Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang ahli ibadah. Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya marah karena tak ada lagi yang bisa dimakan. “Barang apa yang hidup merayap perlu makan. Carilah pekerjaan, Bang, karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan,” gerutu istrinya.
Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar bisa berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi hari berangkat, sorenya baru pulang. Kepada istri ia berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.
Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari mana semua itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi datang mengantar bahan pangan dan sejumlah uang. “Baru aku berdoa sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya,” gumam orang itu. Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan ia berdoa di gua.
Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam kisah ini, melainkan arti simbolis yang dikandungnya. Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.
Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah ia datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di Yogya ia kuntit: siapa tahu dalam omelannya terdapat petunjuk nomor. Sering ia tidur di kuburan mencari impen (impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di meja Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas. Senik, istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya karena tak tahan lagi hidup dalam alam porkas yang panas. Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena tak ada biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.
Mertua ikut bingung. Orangtua Parmin sendiri kehabisan nasihat. “Arep dadi opo to kowe, Min, Min …,” (mau jadi apa kamu), kata orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya, ya. Mau jadi apa?
Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan Parmin dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan macam Pak Kiai atau Romo Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun, Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.
“Ada apa?” tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
“Saya mohon petunjuk, Pak Kiai.”
“Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode,” kata Pak Kiai. Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu bahwa ia pecandu porkas.
“Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat,” kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak Kiai monggo mawon, jiwa Parmin “dicuci”. Diajari pula salat dan berdoa. Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk menyebut kata-kata Arab.
“La Khaula wala kuata illa …,” kata Pak Kiai pelan.
“La wala wala …,” Parmin tergagap-gagap. Pak Kiai mau ketawa. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala. Pusing juga ahli rohani itu.
“Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?”
Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa dipermudah. Yang penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas betul.
“Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi, “Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat, mengeluh, mengadu, pada Tuhan sambil terus giat narik becak.”
Tiap malam Jumat Parmin “digarap” Pak Kiai. Pesan beliau: “Kalau ada kegaiban, jangan heran. Gusti memang Mahagaib. Pokoknya, syukuri, dan perbanyak doa, giat usaha. Itulah laku utama,” bisik Pak Kiai.
Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan selembar uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada Pak Kiai. Jawab beliau, “Syukuri dan perbanyak doa.”
Dulu, Parmin dirongrong nafsu “ingin punya”. Kini, di bawah asuhan Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia ayem. Semeleh atau tawakal, memberinya ketenangan. “Hamba tak berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya”. Mudahnya: “Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato”.
Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi sampai jam lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik. Apalagi belum sesuap pun nasi masuk perutnya. “Duh, Gusti wolo-wolo kuwato,” keluhnya. Menjelang jam enam, seorang penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak itu. Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di saku Parmin.
Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan. Tapi belum sempat kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa shock kehilangan godfather.
“Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur bahwa kau sudah mengkredit becak,” kata putra Pak Kiai. Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu?
Memang, sejak sering ditemukannya “uang gaib” di rumah, ia menabung. Kepada istrinya ia berpesan untuk tak mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya, ditanggulangi dari narik becak harian.
Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah Gendut. Begitu becak lunas, ia ingin “matur” Pak Kiai. Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan laporan. Pak Kiai sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir)
“Yah, namanya juga wong suci,” pikir Parmin.
Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang “gaib” tak lagi ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya. Namun, ia sadar, kegaiban toh tak bisa terjadi terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup tak bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan mengayuh becak barunya itulah kunci hidup yang sekarang dipegangnya.
Mohammad Sobary,
Tempo 2 Februari 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar