Minggu, 05 Juli 2009

Sufisme di Masa kini


Melihat ketertarikan orang-orang pada sufisme di masa kini masihlah harus dipertanyakan, baik manfaat maupun dampaknya terhadap kehidupan masyarakat secara umum.

Sufisme adalah isme atau dapat juga dikatakan sebagai ilmu untuk menjalani kehidupan sufistik seorang sufi, yang mana diketahui bahwa akhir dari kesufian adalah awal dari kenabian, yang tentu saja menjadikan kesufian dapat di artikan pencarian kesucian yang tertinggi yang menjadi dasar atau awal kenabian, demikianlah bahwa akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi nya tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.

Para sufi berusaha untuk selalu menjaga pandang, wudlu juga fikirannya serta segala perbuatannya, demi tercapainnya kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Bagi para sufi tidak menikah adalah yang terbaik, namun bila ternyata ada sebersit saja syahwat terhadap lawan jenis, maka wajib lah hukumnya bagi mereka untuk menikah, yang sudah barang tentu mereka harus mendapatkan pasangan yang juga rela untuk dibawa hidup bersama dengan cara yang teramat sangat sederhana itu.

Menjaga kehalalan makanan dan minuman sangatlah penting bagi para sufi, dikarenakan pintu masuk syaitan yang paling besar adalah melalui makanan dan minuman yang tidak halal, baik haram pada makanan ataupun minuman itu sendiri, cara mendapatkannya ataupun cara mendapatkan uang yang di pakai untuk membelinya.

Umumnya kehidupan para sufi teramat sangat sederhana, mereka tidak akan menyimpan atau memiliki barang-barang sebagai harta melainkan hanya barang-barang sekedarnya untuk dipakai dan dimakan serta diminum saja, sesuai dengan cara mereka berpakaian serta cara mereka makan dan minum.

Marilah sekarang kita mengamati keadaan kehidupan secara umum, di masakini yang notabene untuk indonesia saja perbandingan antara laki-laki dengan perempuan kurang lebih berkisar antara satu banding empat (1:4) sampai dengan satu berbanding enam (1:6), yang berarti satu laki-laki seharusnya menanggung paling tidak empat (4) perempuan, 10.000.000 laki-laki berkewajiban terhadap 40.000.000 perempuan, dalam hal ini menanggung ataupun berkewajiban tidaklah di artikan dalam arti menikahi, melainkan bertanggung jawab dalam arti yang seluas-luasnya, perbandingan tersebut akan lebih besar lagi di negara-negara yang sedang dalam keadaan berperang, karena peperangan pada umumnya akan sangat berpengaruh dengan berkurangnya jumlah laki-laki, semua itu di perparah lagi dengan merebaknya kaum gay atau homo, kebudayaan tidak menikah atau kumpul kebo, juga situasi negara yang sulit menimbulkan banyak faktor stress yang dapat menghilangkan potensi laki-laki, serta kasus-kasus lainnya yang berdampak serupa.

Selain itu banyak pula orang yang tertarik dengan cara hidup sufi namun tidak pernah mengira betapa sulitnya menjalani kehidupan seperti demikian serta kurangnya pengetahuan dalam ketentuan-ketentuan islam yang sedemikian kompleksnya, sehingga pada saat mencobanya malah terperangkap kepada berbangga-bangga dengan jubah ataupun baju bertambal, kehidupan para sufi adalah kehidupan yang sangat-sangat sulit bagi orang-orang pada umumnya, dikarenakan hanya orang-orang yang sudah pada tahapan tidak membutuhkan apapun selain Allah saja yang dapat menjalaninya, jadi sebaiknya bagi orang-orang yang masih membutuhkan barang-barang, baik itu barang dunia maupun barang akhirat sebaiknya tidak usah berkeinginan menjalani kehidupan kesufian.


NB :
Inilah contoh Warga Kampung Adat Dukuh Yang Berpandangan "Sufisme" seperti yang diberitakan Kompas.com
Jumat, 12 Juni 2009 | 02:30 WIB

Warga Kampung Adat Dukuh di Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Jawa Barat, selain berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii.

Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat, ungkap Kepala Bidang Pemasaran pada Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan setempat Herman Santoso, Senin.

Bahkan idealisme itu, juga berpengaruh pada struktur bangunan penduduknya yang tidak membolehkan menggunakan dinding dari tembok, atau atap dari genteng serta tidak boleh membuat jendela dari kaca, katanya.

Dengan alibi apapun yang bersifat kemewahan, akan mengakibatkan suatu sistem masyarakat menjadi tidak harmonis, malahan tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio, yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan banyak kemudaratan.

Sedangkan peralatan makan yang digunakan, hanya terbuat dari pepohonan seperti layaknya bangunan, diantaranya bambu batok kelapa dan bahan kayu lainnya, karena material itu dipercaya memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan karena tidak mudah hancur atau pecah sekaligus dapat menyerap kotoran.

Perkampungan adat yang berjarak sekitar 1,5 km dari Desa Cijambe atau 120 km arah selatan dari pusat Kota Garut, bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum hingga Kecamatan Cikelet, dilanjutkan dengan jasa angkutan ojeg sampai lokasi.

Luas kampungnya 1,5 Ha, yang terdiri tiga wilayah meliputi Kampung Dukuh Dalam, Dukuh Luar serta kawasan khusus Makam Karomah, ungkap pemuka pemuda setempat Yayan ketika dihubungi dari Garut.

Dia mengatakan, wilayahnya merupakan perkampungan tradisional atau adat yang masih menganut kepercayaan nenek moyang, dan masyarakat disini juga masih mematuhi "Kasuaran Karuhun" atau yang dikenal dengan istilah Tabu sesuai dengan nasihat Leluhur kami, katanya.

Sementara itu, keunikannya berupa keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukiman msyarakat, hanya terdiri puluhan rumah yang tersusun pada kemiringan tanah bertingkat, namun setiap tingkatan terdapat deretan rumah membujur dari barat ke timur.

Miliki banyak ritual

Mereka juga melaksanakan upacara "Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk memberikan hasil pertanian kepada pemerintahan setempat.

Ciri khas lainnya hingga kini sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan jaman, bahkan nyaris tidak mengenal perkembangan IPTEK.

Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 ha tediri 7 ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 ha Kampung Dukuh Dalam serta sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat pula areal yang dikenal wilayah "Karomah". sebagai lokasi makam "Syekh Abdul Jalil", ujar Yayan.

Di kampung "Dukuh Dalam" hanya terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40 Kepala Keluarga (KK) atau 172 orang, sedangkan Kampung "Dukuh Luar" dihuni 70 KK, dengan mata pencaharian utamanya bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau serta memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.

Pola budaya aspek non fisiknya berupa ritual budaya antara lain "ngahaturan tuang" (menawari makan), merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar.

Jika memiliki keinginan tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam, kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan.

Kemudian "nyanggakeun" (menyerahkan), kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada "Kuncen" (juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak dirbolehkan memakan hasil panennya sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun.

Selanjutnya "tilu waktos" (tiga waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan membawa makanan ke dalam "bumi alit atau bumi lebet" (rumah kecil atau rumah dalam) untuk "tawasul", Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa, yang biasanya dilakukan pada 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam.

"Manuja", yakni penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk perayaan.

"Moros", merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat pemerintah seperti lurah dan camat.

Cebor Opat Puluh, adalah mandi dengan empat puluh kali siraman air dari pancuran yang dicampur dengan air khusus namun telah diberi doa-doa pada jamban umum.

Jaroh, merupakan bentuk kegiatan berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak.

Shawalatan, dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen, berupa Shalawatan Karmilah sejumlah 4.444 kali yang dihitung dengan menggunakan batu.

Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah, Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung Dukuh.

Terbang Sejak, merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan pernikahan, yakni sebagai pertunjukkan pertunjukan debus.

Maka terdapat hari-hari penting dan hari besar di Kampung Dukuh antara lain, 10 Muharam, 12 Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari pentingnya Sabtu (Pelaksanaan Ziarah), Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Sapar).

Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi "jimat" (keampuhan) sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan untuk digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud dipercaya sebagai hari paling baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh, juga terdapat tradisi 30 Bewah sebagai persiapan menjelang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kata Yayan. (ANT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar