Kamis, 13 April 2017

Wanita dan kebebasannya setelah menikah.


Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarokatuh.


Wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) (An-Nisa’ : 34)


Seorang teman dengan lesu dan langkah lunglai datang berkunjung. 
tanpa basa-basi dia langsung cerita tentang calon mertuanya. 
Dia ingin kalau nanti sudah menikah istrinya tidak usah bekerja, cukup tinggal di rumah membereskan urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak. 
Tapi orang tua gadis punya kemauan sebaliknya, ia ingin sebagai pihak yang telah menyekolahkan anak gidisnya nanti walau telah menjadi istri orang lain harus tetap bekerja. 
Sang teman dan calon istrinya merasa bingung, terus bagaimana nanti kalau sudah menikah. 
Sang calon suami pun berencana melancarkan jurus diplomasi (tauriyah), mengelabui tanpa menipu.


Nikah dan Orang Tua

Pasca acara pernikahan pasangan suami istri memanf tidak selalu berpisah rumah dengan orang tua. Alasannya tentu banyak, bisa jadi karena orang tua yang keberatan bila anaknya berjauhan dengannya. Maklum saja, mungkin sang istri adalah anak semata wayangnya. Ada juga memang yang belum ada biaya sehingga dengan terpaksa tinggal di rumah orang tua. Biasa-biasa saja. Masalah terkadang muncul kemudian setelah hidup mulai di jalani di satu rumah itu. Mungkin bagi suami no problem hidup di rumah mertua karena biasanya seorang lelaki tak terlalu menurutkan perasaannya. Berbeda dengan istri yang rata-rata lebih perasa. Di sinilah awal masalahnya. Di satu sisi istri harus taat kepada suaminya, sementara di sisi lainnya orang tua pun ingin pula dilayani. Sebenarnya tak terlalu masalah juga bila perintah keduanya dalam hal yang berbeda. Ganjalan akan hadir di saat suami memerintahkan sesuatu tetapi orang tua memerintahkan hal yang lain kepada istri. Mana yang harus ditaati?


Berbakti kepada Orang tua

Berbakti, taat dan berbuat kebajikan kepada orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Bukan hanya karena orang tua merupakan sebab anak terlahir ke dunia atau sekedar ingin membalas budi baiknya. Akan tetapi hanya karena Allah mewajibkan taat dan berbuat baik kepada keduanya. Hanya karena kepada Allah saja, ini yang akan bernilai pahala. Sebagai bukti agungnya berbakti kepada orang tua, Allah menyertakan perintah berbuat baik kepada keduanya dengan perintah bertauhid kepada-Nya.

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’ : 23)
Ini menunjukkan keagungan berbuat baik kepada orang tua. Di zaman Rasulullah seorang laki-laki pernah bertanya : ”Siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik. Nabi menjawab : Ibumu. Kemudian siapa? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian siapa? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian siapa? Bapakmu.” (Muttafaq ‘alaih)

Berbuat baik kepada orang tua tak sebatas ketika keduanya masih hidup. Bahkan birrul walidain tersebut terus berlanjut di saat keduanya telah tiada. Seorang laki-laki dari kalangan Anshar datang menghadap Nabi, ia berkata, ”Ya Rasulullah apakah ada cara berbuat baik kepada kedua orang tua sesudah mereka tiada?” Nabi bersabda, “Ya! ada empat perkara yaitu mendoakan keduanya agar diberi rahmat, memohonkan ampunan bagi keduanya, melaksanakan janjinya, menghormati kawan kedua orang tua serta silahturahmi dengan orang yang belum pernah bersilahturahmidengan mereka kecuali dengan keduanya. Itulah cara engkau berbuat baik kepada mereka setelah mereka wafat.” (Abu Dawud)

Dalam hal-hal yang mubah-bernilai boleh dalam pandangan syariat-seoranganak hendaknya taat kepada kedua orang tuanya. Catatannya, bila kedua orang tua memerintahkan anak untuk berbuat maksiat maka tak ada ketaatan padanya. Misalnya orang tua memerintahkan kita meninggalkan shalat atau memutuskan silahturrahmi.


Dahulukan Taat pada Suami

Ketaatan kepada kedua orang tentu didahulukan daripada kepada orang lain. Secara umum demikian. Namun bagaimana keadaannya bila seorang istri telah punya suami? Bukankah kini ia harus bertanggungjawab kepada suaminya? Manakah yang lebih didahulukan antara taat kepada orang tua dan suami?

Secara ringkas jawabannya adalah suami. Dialah orang pertama yang berhak mendapatkan ketaatan dari istri sebelum yang lainnya. Rasulullah sediri pernah bersabda, ”Tidak patut bagi manusia untuk bersujud kepada manusia yang lain, dan kalau patut seorang manusia untuk bersujud kepada manusia yang lain tentu aku perintahkan kepada perempuan supaya bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas perempuan.” (HR. Ahmad)

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Segala puji bagi Rabb alam semesta. Seorang perempuan apabila telah dikawinkan maka suaminya lebih berhak terhadapnya daripada kedua orang tuanya, dan taat kepada suami itu lebih wajib atasnya. “ Allah Ta’ala berfirman, ”Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)

Rasulullah juga bersabda, ”Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah, yaitu apabila engkau melihat padanya maka ia menyenangkanengkau, dan apabila engkau menyuruhnya maka ia taat kepadamu dan apabila engkau tinggal pergi maka ia menjaga untukmu dirinya dan hartamu.” (HR. Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah dan Imam ahmad bin Hambal).

Ibnu Taimiyah menyampaikan dalil-dalil yang berkaitan dengan anjuran taat kepada suami. Selanjutnya beliau mengatakan, “Maka perempuan itu di sisi suaminya serupa budak dan tawanan, karena itu ia tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik perempuan itu disuruh oleh bapaknya, ibunya atau lainnya, demikian menurut kesepakatan para imam. Dan apabila suami hendak membawa istrinya pindah kesuatu tempat-semantara ia adalah orang senantiasa melakukan segala yang menjadi kewajibannya dan menjaga batas-batas Allah padanya, namun bapaknya melarang menaati suaminya dalam hal itu (perpindahan), maka istri itu wajib menaati suaminya bukan orangtuanya. Maka kedua orangtua itu zalim (berbuat aniaya), sebab keduanya tidak mempunyai hak untuk melarang wanita tersebut taat kepada suami seperti ini, dan perempuan itu tidak boleh taat kepada ibunya dalam hal yang diperintahkan seperti menjauhkan diri dari suaminya atau jauh padanya hingga suami menalaknya. Seperti halnya jika wanita itu menuntut nafkah, pakaian dan mas kawin kepada suaminya dengan tuntutan supaya suaminya mentalaknya. Karena itu istri tidak boleh mentaati dari salah seorang dari kedua orangtuanya untuk menimbulkan perceraian apabila suaminya takwa kepada Allah dalam mempergaulinya.”


Tidak Taat dalam Maksiat

Meski demikian, terkadang suami tidak perlu atau bahkan tidak boleh ditaati. Tentu tidak pada semua keadaan, hanya ketika suami memerintahkan kepada istri untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah. Melarang istrinya dari kebaikan yang diperintahkan Allah, atau menyuruh istri untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dalam kondisi demikian, istri tidak boleh mentaati suami. ”Sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah).” (HR. Ahmad)

Sebaliknya bila orangtua menyuruh taat kepada Allah, seperti mengerjakan sholat, berbicara yang benar, menunaikan amanat, melarang menyia-nyiakan harta maka istri tadi wajib taat kepada kedua orang tua dalam hal itu. Maka disaat inilah ketaatan kepada orangtua didahulukan daripada ketaatan kepada suami.


Bisa Disiasati

Idealnya memang bisa tinggal serumah dengan suami sendiri. Namun memang tak mutlak demikian, seperti beberapa kondisi yang dialami beberapa ibu rumah tangga. “Orang tua saya sudah berusia lanjut tidak ada yang mengurusi lagi, jadi tak tega meninggalkan mereka.” Seorang temanpernah mengatakan juga, “Kami tidak bisa pisah dengannya, soalnya beliau sayang banget sama cucunya.” Bila memang demikian, maka istri berusaha untuk memahamkan suami. Demikian halnya suami mestinya berusaha untuk memahami kedudukan istri. Kalau memang orang tua pengertian maka hal ini akan lebih nyaman lagi. Beliau tentu tidak akan banyak menuntut dari anaknya yang kini telah “berpindag tangan”. Kalau orang tua tidak seperti itu, maka tugas istri untuk berusaha mentaati orang tua namun tak melalaikan hak-hak suami dan tetap mencari keridhaan suami. Misalnya dengan meminta izin terlebih dahulu kepada suami. Bila suami mengizinkan habis perkara. Bila tidak berikanlah pengertian kepada orang tua tentang hal itu dengan sebijaksana mungkin.


Harapkan Ridha Allah

Seorang suami pernah bercerita bahwa istrinya bersikap agak acuh padanya ketika mudik dan berada di rumah orang tuanya. Hak-hak suami yang mestinya didahulukan sering dikalahkan demi memenuhi keridhaan orang tua dan keluarganya. Suami seharusnya sudah berusaha memaklumi itu semua, ya mungkin karena hanya sebentar tinggal di rumah orang tua jadi istri ingin memberikan pelayanan spesial kepada orang tuanya. Namun ternyata kasus itu tidak hanya sekali dua kali terjadi. Setiap kali mudik ke rumah orang tua atau keluarga, sikap-sikap yang sama kembali diulang. Ketika diingatkan oleh suami, jawabnya pun hanya pendek, “Nga enak dengan keluarga”.

Perasaan tidak enak memang sering dijadikan alasan untuk melegitimasi kesalahan-kesalahan yang terjadi. Karena siakap tidak enak akhirnya hak suami pun terkorbankan. Sementara berpahalakah perbuatan baik kepada orang tua dengan alasan tidak enak? Tak ada jaminan, yang pasti sebuah amalan hanya akan diterima di sisi Allah bila ikhlas dan sesuai syariat. Apakah perasaan tidak enak itu sama dengan ikhlas? Insya Allah semua sudah tahu jawabannya


Note tambahan :
http://m.facebook.com/photo.php?fbid=261726897267679&id=100002911111509&set=a.189683241138712.42023.100002911111509&m_sess=soBEzJfT-Wj1AeE71&ref=stream


http://permattahati.blogspot.co.id/2013/01/wanitadan-kebebasannya-setelah-menikah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar