Jumat, 31 Juli 2009

Perjuangan Menjadi Muslim Amerika: Islam Substansial atau Islam Arab?

Muhammad (40 tahun) menangis terisak-isak. Hatinya hancur. Imigran asal Aljazair itu bercerita bahwa puteranya yang baru beranjak dewasa memilih menjadi ateis ketimbang Muslim. Sementara itu, para jemaat masjid yang lain hanya bisa termangu pasrah, mendengar bagaimana budaya sekular Amerika mempertunjukkan keperkasaannya.

Itu hanyalah sepenggal di antara banyak kisah sedih keluarga Muslim yang gagal meninggalkan jejak Islam di negara baru mereka. Sebagian besar putera-puteri mereka melakukan konformitas budaya, mengikuti gaya hidup yang materialistis dan sekular, yang secara dominan dipraktikkan di Amerika Serikat.

Jeffrey Lang seorang mualaf kulit putih Anglo-Saxon Amerika Serikat. Dalam sebagian besar kandungan buku Even Angles Ask: A Journey Islam in Amerika, Lang menuturkan betapa konflik budaya, konflik pemikiran, yang menghadang generasi muda Muslim maupun mualaf (pemeluk baru), merupakan persoalan dalam perkembangan Islam di Amerika Serikat.

Ada beberapa kelompok masyarakat di Amerika yang sukar menerima Islam sebagai bagian budaya Amerika. Pertama, generasi muda Muslim yang lahir dan besar di negara itu dan cenderung ingin menjadi “orang Amerika” ketimbang “orang Arab.” Kedua, para mualaf kulit putih Amerika yang terbiasa dengan rasionalitas, yang akhirnya murtad karena tidak bisa menerima kedangkalan berpikir komunitas Muslim yang terdominasi budaya Arab. Ketiga, masyarakat Amerika yang mempunyai stereotip bahwa menjadi Muslim berarti menjadi orang Arab.

Lang mengakui, sukar memang membantah stereotip, atau stigma tersebut. Sebab, “Ketika muncul dalam berita, para Muslilm Amerika selalu berpakaian dalam jubah Timur Tengah,” tulis Lang mengambil contoh (h.132). Selain itu, tambah Lang, simbol-simbol seperti pakaian Timur Tengah, ucapan-ucapan Arab, atau berjanggut, meneguhkan semua anggapan itu, sampai-sampai para mualaf dan sahabat Lang berkomentar kepadanya bahwa kaum Muslim mungkin mengira bahwa Tuhan “hanya mengerti bahasa Arab.”

Tidak heran, warga setempat yang masuk Islam mengalami krisis identitas dan konflik budaya. Di satu sisi mereka ditolak komunitas mereka sendiri, didiskrimnasi lantaran dianggap melakukan pengkhianatan budaya. Tapi, di sisi lain, mereka pun tidak diterima komunitas Muslim sepenuhnya, karena sukar mengadaptasikan budaya Amerika yang sudah tertanam semenjak kecil, dengan budaya Arab yang asing.

Ketika mengkritik praktik dan pandangan yang bercorak Arab tradisional, sebagai contoh, sering malah mereka dituding kebarat-baratan dan dicap “tidak islami.” Apalagi, jika seorang Muslim mempertanyakan hukum Islam klasik atau kebiasaan yang mapan, ia dibungkam dengan tuduhan “hendak mengubah agama” (h.142).

Seorang Muslim justru dianggap saleh jika semakin menampilkan kebiasaan lahiriah yang tidak penting semisal mengenakan sorban, gamis, memanjangkan janggut, dan mengucapkan idiom-idiom Arab. Disebabkan oleh pemahaman yang remah ini, sebagian mualaf kulit putih berupaya keras menjadi “orang Arab” agar dapat diterima komunitas Muslim. Hal-hal seperti ini lagi-lagi semakin memperkuat stereotip warga Amerika bahwa Islam identik dengan Arab.

“Saya teringat suatu ceramah yang saya hadiri di sebuah universitas sewaktu pertama kali saya tertarik dengan Islam. Pembicaranya — seorang mualaf Amerika yang mengenakan busana mirip pakaian Saudi Arabia — terus-menerus menyisipkan dalam presentasinya istilah-istilah Arab yang diucapkan dengan buruk, seolah-olah segenap khalayaknya akrab dengan istilah-istilah itu. Suasana seperti itu menciptakan begitu banyak kesenjangan dalam pemahaman saya sehingga pembicaraannya, bagi saya, secara praktis tidak bisa dipahami. Saya tinggalkan ceramah itu dengan perasaan bahwa untuk menjadi seorang Muslim seseorang harus menjadi seorang Arab,” tulis Lang (h.31).

Lang hendak mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi sesungguhnya bukan antara Islam dengan Amerika, melainkan antara “budaya Arab yang kolot dan konservatif” dengan “budaya yang rasional dan modern.”

Misalnya, pandangan orang Arab mengenai peran gender membuat tidak sedikit wanita kulit putih Amerika mengundurkan diri dari niat mempelajari Islam. Lang pernah menyaksikan, sebagai contoh, seorang wanita kulit putih Amerika memutuskan tidak jadi memeluk Islam karena gerah mendengar pertengkaran para jemaat Masjid tentang boleh tidaknya seorang perempuan hadir di masjid itu.

Sewaktu Lang dan keluarga tinggal di Dahran, Arab Saudi, ketiga putrinya ia masukkan ke sebuah sekolah Islam khusus untuk anak-anak perempuan. Pada hari pertama belajar, kepala sekolah mengutip hadis yang mengatakan bahwa intelegensi kaum wanita berada di bawah kaum pria (h.148) walaupun menurut Lang tak ada ayat Quran yang mendukung hadis ini. Namun, sayangnya, di Amerika justru pandangan-pandangan tradisional seperti ini seringkali dilontarkan penceramah Muslim dalam kuliah-kuliah umum tentang Islam di universitas-universitas sehingga membuat orang Amerika salah paham tentang Islam.

Generasi muda Muslim yang lahir dan tumbuh dalam budaya Amerika tidak nyaman dengan praktik-praktik dan pandangan-pandangan semacam ini, sehingga mereka enggan disebut sebagai seorang Muslim kendati mewarisi “nama Arab.” Jika ditanya, “Apakah kamu Muslim?” Mereka akan menjawab, “Orang tua sayalah yang Muslim.”

Oleh karena itulah, Lang menyimpulkan bahwa kaum Muslim di Amerika sangat membutuhkan ulama-ulama asli Amerika yang dapat memecahkan problem budaya tersebut. Ulama-ulama itu mengerti budaya Amerika dan mampu membimbing generasi baru Muslim Amerika — baik generasi muda Muslim maupun para mualaf — untuk hidup menurut ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menguasai ilmu-ilmu klasik, tapi siap mengkaji secara kritis karya-karya ulama di masa lalu. Dengan begitu Islam dapat ditafsirkan dengan konteks masyarakat Amerika kontemporer. Di sini Lang ragu bahwa komunitas Islam Amerika bisa bertenggang rasa dengan kajian Islam klasik yang ada saat ini. Pendeknya, Lang mendambakan terciptanya masyarakat Muslim yang bergaya Amerika moden (h.297-298).

Nama Jeffrey Lang dapat disejajarkan dengan para mualaf Barat lain seumpama Leopold Weiss, Murad Hofmann, Roger Garaudy, atau Maryam Jameelah yang menyumbangkan perspektif alternatif dalam menafsirkan universalitas Islam. Keinginan Lang menampilkan citra diri sebagai Muslim Amerika, misalnya, ia ejawantahkan dengan mempertahankan nama Amerikanya, memilih mengucapkan “thank’s God” alih-alih “alhamdulillah,” dan tetap berbusana ala Barat, karena baginya simbol-simbol bukan persoalan substansial.

Selama beberapa tahun menjadi Muslim yang “bukan merupakan rencana hidupnya” itu, Jeffrey Lang — yang juga seorang guru besar matematika — menyaksikan bagaimana komunitas Muslim saling mendengki, menggunjing, menjelekkan jemaat Muslim di luar kelompok mereka, enggan menerima kritik, bahkan mengkafirkan satu sama lain.

Banyak mualaf kulit putih yang keluar dari Islam lantaran kecewa, tapi Lang bersiteguh. “Saya memeluk Islam bukan karena komunitas Muslim, melainkan lantaran kebenaran Qur’an!” katanya kepada sahabat kulit putihnya yang akhirnya murtad.

Buku ini sebenarnya dipersembahkan Lang kepada puteri-puterinya agar mengenal Islam. Selan itu, buku ini juga ditujukan sebagai penuntun bagi para mualaf kulit putih Amerika yang pada umumnya mengalami tahap-tahap perjalanan spiritual keislaman serupa.

Sebagian besar isi buku ini mengandung pergulatan intelektual dan spiritual Lang dalam memahami Islam, tapi bab dua secara khusus memuat penafsiran Lang mengenai prinsip-prinsip dasar Islam yang menjadi argumen keberislamannya.

Meskipun di Amerika menemukan relevansinya, gagasan dalam buku ini — bagi kita di Indonesia — mungkin kedengaran usang, karena perdebatan semacam ini pernah dipopularkan Nurcholish Madjid sekitar dua-tiga dekade silam. Namun demikian, buku ini memberikan kesadaran bahwa sebagaimana malaikat yang berani mempertanyakan penciptaan manusia kepada Tuhan, kita pun seharusnya berani menggugat pengamalan Islam yang secara umum kita pahami sekarang. Islam substansial, atau Islam Arab?

Judul Buku: Bahkan Malaikat Pun Bertanya: Membangun Sikap Berislam yang Kritis; Judul Asli: Even Angels Ask: A Journey to Islam in Amerika; Penulis: Jeffrey Lang; Penerjemah: Abdullah Ali; Penyunting: M.S. Nasrulloh; Pengantar: Murad Hoffman (edisi Amerika Serikat), Jalaluddin Rakhmat (Indonesia). Tebal: xvi + 302 halaman; Penerbit: Serambi. Tahun 2001

Oleh: Jeffrey Lang

http://www.semestanet.com
http://www.eramuslim.net/?buka=show_kisah&id=42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar