Rumah Rasulullah saw sudah dikepung. Sebelas gembong penjahat dari beragam kabilah mendekam di persembunyiannya. Masing-masing siaga dengan senjata terhunus. Mata mereka liar nyaris tak berkedip mengawasi setiap celah yang memungkinkan Rasulullah saw keluar.
Dalam situasi yang sangat genting itulah, Rasulullah saw menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempatnya sambil mengenakan selimut yang biasa dipakai beliau. Kemudian, beliau keluar rumahnya tanpa diketahui para pengepungnya. Rasulullah saw langsung menuju rumah Abu Bakar as-Shiddiq. Lewat pintu belakang, keduanya menempuh perjalanan ke arah selatan sejauh lima mil. Keduanya tiba di gua Tsur di atas puncak sebuah bukit yang cukup tinggi. Selama tiga hari keduanya bersembunyi di gua tersebut.
Setelah mengetahui keadaan cukup aman, ditemani seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith, Rasulullah dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Setelah melewati daerah pantai dan daerah sepi yang nyaris tak pernah dilewati orang, mereka berbalik ke arah utara menuju Madinah. Pada Senin, 8 Rabiul Awal tahun keempat belas dari kenabian, bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M, Rasulullah saw tiba Quba’. Disana beliau mendirikan mesjid dan tinggal selama 4 hari. Setelah itu bersama beberapa orang sahabat yang menjemputnya, beliau bergerak menuju Madinah.
Kisah perjalanan hijrah Rasulullah saw tersebut tak asing lagi bagi kita. Sebuah kisah perjalanan yang sarat dengan pelajaran. Ia tak hanya menjelaskan peristiwa pindahnya Rasulullah saw dari tanah kelahirannya, Makkah, menuju negeri hijrah, Madinah. Tapi, menyimpan beragam strategi, taktik, dan siasat jitu menghadapi musuh.
Keberhasilan Rasulullah saw menyelamatkan diri dari kepungan dan kejaran orang-orang yang ingin membunuhnya itu, tak cukup dijelaskan semata karena pertolongan Allah. Meski itu yang paling utama, tapi sisi usaha Rasulullah saw sebagai seorang manusia pun sangat nyata. Bahkan, kalau diteliti, pertolongan Allah itu muncul dan menjadi kunci keberhasilan setelah segenap usaha dilakukan.
Untuk mengelabui mereka yangmengepung rumahnya, Rasulullah saw menyuruh Ali bin Abi Thalib tidur mengenakan selimutnya. Beliau juga sudah memperkirakan, musuhnya akan mengejar ke arah Madinah. Untuk itu ia bersembunyi di gua Tsur yang letaknya berlawanan dengan arah Madinah. Rasulullah juga menyuruh Amir bin Furairah, mantan budak Abu Bakar untuk menggembalakan kambing di sekitar dan sepanjang jalan ke gua. Selain untuk diambil susunya, juga untuk menghilangkan jejak.
Untuk mengetahui keadaan lawan, Rasulullah saw menyuruh Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka di gua dan sebelum matahari terbit ia sudah berada lagi di Mekkah. Dengan demikian, Rasulullah saw tahu semua rencana orang-orang kafir yang terus mencari dan ingin membunuhnya. Sebaliknya, orang-orang kafir tak pernah curiga karena Abdullah bin Abu Bakar selalu bersama mereka di siang hari.
Selama tiga hari bersembunyi di dalam gua, Rasulullah saw dan Abu Bakar tidak kelaparan karena Asma’ senantiasa menyuplai makanan buat mereka. Dengan cerdik putri Abu Bakar itu menyelipkan makanan di pinggangnya. Karenanya, dalam sejarah ia dikenal dengan Dzatun Nithaqain (pemilik dua ikat pinggang).
Namun semua itu hanyalah usaha maksimal manusia. Yang berhak menentukan keberhasilan hanyalah Allah. Buktinya, walaupun Ali bin Abi Thalib sudah diperintahkan tidur di tempat Rasulullah saw, tetap saja ada di antara para pengepung yang sempat mengetahui bahwa beliau sudah keluar. Kekuasaan Allah lah yang mampu menutup mata dan hati para pengepung sehingga Rasulullah saw berhasil menyelamatkan diri.
Meski sudah berusaha semaksimal mungkin mengatur siasat, tetap saja para pengejar berhasil menemukan tempat dimana Rasulullah saw dan Abu Bakar bersembunyi. Hanya kekuasaan Allah lah yang mampu menggerakan hati orang-orang kafir itu untuk tidak melongok ke dalam gua. Kekuasaan Allah juga yang menggerakkan hati burung merpati untuk bertelur di pintu gua. Kekuasaan Allah juga yang menggerakkan laba-laba untuk merangkai sarangmya menutupi pintu gua. Dengan demikian orang-orang kafir yang saat itu sudah berdiri di muka gua, tak curiga kalau di dalamnya ada Rasulullah saw dan Abu Bakar sedang bersembunyi.
Meski sudah berusaha semaksimal mungkin memilih jalan paling aman ke Madinah, tapi tetap saja Suraqah bin Naufal mampu menemukan mereka. Lagi-lagi hanya karena pertolongan Allah yang menyebabkan kaki kuda Suraqah terperosok sehingga menyebabkannya tak sanggup menangkap atau membunuh Rasulullah saw.
Tak hanya pada peristiwa hijrah hal ini terjadi. Menghadapi pasukan Ahzab yang jumlahnya berlipat ganda, Rasulullah saw dan kaum Muslimin sudah berusaha semaksimal mungkin. Untuk membentengi diri dari serbuan musuh, kaum muslimin sudah menggali parit yang mengitari hampir setengah keliling Madinah. Rasulullah saw pun menyuruh Hudzaifah Ibnul Yaman untuk mengintai keadaan lawan. Beliau juga membolehkan Nuaim bin Mas’ud untuk memecah-belah pasukan musuh. Namun, bukan itu yang membuat lawan kalah. Bukan itu yang menyebabkan lawan tercerai-berai. Itu hanyalah usaha manusia. Yang memenangkan pertempuran adalah Allah. Dengan hanya mengirimkan angin, Allah membuat pasukan Ahzab kocar-kacir. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan medan pertempuran dengan rasa takut yang mencekam.
Begitulah perjuangan. Ia tak hanya butuh kerja keras yang maksimal, tapi juga butuh pertolongan dari Allah. Sebaliknya, pertolongan dari Allah tak bisa turun begitu saja tanpa usaha yang maksimal.
Karenanya, datangnya pertolongan Allah itu bersyarat. Ia hanya akan datang kepada mereka yang sudah berusaha menolong agama-Nya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu,” (QS. Muhammad:7)
Jadi jangan berharap pertolongan Allah akan muncul kalau kita tak pernah berusaha menolong agama-Nya. Pertolongan Allah tidak bisa gratis.
Sabili No. 15 Th. XI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar