Jumat, 24 Juli 2009

Abraham Maslow Vs Ibrahim Alaihis Salam


The God First or the Basic Needs First?

Pada pertengahan abad lalu seorang pemikir Amerika bernama Abraham Maslow menemukan teori yang dinamkan Hierarchy Of Human Needs. Beliau membuat tingkatan-tingkatan kebutuhan manusia dari yang paling mendasar berupa kebutuhan fisik seperti makan dan minum sampai yang tertinggi yang bilau namakan Self-transcendence, yaitu keinginan untuk mengabdikan diri terhadap sesuatu diluar materi dan ego. Keinginan untuk beribadah dan berderma. Hirarki tersebut disederhanakan oleh Wiliam James dan Mathes menjadi tiga level: material needs, social needs dan spiritual needs.

Ini adalah lompatan besar dalam literature dan pemikiran Barat modern yang pada suatu kurun tidak mengakui sisi spiritualitas manusia bahkan di dunia komunis atheis agama dianggap sebagai opium masyarakat. Banyak hal positif dari pandangan beliau. Minimalnya adalah bahwa beliau memperkenalkan kepada masyarakat kapitalis Barat bahwa spiritual needs adalah kebutuhan manusia juga. Bahkan dia adalah kebutuhan tertinggi. Tetapi masalahnya karena itu adalah kebutuhan tertinggi, dia anggap itu dikejar terakhir saja (?!?!)

Pandangan Maslow ini relatif cocok dianut oleh masyarakat yang kondisi sosial politik ekonominya mapan.
Akan tetapi pada masyarakat ekonomi lemah implikasinya cukup berbahaya. Apalagi kalau dianggap sebagai aksioma mutlak setiap individu. Yang menjadi korban adalah orang-orang yang kebutuhan-kebutuhan dasarnya belum cukup, mereka akan membuang kesempatan yang sangat besar untuk mendekatkan diri kepada Allah demi memenuhi tuntutan-tuntutan keduniaan yang belum tentu akan dicapainya. Kemalangan amat besar terjadi jika dia mengakhiri hidup tanpa mencapai satu pun baik basic needs ataupun spiritual needs.

Pandangan ini memang bukan penemuan yang baru, bahkan al-Qur’an justru mendeskripsikan filsafat ini dalam beberapa sikap Bani Israil. Misalnya sikap mereka berikut ini:

Dan (ingatlah), ketika kamu (Bani Israil) berkata: “Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (QS al-Baqarah: 61)

Tuntutan meraka sangat manusiawi. Bahkan mereka tidak menuntut hal-hal yang haram sama sekali. Tetapi tuntutan tersebut menjadi problem dikarenakan rangkaian pembangkangan-pembangkangan mereka yang selalu muncul disaat Allah dan Nabi-Nya Musa AS memberikan perintah-perintah-Nya.

Di sisi lain Allah telah banyak memberi Bani Israil fasilitas-fasilitas keduniaan begitu banyak, tetapi sama sekali tidak berimplikasi pada kualitas ketaatan mereka. Allah berfirman:

Dan Sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di tempat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.

Allah juga berfirman:

Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”[1]. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka Menganiaya kami; akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri. (QS al-Baqarah: 57)

Bahkan ketika muncul kesadaran keagamaan dan keinginan untuk melaksanakan jihad, itupun tidak lebih dari kepentingan keduniaan yang mereka inginkan. Mari kita perhatikan ayat berikut:

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk Kami seorang raja supaya Kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. mereka menjawab: “Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, Padahal Sesungguhnya Kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang zalim. (QS al-Baqarah: 246)

Jihad di jalan Allah adalah kewajiban yang sangat agung. Tetapi sekali lagi Bani Israil menunjukkan “kecerdasan” mereka dalam memanfaatkan ajaran agama untuk mendapatkan keuntungan dunia. Secara umum, Bani Israil menang perang. Tetapi Allah tetap tidak meridhoi mereka karena sebagian besar mereka juga ternyata tidak dapat memenuhi tuntutan jihad, walaupun Allah juga memuji dan menghargai orang-orang sabar, ikhlas dan tsabat dalam peperangan tersebut.

Dan Bani Israil juga berhasil membangun peradaban duniawi mereka, meskipun rapuh.

Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya[2] yang telah Kami beri berkah padanya. dan telah sempurnalah Perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. (QS al-Baqarah: 137)

Artinya adalah membangun peradaban dengan paradigma Abraham Maslow adalah mungkin dan sangat mungkin. Tetapi Umat Islam punya misi dan proyek yang lebih besar dari sekedar “yang begituan doang.” Karena tanpa beragama pun dapat terbangun peradaban dan akhirnya juga akan religious. Kekaisaran Romawi yang begitu kejam dan diktator juga akhirnya memeluk bahkan membela agama Nasrani, meskipun dengan mengkorting bahkan mendistorsi agama Masehi. Kaum biadab Mongol juga akhirnya masuk Islam juga setelah membantai umat Islam dan menghancurkan peradabannya.

Masalahnya adalah keridhoan Allah ternyata bukan episode terakhir dari perjuangan. Bukan juga menu “optional” dalam kehidupan.

Yang lebih gawat lagi ternyata perilaku seperti dalam umat Muhammad SAW sangat dikecam oleh Allah SWT. Kalau dalam Bani Israil perilaku itu dominan, ternyata dalam umat Muhammad, Allah memberi ancaman dan hukuman khusus bagi orang yang mensyaratkan ketaatan dengan kondisi ekonomi. Mari kita renungi bersama-sama ayat ini:

Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh.” 76. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). 77. Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. (QS at-Taubah: 75-77)

Beragama Tanpa Modal Materi

Pada kenyataannya beragama tidaklah bersyaratkan materi sama sekali. Tidak perlu menunggu kaya untuk bisa sholat. Dan menutup aurat bisa dilakukan oleh orang miskin. Zakat pun hanya bagi yang memiliki nishab. Sedekah pun bukan terbatas pada pembarian materi. Apalagi puasa orang miskin lebih mudah erpuasa dari pada orang yang terbiasa dengan level konsumsi tinggi. Dst, dst.

Islam memerangi kemiskinan. Yes. Dan itu kewajiban kita. Kita juga diajarkan untuk berlindung kepada Allah dari kelemahan dan kefakiran. Mukmin yang lebih berdaya lebih baik dan lebih Allah cintai dari pada mukmin yang lemah. It’s OK. And that’s our mission.

Tetapi tawazun yang dituntut adalah jangan sampai kekurangan ataupun kecukupan bahkan kelebihan materi menjadi penghalang masyarakat untuk taat kepada Allah.

“Filsafat” Ibrahim Alaihis Salam

Pandangan Abraham Maslow tidak bertentangan secara diametral dengan pandangan Nabi Ibrahim AS. Tetapi ada pergeseran yang sangat jauh antara keberagamaan keduanya. Kita tentu saja tidak mungkin membandingkan Bapaknya Para Nabi dengan orang biasa seperti Pak Maslow ini. Tetapi kita ingin menyandingkan pandangan Pak Maslow ini dengan ajaran tauhid yang diperjuangkan Nabi Ibrahim AS. Ibrahim AS menempatkan pengabdian pada Allah sebagai prioritas pertama, bahkan beliau secara ekonomi belum mapan. Beliau bahkan mengorbankan kedudukan sosialnya untuk memenuhi kewajibannya kepada Penciptanya. Beliau bahkan harus berhijrah meninggalkan negeri Irak tanah kelahirannya untuk mempertahankan keyakinan keagamaannya. Akhirnya beliau juga harus membuktikan kecintaan kepada Allah dengan melawan basic insting kecintaan terhadap anak semata wayangnya ketika itu.

What’s next?

Prestasi Duniawi Ibrahim AS

Proses demi proses pengorbanan terhadap unsur-unsur dasar kehidupan dunia ternyata tidak berujung pada kesengsaraan.

Apa ending kehidupan Nabi Ibrahim?

Allah berfirman:

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), 121. (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. 122. dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan Sesungguhnya Dia di akhirat benar-benar Termasuk orang-orang yang saleh. (QS an-Nahl: 120-122)

Ibrahim akhirnya mendapatkan kesuksesan di dunia setelah banyak dengan sengaja meninggalkan berbagai macam kebutuhan dasar duniawinya. Dan lebih penting dari prestasi duniawinya adalah kedudukannya di sisi Allah. Wallahu A’lam(fij)

[1] Salah satu nikmat Tuhan kepada mereka Ialah: mereka selalu dinaungi awan di waktu mereka berjalan di panas terik padang pasir. manna Ialah: makanan manis sebagai madu. Salwa ialah: burung sebangsa puyuh.

[2] Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah dikuasai Fir’aun dahulu. sesudah kerjaan Fir’aun runtuh, negeri-negeri ini diwarisi oleh Bani Israil.

By Fahmi Islam Jiwanto, mengenyam pendidikan dasar sampai menengah di Indonesia, kemudian melanjutkan studi ke Universitas Islam Madinah, hingga menyelesaikan S1 fakultas Syariah, kemudian menimba ilmu dari ulama Azhar Mesir. Dilanjutkan dengan merantau ke negeri Yaman, hingga mendapatkan “Syahadah Masy-yakhoh” (disejajarkan dengan magister) dari Universitas al-Iman. Saat ini yang bersangkutan sedang menyelesaikan program S3 di Maroko.

Copyright © 2009 Lentera Hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar