Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama menyoroti buruknya langkah pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat yang menemui bakal calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik
Donald Trump. Sebagai organiasi kemasyarakatan terbesar di Tanah Air, NU
menilai lawatan tersebut bisa merugikan umat Islam karena kubu partai Republik
selama ini dikenal lebih “keras” terhadap dunia Islam ketimbang kubu Demokrat.
Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf menuturkan sering kali calon-calon presiden Amerika dari Partai Republik menerapkan hal-hal yang konservatif terhadap dunia Islam. “Kunjungan pimpinan DPR menemui Trump itu bisa merugikan karena umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia,” ujar Slamet saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu malam (5/9).
Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf menuturkan sering kali calon-calon presiden Amerika dari Partai Republik menerapkan hal-hal yang konservatif terhadap dunia Islam. “Kunjungan pimpinan DPR menemui Trump itu bisa merugikan karena umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia,” ujar Slamet saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu malam (5/9).
Slamet
tak ingin kunjungan Setya Novanto dan Fadli Zon menemui Trump di acara
konferensi pers bakal calon presiden dari partai Republik dikesankan bahwa
rakyat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim mendukung Trump. (Baca: Muhammadiyah Sesalkan Pertemuan Pimpinan DPR dengan Trump)
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu menyatakan NU sebagai kekuatan rakyat yang besar dan bagian dari umat Islam selama ini selalu mencermati sejarah kepala-kepala negara di Amerika. “Kami menyimpulkan bahwa presiden-presiden Amerika dari Partai Demokrat lebih memperhatikan dunia Islam dan negara berkembang daripada kubu Republik,” kata bekas anggota MPR/DPR ini.
Kubu dari Partai Republik, ujar Slamet, terlihat begitu menonjol selalu berorientasi pada kemenangan kapitalisme yang kadang-kadang kurang populis. “Kesombongan dan hegemoni dari kubu Republik sangat terlihat selama ini,” ucapnya.
Menurut Slamet kubu dari Demokrat selama ini tidak terlalu kasar dan tidak terlalu “telanjang” dalam hegemoni dan sikap terhadap negara berkembang dan dunia Islam. “Demokrat lebih kelihatan bersahabat pada dunia Islam,” tutur politikus kawakan yang dulu aktif di Partai Golkar ini.
Namun begitu, Slamet menegaskan bahwa siapapun presiden Amerika selalu berorientasi pada tujuan dan kepentingannya sendiri. “Sama saja sebetulnya, baik dari kubu Republik maupun Demokrat. Hegemoni terhadap segala bidang dari mulai ekonomi sampai militer,” kata dia. “Itu kesombongan Amerika sebagai negara adi daya.” (Baca: Pertemuan Setya Novanto dan Trump Tak Untungkan Indonesia)
Slamet mencontohkan Presiden Amerika yang sekarang Barack Obama meskipun berasal dari Partai Demokrat juga sangat kentara dalam hegemoni di segala bidang termasuk menerapkan standar ganda bagi negara-negara berkembang dan dunia Islam.
Sependapat dengan Slamet, politikus partai Islam dari Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani memandang kubu Republik selama ini terlihat lebih “keras” terhadap dunia Islam dibandingkan Demokrat. (Baca: Setya Novanto Harus Jelaskan Pertemuanya dengan Trump di AS)
“Di Partai Republik itu ada ‘tea party’ yang merupakan faksi konservatif. Dalam sosial budaya juga sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Kristen,” kata Arsul ketika dihubungi CNN Indonesia, Sabtu malam (5/9).
Dengan begitu, menurut Arsul, sikap orang-orang Partai Republik terhadap dunia Islam tampak jauh lebih keras dan tidak toleran. “Mereka tidak seperti kubu Demokrat yang tak dipengaruhi oleh nilai-nilai agama,” ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu menyatakan NU sebagai kekuatan rakyat yang besar dan bagian dari umat Islam selama ini selalu mencermati sejarah kepala-kepala negara di Amerika. “Kami menyimpulkan bahwa presiden-presiden Amerika dari Partai Demokrat lebih memperhatikan dunia Islam dan negara berkembang daripada kubu Republik,” kata bekas anggota MPR/DPR ini.
Kubu dari Partai Republik, ujar Slamet, terlihat begitu menonjol selalu berorientasi pada kemenangan kapitalisme yang kadang-kadang kurang populis. “Kesombongan dan hegemoni dari kubu Republik sangat terlihat selama ini,” ucapnya.
Menurut Slamet kubu dari Demokrat selama ini tidak terlalu kasar dan tidak terlalu “telanjang” dalam hegemoni dan sikap terhadap negara berkembang dan dunia Islam. “Demokrat lebih kelihatan bersahabat pada dunia Islam,” tutur politikus kawakan yang dulu aktif di Partai Golkar ini.
Namun begitu, Slamet menegaskan bahwa siapapun presiden Amerika selalu berorientasi pada tujuan dan kepentingannya sendiri. “Sama saja sebetulnya, baik dari kubu Republik maupun Demokrat. Hegemoni terhadap segala bidang dari mulai ekonomi sampai militer,” kata dia. “Itu kesombongan Amerika sebagai negara adi daya.” (Baca: Pertemuan Setya Novanto dan Trump Tak Untungkan Indonesia)
Slamet mencontohkan Presiden Amerika yang sekarang Barack Obama meskipun berasal dari Partai Demokrat juga sangat kentara dalam hegemoni di segala bidang termasuk menerapkan standar ganda bagi negara-negara berkembang dan dunia Islam.
Sependapat dengan Slamet, politikus partai Islam dari Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani memandang kubu Republik selama ini terlihat lebih “keras” terhadap dunia Islam dibandingkan Demokrat. (Baca: Setya Novanto Harus Jelaskan Pertemuanya dengan Trump di AS)
“Di Partai Republik itu ada ‘tea party’ yang merupakan faksi konservatif. Dalam sosial budaya juga sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Kristen,” kata Arsul ketika dihubungi CNN Indonesia, Sabtu malam (5/9).
Dengan begitu, menurut Arsul, sikap orang-orang Partai Republik terhadap dunia Islam tampak jauh lebih keras dan tidak toleran. “Mereka tidak seperti kubu Demokrat yang tak dipengaruhi oleh nilai-nilai agama,” ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini.
http://www.cnnindonesia.com/politik/20150906041916-32-76850/pbnu-kubu-trump-lebih-keras-terhadap-dunia-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar