Sabtu, 18 Juli 2009

Ketika Wajah " Sulit Diatur "


Disepelekan dan dianggap sebagai masuk angin, padahal kondisinya bisa berbeda tipis dengan stroke.

Deddy, 37 tahun, masih ingat kejadian bertahun silam saat masih duduk di bangku SMA. Terbangun pada pagi hari, kondisi wajah bagian kanannya tertarik ke atas. Padahal, selain pusing, ia tak punya keluhan kesehatan. "Sehari sebelumnya, wajah saya terkena angin kencang agak lama saat berkendaraan," kata Deddy, karyawan swasta di Jakarta.

Setelah menjalani pengobatan dan fisioterapi selama dua minggu, kondisi Deddy berangsur-angsur pulih. "Dokter bilang hanya angin. Tapi sampai kini kadang-kadang bagian wajah yang terserang masih terasa kaku," katanya.

Ada lagi Rena, 27 tahun, pegawai swasta. Saat becermin pada pagi hari setelah bangun tidur, ia baru menyadari bahwa ada yang berubah pada wajahnya. Sebagian wajahnya juga kelihatan "turun" dan lumpuh. Ia menduga penyebabnya adalah penyejuk udara yang terlalu dingin, yang menerpa wajahnya.

Apa yang Deddy dan Rena alami disebut Bell's palsy. Ini adalah kelumpuhan karena radang yang menyerang serabut saraf tepi wajah atau saraf cranial ketujuh (CN-VII). Saraf ini juga dikenal sebagai saraf ekspresi wajah. Peradangan itu menekan dan mendesak saraf hingga ekspresi wajah jadi "sulit diatur".

Kondisi yang tak menular dan tak permanen ini pertama kali ditemukan oleh Sir Charles Bell, ahli bedah Skotlandia, yang mempelajari masalah saraf dan cara kerjanya pada otot wajah, 200 tahun lalu.

"Terjadinya mendadak, tidak bertahap. Pasien bisa tidak tahu persis kapan terjadi. Tahu-tahu, bangun tidur merasa kok wajahnya miring," kata Dr Hermawan Suryadi, SpS, ahli saraf dan anti-aging, di Klinik Karmel, Kemanggisan, Jakarta.

Ini berbeda dengan stroke karena tak terjadi pada otak atau saraf pusat. "Orang awam menyebutnya masuk angin atau angin jahat. Angin yang konstan mengakibatkan stres pada satu sisi wajah," kata Hermawan. Stres ini bukanlah penyebab, tapi membuat daya tahan tubuh di situ melemah dan virus mudah menyerang.

Virus? Ya, Bell's palsy memang muncul jika terjadi peradangan. Peradangan terjadi karena adanya infeksi virus. "Bisa juga karena kelelahan fisik, pikiran, atau kurang tidur. Ada kalanya disertai flu," kata Hermawan.

Beberapa jenis virus diduga memunculkan radang ini, di antaranya herpes simplex virus tipe I (HSV-1). Apakah virus satu-satunya pencetus radang yang menyebabkan Bells palsy? Tak ada penelitian yang 100 persen menyimpulkannya.

Kejadian Bells palsy pada wajah kiri sama besarnya dengan pada wajah kanan. Bisa pula menyerang kedua sisi wajah. Kejadiannya juga tak sejarang yang dikira orang. "Tapi prevalensinya agak sulit diduga," kata Hermawan.

Kelompok yang berisiko tinggi di antaranya perempuan dan perempuan hamil, usia tua, dan penderita immuno compromise--orang yang daya tahan tubuhnya menurun, seperti pengidap AIDS serta orang yang menjalani kemoterapi dan radioterapi.

Berbeda dengan stroke, yang hanya punya waktu tiga jam untuk mendapat pertolongan medis, serangan Bell's palsy tidak terlalu mendesak untuk segera mendapat pertolongan.

"Setidaknya dalam satu hari sebaiknya ke dokter, minimal dalam tiga hari pertama agar pengobatan lebih efektif. Jangan lebih dari lima hari," katanya. Apalagi jika pasien juga mengidap penyakit yang berisiko stroke, seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, atau obesitas.

Setengah dari pasien bisa sembuh sendiri, di antaranya dengan beristirahat, mengatasi stres, dan berlatih dengan cermin. Separuh lagi tidak bisa sembuh dan membutuhkan terapi medis selama satu atau dua minggu.

"Jika tak ditangani dengan benar, bisa menimbulkan cacat yang mengganggu kepercayaan diri," kata Hermawan. Untuk mencegah serangan dan serangan ulangan, menjalankan gaya hidup sehat adalah satu-satunya jawaban. UTAMI WIDOWATI | BERBAGAI SUMBER

Tidak ada komentar:

Posting Komentar