Minggu, 08 Maret 2015

Menjadi Keluarga Alquran

 "Baca!”. Sendiri, di gua sunyi. Tiba-tiba Muhammad merasakan dirinya seperti didekap sosok tak berupa. Hanya suara yang memaksanya bicara. Dalam kondisi tiba-tiba tanpa tanda-tanda, tentu hanya takut yang ia rasa.
“Aku tak bisa!” Itulah jawaban yang Muhammad bisa. Sedangkan, Jibril, sosok tak berupa itu, semakin erat mendekap, lalu mengulangi perintahnya.
“Baca!”
“Aku tak bisa!”
“Baca!”
“Aku tak bisa membaca!”

Seraya tetap mendekap, Jibril kemudian membacakan firman Tuhan kepada Nabi Muhammad yang ketakutan, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Sang Pencipta. Ia menciptakan manusia dari segumpul darah. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah telah mengajar manusia dengan pena, apa yang tidak mereka tahu (QS al-Alaq [96]: 1-5).

Nabi mengulangi kata-kata yang diucapkan malaikat itu yang kemudian meninggalkannya. Beliau berkata, “Sepertinya kata-kata itu tertanam dalam hatiku.” Itulah wahyu pertama yang Muhammad terima, tepatnya pada Senin, 17 Ramadhan, saat ia berusia 40 tahun, enam bulan, dan delapan hari.

Selanjutnya, Alquran turun berangsur-angsur, ayat demi ayat, dalam kurun waktu sekitar 23 tahun yang terbagi dalam dua periode: periode Makkah (berlangsung sekitar 13 tahun dan ayat-ayat yang turun pada periode ini disebut Makkiyah) dan periode Madinah (berlangsung sekitar 10 tahun dan ayat-ayatnya disebut Madaniyah), sampai kemudian terhimpunlah Alquran utuh yang terdiri atas 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Susunan semacam itu, termasuk nama-nama surah, merupakan penetapan Rasulullah sendiri (tawqifi) dengan bimbingan malaikat Jibril.

Selama proses itu, setiap Ramadhan, Rasulullah SAW selalu membacakan kepada Jibril ayat-ayat yang telah turun sebagai verifikasi.

Allah telah berjanji, Alquran akan selalu terjaga. “Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yang menjaganya (QS al-Hijr [15]: 9). Keterjagaan tersebut terbukti dengan adanya para penghafal Alquran dan penulisan (pencetakan) mushaf yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah hingga masa ini.

Menjadi penghafal Alquran, yakni menjadi keluarga Alquran. Tentu yang namanya keluarga, saat kondisi sedih maupun bahagia selalu bersamanya. Mereka akan selalu bersamanya setiap waktu. Singkatnya, mereka hidup bersama Alquran dalam senang maupun susah. Keluarga itu tercermin dari ikatan cinta orang tua terhadap anak atau sebaliknya. Satu sama lain saling menyayangi, baik kala susah maupun senang.

Begitu juga dengan penghafal Alquran. Alquran menjadi bagian dirinya. Ke manapun ia pergi, Alquran tak pernah dilupakan. Keduanya telah melekat, tak bisa dipisahkan. Ketika sedih, ia membaca Alquran agar mendapat penghiburan dan penguatan dari yang dibacanya. Begitu juga saat senang, ia membaca Alquran agar selalu diingatkan untuk tidak berlebihandan mensyukuri atas kesenangan yang didapatnya itu.

Dari sini terungkap perihal salah satu tujuan menghafal Alquran. Ya, tujuan menghafalnya, yakni agar kita selalu berinteraksi setiap hari dengan Alquran. Inilah barangkali tujuan yang tersembunyi dari menghafal Alquran. Dengan menghafalnya setiap hari, secara tidak sadar kita sedang membangun kedekatan dengan Alquran. Aduhai, betapa nikmatnya apabila kita selalu dekat dengannya. 

Setelah kita berinteraksi dengannya secara intens, langkah selanjutnya, yaitu mengamalkannya. Pengamalan inilah sesungguhnya tujuan yang paling tinggi dari menghafal Alquran. Jadi, bukan hanya dihafal saja, melainkan juga diamalkan kandungannya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya” (HR Bukhari).

Mengajarkan sama saja dengan mengamalkan, kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mengajarkan tanpa mengamalkannya sama saja membohongi diri sendiri. Hal ini seperti diilustrasikan oleh Rasulullah SAW bahwa seorang mukmin yang tidak mengamalkan ajaran Islam, sama halnya pohon tanpa berbuah.

Semoga kita selalu menjadi ahli Alquran, yakni yang membaca, menghafal, kemudian mengamalkan kandungannya. Aamiin. Wallahu a’'lam. 

Oleh: M. Iqbal Dawami




Tidak ada komentar:

Posting Komentar