Senin, 20 Juli 2009

Terorisme dan Mainstream Muslim


Bom kembali mengguncang dua hotel mewah kemarin pagi. Meskipun belum ada kesimpulan pihak berwajib apa dan siapa sesungguhnya di balik kejadian itu, tetapi opini publik langsung dialamatkan ke kelompok Muslim garis keras. Terlepas apa yang menjadi motovasi dan siapa kelak yang dianggap bertanggung jawab dari peristiwa ini, citra Islam di mata dunia internasional kembali tercoreng. Para pelaku terorisme jumlahnya memang sangat sedikit, tetapi mereka berani mengklaim gerakannya sebagai gerakan jihad memperjuangkan Islam. Bahkan, mereka berani melegitimasi kegiatan-kegiatannya dengan ayat dan hadis.

Kalangan kolumnis Barat sering mempertanyakan posisi kelompok mainstream Muslim terhadap kegiatan para teroris. Mereka menilai kelompok mainstream ragu-ragu atau tidak berani berbicara keluar tentang tindakan para teroris. Mereka menghendaki kalau memang terorisme dianggap tidak berdasar dari sumbstansi ajaran Islam, seharusnya kelompok mainstream dengan tegas dan tegar mengambil alih klaim minoritas itu.

Sebetulnya sikap seperti ini sudah dilakukan oleh kelompok-kelompok moderat Muslim, tetapi masih terbatas dari mereka yang sering dijuluki kelompok liberal. Belum diikuti secara terbuka oleh kelompok mayoritas. Dekade terakhir ini memang semakin banyak gerakan mengklaim diri sebagai kelompok Islam. Ada yang bercorak radikal dan ada yang bercorak liberal. Kelompok-kelompok ini sesungguhnya minoritas tetapi gerakannya bernilai berita, maka eskalasi opininya lebih luas. Kelompok ini sangat kritis terhadap perkembangan umat Islam. Sementara kelompok mayoritas atau mainstream Muslim lebih banyak memilih diam, makanya sering disebut silent majority .

Diamnya kelompok mainstream di dalam menghadapi persoalan krusial menarik dipertanyakan. Mengapa mereka seperti tidak berani speak out ? Mengapa mereka membiarkan kelompok minoritas "menyandera" Islam dengan mengklaim dirinya paling Islam, dan terkadang atas nama Islam melakukan sesuatu yang sesungguhnya kontraproduktif dengan Islam itu sendiri. Satu kelompok begitu bebas memotong-motong ayat atau hadis serta melepaskan historical background -nya untuk membenarkan tujuan dan cara mereka. Akibatnya, antara lain, teroris melayangkan ribuan nyawa tak berdosa.

Diamnya kelompok mainstream

Diamnya kelompok mainstream bisa menimbulkan multitafsir.
Pertama, mereka setuju terhadap sebagian atau seluruh tuntutan kelompok minoritas itu. Ini artinya ada konspirasi antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Kedua,
mereka tidak berdaya dan tidak berani mengambil alih klaim itu karena boleh jadi institusi Islam mainstream dan tokoh-tokohnya menjadi subsistem terhadap sistem besar yang menyebabkan lahirnya mismanagement umat. Ini mengisyaratkan terjadinya inferiority complex kelompok mainstream.

Ketiga,
karena kelompok mainstream Islam tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ini artinya, visi kelompok minoritas dalam mempersiapkan umat masa depan lebih siap.

Keempat,
mereka menyadari posisinya seperti simalakama lalu menganggap diam sebagai jawaban terbaik sambil memikirkan solusi yang lebih konstruktif. Ini artinya, kelompok mainstream melakukan pembiaran sejarah umat berproses tanpa panduan jelas.

Kelima,
kelompok mainstream Muslim sudah cair dengan kepentingan fragmatisnya masing-masing. Gambaran mereka tentang jihad tergantung siapa yang dihadapi. Adakalanya mereka menggambarkan jihad secara rasional dan ada kalanya menggambarkannya secara emosional. Jika demikian adanya, maka sedang terjadi hipokritisasi di dalam tubuh mainstream Muslim. Hipokritas masyarakat akibatnya jauh lebih parah dari pada hipokritas individual.

Di Indonesia, kecenderungan menghendaki kehidupan berbangsa paralel dengan kehidupan beragama. Tidak lagi banyak mempersoalkan Islam dijadikan dasar negara atau tidak, yang penting ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat terpelihara. Ini semua menjadi isyarat meningkatnya kesadaran beragama dan berbangsa mainstream Muslim. Mereka tidak lagi gampang dibakar emosinya. Cara-cara pemaksakan kehendak pada saatnya akan ditinggalkan oleh mainstream Muslim.

Deradikalisasi makna jihad
Sesungguhnya jihad adalah sesuatu yang amat mulia dan luhur. Jihad berasal dari bahasa Arab dari akar kata jahada, berarti bersungguh-sungguh. Dari akar kata ini membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani). Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan. Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah.

Jihad Rasulullah lebih mengedepankan pendekatan soft of power . Ia lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristik. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi. Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir. Itu pun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman, dan tidak menghacurkan rumah-rumah ibadah musuh.

Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usamah, lantaran Usamah membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat. Nabi bersabda, ''Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tak tampak (akidah).'' Akhlaqul karimah tidak pernah ia tinggalkan sekalipun di medan perang.

Kemuliaan jihad tak perlu diragukan. Namun, kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi secara arif pernah menyatakan bahwa, "Goresan tinta pena ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada." Demikian pula dengan kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan seusai sebuah peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu". Menaklukkan hawa nafsu bagian dari fungsi mujahadah.

Jihad tidak mesti harus diidentikkan dengan bentrokan fisik. Melakukan berbagai usaha secara fisik dan nonfisik untuk terwujudnya keamanan, keselamatan, dan ketinggian martabat manusia juga termasuk bagian dari jihad. Menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain termasuk cabang dari jihad, kata Rasulullah SAW. Medan jihad di sekitar kita semakin banyak, meskipun musuh-musuh dari kaum kafir secara fisik tidak tampak.

Jihad yang dilakukan harus dengan taktik, cara, dan strategi yang benar dan tepat. Jihad tidak boleh kontraproduktif dengan tujuan umum syariah, yaitu menjunjung tinggi keadilan, kesentausaan, dan amanah. Jihad yang dilakukan Rasulullah selalu mendatangkan manfaat yang lebih besar dengan risiko yang sangat minim. Rasulullah memang pernah mengatakan, "suarakanlah kebenaran sekalipun pahit", namun ia juga selalu mengingatkan seruan Tuhan dalam Alquran: "Jangan melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan" (QS al-Baqarah/2:195).

Sejumlah lima kali Allah menyerukan jihad tetapi selalu diawali dengan hijrah ( wahajaru wajahadu ). Ini mengisyaratkan bentrokan fisik harus dihindari sepanjang masih ada opsi lain, termasuk hijrah. Inilah jihad para Nabi, termasuk jihadnya Rasulullah. Ia memilih hijrah ke beberapa tempat, termasuk Thaif dan kemudian yang paling penting ialah memilih hijrah ke Yatsrib (Madinah), bukannya mempertahankan diri dengan segala konsekuensinya.

Dengan demikian, jihad tidak mesti identik dengan darah dan kematian. Jihad lebih dekat kepada kehidupan daripada kematian. Persepsi masyarakat internasional yang mengonotasikan jihad dengan akasi-aksi kekerasan, teror, dan bunuh-bunuhan jelas keliru. Di sinilah perlunya deradikalisasi pemahaman jihad di dalam masyarakat.

Menanggapi peristiwa pengeboman dan aksi-aksi teroris lainnya, sebaiknya semua pihak melihat kasus itu secara proporsional. Jangan sampai peristiwa pengeboman yang terjadi di negeri kita terlalu jauh di dramatisir dan dibawa ke dunia politik untuk memojokkan kelompok-kelompok tertentu, maka itu artinya kita ikut serta mengaburkan dan mengeliminir persoalan asasinya. Kita tunggu dan kita beri kesempatan kepada para aparat berwewenang untuk menuntaskan persoalan ini dengan tuntas. (Nasaruddin Umar -- Guru Besar UIN Jakarta, Rektor Institut PTIQ Jakarta & Katib Am PB NU).


By Republika Newsroom
Minggu, 19 Juli 2009 pukul 07:33:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar