah dan mahabbatur-Rasul itu merupakan pakunya iman. Iman tanpa mahabbah adalah iman yang goyah, tidak mantap. Hanya bagaikan plakat tempelan yang mudah luntur, mudah lapuk dan mudah mretheli. (lepas).

Pengakuan iman dan mahabbah tidak cukup hanya dengan pernyataan lisan saja. Harus menjadi kenyataan yang meresap ke dalam, tembus di dalam hati dan buahnya dapat dilihat pada ahwal lahir. Ahwal atau tindakan lahir baik yang hubungan di dalam masyarakat maupun yang hubungan kepada Allah dan kepada Rasulullah. Mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya, tetapi tidak ada kenyataan yang dapat dilihat pada haliyah lahir, jelas suatu pengakuan palsu dan pura-pura. Berat sekali akibatnya di akhirat kelak.

Dalam kitab Siraj al-Thalibin dijelaskan:

لَيْسَ فِي الجَنَّةِ نَعِيْمٌ أَعْلَى مِنْ نَعِيْمِ أَهْلِ الْمَحَبَّةِ وَالْمَعْرِفَةِ وَلاَ فِي جَهَنَّمَ عَذَابٌ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ مَنِ ادَّعَى الْمَحَبَّةَ وَالْمَعْرِفَةَ وَلمْ يَتَحَقَّقْ بشَيْئ مِنْ ذَلكَ

Artinya:
Di surga tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripada kenikmatan orang-orang ahli mah}abbah dan ma’rifat, dan di neraka tidak ada siksa yang lebih dahsyat lebih mengerikan daripada siksanya orang yang mengaku mah}abbah dan ma’rifat tetapi tidak ada kenyataannya.

Seseorang jika sungguh-sungguh mahabbatullah dan mahabbatur-Rasul mestinya lebih senang menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi apa saja yang dilarangnya. Amal ibadahnya sungguh-sungguh ikhlas tanpa pamrih, demi untuk mahbub (yang dicintai). Senantiasa Lillah dan Lirrasul! Ia selalu ingat kepada mahbub (yang dicintai) dalam keadaan bagaimana pun juga. Ketika mengalami musibah hidup yang bagaimana saja, ia tetap sabar, ridla dan gembira oleh karena yang menguji adalah Mahbub (Allah yang dicintainya).

 Adapun yang hubungan di dalam masyarakat, dengan sesama makhluk pada umumnya dia senantiasa takhalluq biahklaqi mahbubihi (berbudi pekerti meniru budi pekerti Allah wa Rasulihi.. Seperti kasih sayang dan senang terhadap apa saja yang dikasihi oleh mahbub (kekasih)-nya. Bersikap rauf-rahim, senang memberi pertolongan kepada siapa saja. Tindak lakunya selalu menyenangkan dan membuahkan manfaat bagi masyarakat. Tidak menonjolkan diri, selalu tawadhu’ dan ramah tamah. Akan tetapi dimana perlu bertindak tegas patriotik dan heroik bersikap pahlawan di dalam membela kebenaran dan keadilan yang dikehendaki oleh mahbub-nya, yakni Allah wa Rosulihi.. ” Yajtahidu fil Sabiilillah” bersungguh-sungguh di jalan Allah. Tidak sayang mencurahkan tenaga, harta dan apa saja yang dimilikinya demi buat yang dicintai.

Di antara tanda-tanda cinta secara umum adalah sifat “cemburu”. Cemburu terhadap orang lain yang ikut mencintai mahbubnya. Ini tanda-tanda cinta antar sesama manusia. Akan tetapi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya justru sebaliknya dari itu. Ya cemburu, kuatir dan resah hatinya melihat orang lain yang tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ia berusaha agar orang lain ikut mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kalau perlu dengan segala pengorbanan. Apa yang ada pada dirinya dicurahkan demi agar orang lain ikut mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dalam mahabbah ada tingkat-tingkat ukuran dan kualitasnya, yakni:
a.    Pertama    :   Mah}abbah Shifatiyah,
b.    Kedua      :   Mah}abbah Fi’liyah,
c.    Ketiga      :   Mah}abbah Dzatiyah.


a.   Mahabbah Shifatiyah

Mahabbah Shifatiyah adalah cinta karena tertarik kepada sifat-sifat dari yang dicintainya. Gagah, cantik, simpatik, lincah, pandai dan sebagainya. Cinta semacam ini mudah berubah dan mudah kena pengaruh. Jika sifat-sifat yang menjadi daya tarik itu hilang atau berubah atau tidak kelihatan, maka cintanyapun berubah bahkan bisa hilang sama sekali. Bahkan mungkin bisa menjadi kebencian.

b.   Mahabbah Fi’liyah

Mahabbah Fi’liyah adalah cinta karena tertarik pekerjaan, jabatan atau kekayaan orang yang dicintai. Cinta semacam ini juga tidak wantek, mudah berubah seperti halnya mah}abbah sifatiyah. Yang wantek adalah:

c.   Mah}abbah Dzatiyah

Mahabbah Dzatiyah adalah cinta terhadap zat atau wujudnya yang dicintai, bagaimana pun keadaan dan rupa serta bentuknya. Inilah cinta sejati.

Dalam Mahabbatulloh wa mahabbatur-Rasul seharusnya terkumpul ketiga macam cinta tersebut, yakni mahabbah sifatiyah, mahabbah fi’liyah, dan mahabbah dzatiyah, dan ini dapat ditumbuhkan di dalam hati dengan melatih hati, memperbanyak tafakkur, dan melaksanakan Mujahadah Wahidiyah dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan bimbingan Muallifnya. Tafakkur (berfikir) dalam hal ini meliputi tafakkur terhadap sifat Jamal, sifat Jalal, dan sifat Kamal Allah, dan berfikir tentang keluhuran budi dan kemuliaan Rasulullah dan terhadap jasa-jasa Beliau yang sangat besar dan agung.

Di antara cara melatih mahabbah adalah seperti kata orang Jawa mengatakan “witing trisno jalaran soko kulino” (asal mula datangnya cinta itu dari kebiasaan). Ini diterapkan sebagai latihan hati; misalnya: melihat bekasnya (Jawa labet) mahbub (kekasih), kelihatan orangnya; melihat pakaiannya, kelihatan orangnya; mendengar suaranya, kelihatan orangnya, dan seterusnya.

Demikian itu dapat diterapkan untuk melatih hati agar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Segala makhluk ini adalah milik Allah dan dari Jiwa Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ketika melihat, mendengar, atau merasa sesuatu, seharusnya langsung ingat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan melatih hati seperti itu dalam menghadapi segala sesuatu, Insya Allah, lama-kelamaan akan tumbuh dalam hati tunas-tunas mahabbatullah wa mahabbatur-Rasul, sehingga betul-betul lebur (tenggelam) di dalam mahbub (yang dicintai, kekasih). Dalam kaitan ini, Muallif Shalawat Wahidiyah pernah mengatakan:
اَلْمَحَبَّةُ أَنْ تَهَبَ كُلُّكَ فِي الْمَحْبُوْبِ
Artinya:
Cinta yang sejati yaitu apabila engkau menjadi lebur ke dalam yang engkau cintai.
Dalam kitab Syarah al-Hakim dikatakan:

حَقِيْقَةُ الْمَحَبَّةِ أَنْ تَهَبَ كُلَّكَ لِمَنْ أَحْبَبْتَهُ حَتَّى لاَ يَبْقَى لَكَ مِنْكَ شَيْئٌ [10]

Artinya:
Hakikat cinta adalah sekiranya engkau meleburkan seluruh dirimu demi untuk orang yang engkau cintai sehingga tidak ada sesuatu pun dari engkau yang tertinggal untuk dirimu sendiri.






[1] Q.S. 39/al-Zumar: 10.
[2]  Q.S. 2/al-Baqarah: 153.
[3] Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khuwaywi, Durrah al-Nasihin (Indonesia: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah)., h. 187.
[4] Al-Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz 4, h. 323.
[5] Q.S. 65/al-Thalaq: 3.
[6] Utsman bin Hasan, Durrah al-Nasihin.
[7] Q.S. 9/al Tawbah: 72.
[8] Q.S. 9/al-Tawbah: 24.
[9] Syaykh Ahmad Shawi, Hasyiyah al-Shawi …, Juz III, h. 41.
[10] Ibn 'Ibad, Syarh al-Hikam, Juz II, h. 63.



http://quantummanajemenkalbu.blogspot.com/2012/04/sabar-rida.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar