Selasa, 21 Juli 2009

Duet Kepemimpinan SBY-JK Usai Pilpres


Meski penghitungan suara belum selesai dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya berselang sehari setelah pilpres, Kamis lalu, Jusuf Kalla (JK) sebagai capres sudah menyampaikan selamat kepada rivalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan itu, secara tidak langsung JK juga menunjukkan jiwa besar (legowo) mengakui kekalahannya, kendati proses pemungutan suara di berbagai daerah disebut-sebut sarat diwarnai penyimpangan atau kecurangan.

JK menyampaikan ucapan selamat karena menurut hasil penghitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, termasuk KPU, berdasa-kanr laporan sekitar seratus ribu tempat pemungutan suara (TPS) melalui teknologi pesan singkat (SMS) telepon selular, pasangan SBY-Boediono secara meyakinkan tampil sebagai pemenang pilpres.

Tindakan cepat JK secara ksatria memberi ucapan selamat kepada SBY ini -- juga sikap jembar SBY sendiri dalam menyikapinya -- sungguh merupakan peristiwa elok dan melegakan. Elok, karena persaingan kubu JK dan kubu SBY selama kampanye demikian sengit atau bahkan keras. Saking sengit dan keras, sampai-sampai JK dan SBY sendiri sempat beberapa kali bertarung secara head to head.

Karena itu pula, komunikasi politik JK-SBY pascapilpres ini terasa melegakan. Komunikasi itu menunjukkan bahwa kedua tokoh bisa segera melupakan segala intrik yang sempat tak terhindarkan dalam pentas persaingan di antara mereka selama kampanye lalu. Komunikasi itu menjadi pertanda bahwa persaingan kedua tokoh sudah selesai dan berakhir tanpa saling dendam ataupun saling benci.

Itu sungguh positif karena menjadi pembelajaran bagi kehidupan berdemokrasi di Tanah Air. Tokoh-tokoh lain dalam dunia politik kita mestinya dibuat sadar bahwa demokrasi bukan hanya menuntut sikap percaya diri, melainkan juga jiwa besar, sikap gentle, dan mental dewasa.

Dengan demikian, kemenangan tak lantas ditanggapi dengan sikap adigang-adigung-adiguna (sikap sombong, mengandalkan kekuatan, keluhuran, dan kepintarannya), sementara kekalahan tetap dihadapi dengan kepala tegak. Bahwa di balik proses demokrasi diduga berlangsung kecurangan, itu mestinya tak sampai melunturkan semangat ksatria: mengakui kekalahan sendiri sekaligus tak menafikan kemenangan pihak lain.

Dalam konteks JK-SBY pascapilpres sekarang ini, kedewasaan berpolitik di antara mereka berdua bukan hanya menjadi rujukan atau pembelajaran bagi publik, melainkan juga bermakna strategis terhadap kelangsungan pemerintahan di sisa masa jabatan mereka sebagai pasangan presiden dan wapres. Hubungan harmonis kedua tokoh pascapilpres menjadi jaminan bahwa pemerintahan akan tetap terjaga baik hingga akhir masa jabatan mereka berdua, yakni 20 Oktober 2009.

Hubungan SBY-JK pascapilpres memang tak boleh cede ra atau retak karena, bagaimanapun, masing-masing masih menyandang status presiden dan wapres hingga sekitar tiga bulan ke depan ini. Artinya, mereka masih mengemban tanggung jawab besar sebagai pasangan pemimpin nasional.

Tanggung jawab itu sendiri bukan sekadar terkait pelaksanaan kegiatan rutin pemerintahan yang harus tetap terjamin lancar dan efektif, melainkan juga merujuk pada janji-janji SBY-JK sendiri sewaktu dulu berkampanye sebagai pasangan capres-cawapres dalam rangka Pilpres 2004.

Patut diakui, masih cukup banyak janji SBY-JK yang belum tuntas diwujudkan -- entah di bidang ekonomi, politik, ataupun hukum. Secara etis dan moral, bagaimanapun janji-janji harus dipenuhi.

Karena itu, pasangan SBY-JK harus benar-benar memanfaatkan sisa waktu pemerintahan mereka berdua yang tinggal sekitar tiga bulan lagi untuk melunasi janji-janji yang tersisa. Jika tidak, duet pemerintahan SBY-JK tak akan terukir dengan indah dalam lembaran sejarah bangsa dan negara kita.***


Sabtu, 11 Juli 2009
Suara Karya Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar