Minggu, 08 September 2013

Laki-Laki Sejati




Ini kisah nyata. Benar-benar terjadi di atas muka bumi. 
Telah ditulis dengan tinta emas oleh banyak sejarahwan dalam buku-buku mereka. Sebuah kisah nyata tentang lelaki-lelaki sejati di masa Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu.

Dimasa Kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seorang pemuda yang mengarungi padang pasir untuk menunaikan umrah di Tanah Suci. Pemuda itu tiba di sebuah oasis di pinggir sebuah permukiman penduduk. Ia berhenti dan istirahat. Karena kelelahan pemuda itu tertidur.

Ketika pemuda itu tidur , tali pengikat untanya lepas. Dan unta itu, tanpa sepengetahuan pemuda berjalan mencari makan, karena kelaparan. Unta itu masuk ke sebuah kebun yang suburtak jauh dari tempat itu. Penjaga kebun itu adalah seorang kakek. Unta itu tak ayal lagi, karena kelaparan, memakan dan merusak tanaman kebun itu.

Sang kakek berusaha mengusir unta itu, tapi sang unta itu tidak mau beranjak dari tempatnya. Karena panik dan takut dimarahi tuannya, sang kakek memukul unta itu. Dan atas kehendak Allah, unta itu mati. Sang kakek semakin panik dan cemas, apalagi pemuda pemilik unta itu terbangun dan mendapati untanya telah mati.

Karena tidak ada orang lain selain kakek itu di dekat bangkai unta, pemuda itu berprasangka bahwa kakek tua itulah yang membunuh untanya. Dan kakek itu mengakuinya setelah sang pemuda mengintrogasinya. Seketika itu sang pemuda marah besar dan gelap mata. Ia memukul kakek itu dengan pemukul yang digunakan untuk memukuli untanya. Dan kakek itupun tewas.

Pemuda itu sangat panik dan menyesal ketika mengetahui kekhilafannya. Ia tidak berniat membunuh kakek itu, hanya marah besar. Tiba-tiba datanglah dua pemuda yang tak lain anak si kakek. Mereka terkejut melihat ayahnya mati dan ditempat itu hanya ada si pemuda. Akhirnya tahulah kedua anak kakek itu, bahwa ayahnya dibunuh oleh sipemuda itu. Mereka lalu menangkap si pemuda dan menyeretnya kehadapan Umar bin Khattab untuk diadili.

Sang pemuda mengakui perbuatannya dan Umar pun menjatuhi hukuman mati (Qishash) untuk pemuda itu. Namun, sang pemuda minta penangguhan eksekusi hukuman, karena ia harus memberi tahu keluarganya dan menyelesaikan utangnya yang belum tuntas dikampungnya. Umar pun bersedia mengabulkan permintaaan pemuda itu dengan syarat ada yang bersedia menjadi penjamin pemuda itu.

Pemuda itu cemas dan bingung. Siapa yang mau jadi penjaminnya? Ia tidak punya kenalan dan kerabat di daerah itu. Bagaimana mungkin akan ada orang yang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi penjaminnya.

Tiba-tiba ada orang lelaki maju dan berkata kepada Umar, 
"Wahai Amirul Mu'minin, saya bersedia menjamin pemuda ini." Umar kaget, Ia menatap tajam lelaki itu yang tak lain adalah Abu Dzar Al Ghiffari radhiyallahu 'anhu. Umar berkata dengan nada serius, "Abu Dzar, sadarkah kamu dengan resiko kesediaanmu menjadi penjamin pemuda ini?"

Dengan tegas Abu Dzar menjawab, ”Ya saya sadar. Saya siap menanggung resikonya."

Umar lalu berkata kepada pemuda itu, "Hai anak muda kau telah memiliki penjamin. Sekarang Pulanglah. Selesaikan urusanmu dan segera kembalilah kesini untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu."

Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat sudah berkumpul di lokasi pelaksanaan eksekusi hukuman Qishash. Hari semakin panas, siang semakin terik, dan pemuda itu belum juga ada tanda-tanda datang.

Ketika hari memasuki sore, dan pemuda itu belum juga datang. Masyarakat riuh membicarakan kebodohan Abu Dzar yang bersedia menjadi penjamin orang asing yang tidak dikenal. Masyarakat juga cemas, jika sampai matahari tenggelam dan pemuda itu belum juga datang, maka Abu Dzar harus menggantikan pemuda itu untuk dipancung.

Namun, Abu Dzar tetap tenang. Dengan rasa tawakal yang tinggi kepada Allah ia menunggu detik-detik matahari semakin dekat keperaduannya. Dan matahari tenggelam, pemuda itu belum datang. Maka eksekusi pun harus dijalankan. Dengan tenang Abu Dzar maju ketempat eksekusi. Algojo disiapkan. Banyak yang menangis melihat Abu Dzar siap dihukum mati untuk dosa yang tidak dilakukannya.

Dan, ketika algojo sudah mengangkat tangannya dengan pedang terhunus siap ditebaskan ke leher Abu Dzar, seorang penduduk berteriak. Ia melihat di kejahuan ada bayangan dan kepulan debu. Ada yang datang. Ia meminta ditunggu sebentar sampai jelas siapa yang datang. Semua menoleh kebayangan itu termasuk Umar bin Khatab ra. Umar minta agar yang datang ditunggu dulu.

Bayangan itu semakin dekat. Dan ternyata yang datang adalah pemuda itu untuk memenuhi tanggung jawabnya. Semua orang berdecak takjub dan haru. Bisa saja pemuda itu melarikan diri dari hukuman mati. Tapi ia tetap datang. Dengan napas terengah-engah pemuda itu minta maaf atas keterlambatannya karena ada halangan di jalan. 
Karena kagum pada kejujuran pemuda itu, Umar bertanya, "Wahai pemuda, aku kagum padamu. Kenapa engkau memilih datang padahal kau bisa saja lari dari hukuman mati?”

Pemuda itu menjawab,: “Wahai amirul Mu'min, alasanya sederhana saja. AKu tidak mau ada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi lelaki-lelaki sejati di kalangan umat muslim yang dengan ksatria berani mempertanggung jawabkan perbuatannya.” 

Ia juga mengatakan, “Bagaimana mungkin saya tega membiarkan orang lain tidak bersalah yang rela menjadi penjaminku mati karena perbuatanku."

Lalu umar menoleh kepada Abu Dzar dan bertanya, "Dan kamu Abu Dzar, apa yang membuatmu yakin untuk menjadi penjamin pemuda asing ini dan kamu siap menggantikan dirinya untuk dihukum mati jika dia tidak datang?"

Abu Dzar menjawab, "Aku melakukan ini agar tidak ada yang mengatakan bahwa tidak ada lelaki sejati di kalangan umat islam yang bersedia menolong saudaranya yang membutuhkan pertolongan. AKu tidak merasa rugi di hadapan Allah. Kalau pemuda itu tidak datang dan aku harus mati menggantikannya, kematianku syahid di jalan Allah, karena aku memang tidak bersalah."

Umar bin Khatab ra diliputi rasa kagum dan haru. Dia lalu memutuskan untuk segera mengeksekusi pemuda itu sebelum waktu salat mahgrib habis. Tiba-tiba ada yang berteriak "Tunggu wahai amirul mu'min, bolehkan kami minta agar pemuda ini dibebskan dari hukuman mati?”

Yang berteriak itu adalah dua pemuda anak kakek yang tebunuh itu.

Umar menjawab, "Apa yang membuat kalian minta pembatalan hukuman ini?"

Mereka menjawab, "Sungguh kami kagum dengan dua lelaki sejati ini, izinkan kami memafkan pemuda yang saleh yang jujur ini. Kami tidak ingin ada yang mengatakan bahwa dikalangan umat islam tiada lelaki sejati yang memaafkan kesalahan. Bukankah Al'quran membolehkan bagi ahli waris untuk memberi maaf dan membatalkan Qishash pada seorang yang melakukan pembunuhan? Kami rasa pemuda saleh ini pantas untuk kami maafkan."

Seketika gemuruh takbir dan tahmid berkumandang. Seluruh masyarakat yang menyaksikan peristiwa itu takjub dengan mata berkaca-kaca. Mereka terharu menyaksikan tingginya ahlak dalam jiwa lelaki-lelaki sejati yang berjiwa ksatria itu.

Setiap kali teringat kisah nyata ini, saya sering bertanya-tanya masih adakah lelaki-lelaki sejati berjiwa ksatria di negeri ini? Semoga masih ada, sebab sejarah menulis bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dihuni oleh lelaki-lelaki sejati bukan para pecundang dan pengecut.

Besarnya suatu bangsa tidak dilihat dari jumlah penduduknya tapi dilihat dari jumlah manusia-manusia berjiwa ksatria dan berahlak mulia. Manusia-manusia berkarakter dan berjiwa besar. Semoga mereka masih ada di indonesia. Aamiin....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar