Minggu, 18 April 2010

Gengsi

Meskipun gengsi itu tidak enak dimakan, sering dalam hidup ini kita mati-matian memburunya. Demi gengsi orang bersedia melakukan apa saja, berapa pun besar ongkos dan risikonya. Banyak tindakan melawan hukum, tata susila dan moral, dilakukan demi mengejar gengsi.

Lain orang lain pula simbol-simbol yang dipandang bergengsi. Unsur etnis, kesukuan, agama, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jenis kelamin dan tingkat usia seseorang, sering mewarnai perbedaan-perbedaan tadi.

Unsur lokal (di daerah mana atau kompleks apa) seseorang tinggal, juga mempengaruhi corak perbedaan gengsi tadi. Di kompleks perumahan sederhana, orang masih bisa bangga betapa ia baru pulang dari Blok M membeli mesin cuci atau video. Pekerjaan “mulia” itu biasanya diemban oleh, maaf agak terus terang, kaum ibu.

Di kalangan sarjana, lain lagi ulah orang untuk menunjukkan gengsi ini. Pernah seorang doktor dari Indonesia memberi ceramah di Universitas Monash, Australia, di depan mahasiswa Indonesia. Dalam sepuluh dari tiga puluh menit ceramahnya ia sibuk bicara tentang dirinya, termasuk bahwa ia murid Ivan Illich dan Rostow yang beken itu.

Arti simbolik dari “pidato”-nya itu pun merupakan usaha menunjukkan gengsi untuk menimbulkan efek “wah”. Memang banyak orang terkesima mendengar murid Rostow itu bicara. Namun ada juga yang tampak gelisah. Saya malah mengantuk. Ketika ceramah selesai, orang pun menggerutu. Katanya, ceramahnya tidak bermutu. Saya tidak setuju. Mana bisa doktor tidak bermutu?

“Kamu tidur kok bisa tidak setuju,” gerutu salah seorang.

Maksud saya, mutu sudah terang ada, cuma tak setinggi langit harapan kita. Memang salah para pendengar. Mereka terlalu banyak berharap. Orang sering keliru, dikiranya kualitas luar negeri (dan murid sarjana kenamaan) mesti hebat.

Sebenarnya, kita musti sepaham dulu dalam dua hal: bahwa kebesaran guru belum tentu merembes ke murid, dan bahwa doktor haruslah pertama-tama dilihat, apa boleh buat, cuma sebagai lambang selesainya sebuah proses administratif. Artinya, tak usah dulu bicara tentang kemampuan akademisnya.

Namun, apa yang terjadi di sekitar kita memang lain. Kita terlanjur menilai, doktor itu sebuah gengsi akademis yang tinggi. Sikap seorang doktor dengan orang awam pun jadinya ada keserupaan. Mereka, pada dasarnya, kelewat bangga terhadap gengsi. Kenyataan tidak seimbangnya gelar dengan kemampuan akademis, atau, tak seimbangnya gengsi dengan esensinya sebagai seorang doktor, merupakan soal lain.

Kita lihat saja, misalnya, betapa gigih mahasiswa sekadar mengejar lulus demi gelar. Jadi demi gengsi. Dan bukan memburu esensi. Sudah barang tentu sikap mereka salah. Tapi kurang adil kita menimpakan kesalahan hanya pada para pemburu gengsi itu. Soalnya, mungkin kita semua punya kontribusi terhadap terbentuknya sikap dan orientasi hidup seperti itu. Mungkin kita semua sudah gila gengsi.

Membanggakan mantan guru, almamater, jabatan, orang tua, atau gelar akademis, diam-diam lalu menjadi lumrah. Tidak punya kemandirian dianggap biasa. Jarang jadinya orang yang berani bersikap lugas, apa adanya. Kalau toh ada juga, itu sebuah kekecualian.

Beberapa bulan lalu, saya berkenalan dengan seorang yang rambutnya mulai memutih. Saya sulit menduga sebagai apa dia. Dia hanya mengaku bekerja di sebuah departemen, yang saya tahu pusat penelitiannya baik. Tapi ketika saya tanya apakah dia peneliti, dengan datar dia menjawab: “Saya cuma birokrat.”

Tak ada kesan apa-apa di wajahnya. Di masyarakat kita, birokrat sering dipandang remeh. Setidak-tidaknya gelar birokrat tampak tak seluhur cendekiawan, dramawan, penyair atau ahli ini ahli itu. Citra birokrat terlanjur negatif.

Pengakuan “saya cuma birokrat” itu lalu terasa mengesankan kegetiran. Tapi mungkin juga keberanian. Penasaran saya jadinya. Dari orang lain akhirnya saya tahu, dia bukan sembarang orang. Dia seorang Dirjen. Kabarnya, Menteri pernah menawarinya rumah di Menteng. Tapi dia menolak. Lebih suka dia tinggal di rumah sederhana yang dibelinya sendiri.

Sebagai birokrat, rumus kerjanya cuma dua: “Bikin tiap orang yang keluar dari kamarmu tersenyum bahagia. Jadikan jabatanmu sarana ngibadah (beribadah)”.

Saya kagum. Saleh orang ini. Tak banyak di negeri kita orang yang bicara tentang jabatan sebagai sarana ngibadah. Umumnya, jabatan dijadikan wahana mewujudkan impian-impian dan sarana menjunjung tinggi (secara sosial, ekonomi, dan politis) gengsi keluarga, anak cucu dan para cicit.

Mohammad Sobary,
Suara Pembaruan, 18 Januari 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar