Jumat, 09 April 2010
Rengkuhlah Alam dengan Iman
Sejarah Nabi Nuh adalah penggalan tentang kisah kengerian luar biasa. Terutama, ketika Allah membinasakan orang-orang kafir melalui alam yang sangat ganas. Langit menumpahkan bermiliar kubik air. Deras, dan sangat deras. Bahkan air juga memuncrat hebat dari dalam tanah. Tidak hanya itu, bahkan disertai topan yang sangat kencang. Tiba-tiba bumi berubah menjadi hamparan samudera yang luas. Segalanya begitu mencekam.
Di tengah gelombang yang bergulung-gulung setinggi gunung, bahtera Nabi Nuh berlayar. Dari atas kapal, Nabi Nuh mencoba memanggil Qan'an, anaknya yang memencil jauh. Agaria mau beriman dan ikut bersama di atas kapal.
"Anakku, naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir," panggil Nabi Nuh dengan penuh kasih.
"Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" sahut anaknya.
'Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang," kata Nabi Nuh, mencoba meyakinkan anaknya. Tetapi Qan'an tetap pada pendiriannya. "Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang ditenggelamkan." (QS. Hud: 43).
Gelombang yang ganas bisa bersahabat dengan Nabi Nuh dan orang-orang beriman. Tetapi ia menjadi adzab bagi yang tak beriman. Gunung yang menjulang tak peduli dengan nasib Qan’an dan orang-orang kafir lainnya.
Rahasianya adalah karena gelombang dan gunung itu sama-lama tentara Alah. Bahkan laut, hujan, angin topan, binatang buas, burung, hingga serangga kecil yang lambat adalah tentara Allah yangsangat perkasa. "Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui Bijaksana." (QS. Al-Fath: 4). Para tentara patuh kepada Allah, bersahabat dengan orang-orang yang beriman, dan membenci orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
Simaklah Al-Qur'an. Kita bisa bahwa alam semesta tidak saja tentang keindahan dan keselarasan. Tetapi pada saat yang sama, Al-Qur'an juga menjabarkan bagaimana alam menampakkan kehebatannya sebagai tentara Allah. Seperti bagaimana Allah menghukum Fir'aun dan kaumnya. "Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa." (Al-A'raf: 133). Para ahli tafsir menjelaskan, bahwa mengi¬rim mereka darah, maksudnya air minum mereka berubah menjadi darah.
Peradaban di zaman apapun selalu menjadikan alam sebagai mitranya. Bahkan sebagian masyarakat menyembah dewa-dewa yang diyakini menguasai alam. Memang, dalam pandangan aqidah Islam menuhankan alam adalah salah. Namun setidaknya, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara Tuhan, fitrah manusia dan alam.
Apa yang dilakukan peradaban Barat jauh lebih buruk. Ketika mereka memulai zaman imperialisme dan kolonialisme, mereka mengekploitasi segala sumber alam secara besar-besaran dan nyaris tak beradab. Mereka yang menganggap dirinya orang-orang modern ternyata lebih primitif dalam memandang alam. Mereka memandang alam semata-mata obyek, yang bisa semaunya dieksploitasi, dijajah, diaduk-aduk sesuai seleranya.
Memahami alam tidak akan pernah utuh tanpa mendudukkan eksistensinya sebagai tentara Allah. Dalam sejarah orang-orang shalih, banyak kita temukan fakta bagaimana alam tunduk kepada perintah Allah untuk membela orang-orang yang beriman. Seperti api yang diperintah Allah untuk berubah dingin, ketika digunakan raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim. Atau Laut Merah, yang diperintah Allah untuk mengubah karakter¬nya, menjadi hamparan jalan yang nyaman bagi Nabi Musa dan Para pengikutnya.
Melalui tentara-Nya, Allah berkuasa melin¬dungi hamba-hamba-Nya yang mukmin dan memenangkan mereka atas orang-orang kafir. Allah berjanji akan membela orang-orang yang beriman. Janji itu berlaku sepanjang masa. Dan, Allah tidak pernah menyalahi janjinya. Sedang tentara Allah sendiri tidak terbatas jenis dan jumlahnya. "Dan tidak ada yang menge¬tahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri." (QS. Al-Muddatsir: 31).
Di Afghanistan misalnya, seperti dituturkan Asyahid Abdullah Azzam, banyak sekali bukti pembelaan Allah melalui tentara-Nya ketika kaum muslimin berjuang mengusir Soviet. Bahkan Abdullah Azzam menuliskan semua itu dalam satu buku khusus yang ia beri judul Ayaturrahman fi JihadilAfghan (Ayat-ayat Allah dalam jihad Afghan). Hal yang sama juga terjadi di Bosnia, Chechnya, Palestina, maupun di belahan bumi lainnya.
Maket kebersamaan manusia dengan alam telah ditetapkan Allah sejak kali pertama penciptaannya. Bumi dan seluruh isinya memang diciptakan untuk manusia. (QS. AI-Baqarah: 29). Sementara manusia sendiri, ditetapkan sebagai khalifah yang diperintahkan mengelola bumi itu. (QS. AI-Bagarah: 30). Maka, prinsip kebersamaan manusia dengan bumi dan alam semesta harus dibangun melalui poros tauhid. Artinya, manusia tidak boleh menyekutukan Allah, durhaka, apa lagi melawan-Nya. Sebagaimana alam semesta juga tunduk dan patuh kepada Allah. Dengan begitu, seorang mukmin bisa bertemu dengan alam dalam satu identitas yang sama: identitas keiman¬an. Lihatlah misalnya, penjelasan Allah, yang artinya. "Senantiasa bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS.AI-Jumu'ah: 1)
Ayat di atas, sekali lagi menegaskan, bahwa poros pertemuan antara seorang mukmin dengan alam justru pada iman itu sendiri. Ini memang masalah keyakinan. Tetapi setiap orang sangat perlu kepada keyakinan itu. Kita harus bersahabat dengan alam. Tetapi kita hanya bisa benar-benar bersahabat dengan mereka dalam ikatan iman. Bersama alam kita mengagungkan Allah, memuji-Nya, menyembah-Nya, dan mengesakan-Nya.
Bersahabat dengan alam dalam ikatan iman memberi kita begitu banyak manfaat. Di antaranya, alam bisa menjadi pengingat kita setiap saat. Mengingatkan kita bagaimana menjalani hidup yang baik. Mengingatkan kita dari kesalahan dan dosa. Bila seluruh isi alam ini beriman dan selalu menyucikan Allah, alangkah malunya kita, bila dengan sengaja selalu melakukan dosa.
Ya. Semestinya kita malu kepada tanah yang kita injak, malu kepada udara yang kita hirup, malu kepada matahari yang menerangi kita. Malu kepada pohon-pohon yang berdiri tenang. Malusekitar kita. Malu kepada semut-semut yang merayap ketakutan. Bahkan kepada bayang¬bayang diri kita sendiri. "Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri? Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melak¬sanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)." (QS. An-Nahl 48-50).
Mereka senantiasa menyucikan Allah. Se¬dang kita? Apa yang tengah kita lakukan? Tadi pagi? Tadi malam? Kemarin? Dulu? Hari ini?
Manfaat lain bersahabat dengan alam dalam ikatan iman, justru akan menambah iman itu sendiri. Alam dan seluruh isinya mampu memberi kita sumber inspirasi iman yang sangat kaya. Dari setiap jengkal daratan, dari setiap lereng gunung yang lebat, dari seluruh hamparan lautan luas, para tentara Allah itu tak pernah lelah memberi. Berapakah yang telah dinikmati manusia dari alam semesta ini. Maha Suci Allah, tidakkah semua itu mampu menambah cahaya iman di hati?
Lihatlah alam. Dalam diamnya, mereka tengah bersuara dengan bahasa yang lain. Seperti tengah menohok jantung kita, menya¬darkan tentang Allah. Tidak sulit memahami perspektif iman dalam bersahabat dengan alam. Hanya diperlukan sedikit penghayatan, pere¬nungan, dan juga sedikit waktu untuk berlatih jujur. Tetapi semua itu akan sulit bagi mereka yang dengan sengaja menutup mata hatinya. "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan Siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190).
Dalam konteks interaski sosial, bersahabat dengan alam dalam ikatan iman, akan menja¬dikan manusia mengerti etika pemanfaatan alam. Alam ini tertata dalam sebuah tekstur yang indah, harmonis, dan seimbang. Karenanya, manusia dilarang keras membuat kerusakan di muka bumi, menghancurkan alam, menga¬
prinsip keseimbangan itu. "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya." (QS.AI-A'raf.:56)
Manusia dan alam terikat dalam prinsip kesalingtergantungan. Tetapi alam bisa tetap eksis meski tanpa manusia. Sedang manusia, tidak akan bisa hidup tanpa alam. Karenanya, manusia dipersilakan mengelola alam dengan sarana ilmu dan akal yang bijak, dalam konteks "memakmurkan bumi" sebagaimana yang diamanahkan kepadanya. Maka, tatkala manu¬sia berbuat semena-mena terhadap alam, oto¬matis akan terjadi kekacauan. Alam akan murka. la bisa membinasakan dan melumat manusia menjadi tanpa bentuk dan tanpa bekas.
Dalam seluruh makna di atas itulah kita menghayati, bahwa alam semesta adalah tentara Allah yang beriman dan patuh kepada-Nya. Kare¬nanya, kita harus bersahabat dengan mereka, dalam ikatan iman dan ihsan. Bukan sebaliknya, malah membuat kerusakan, onar dan bangga menumpuk dosa di atasnya. Imam All bin Abi Thalib menasehati, "Tidaklah musibah itu turun, kecuali lantaran dosa. Dan tidaklah is bisa diangkat kecuali dengan taubat."
Kita tidak sedang mengajari siapa pun. Apalagi menggurui para korban hantaman banjir dan terjangan tanah longsor yang men¬cabik-cabik negeri ini. Kita sangat sadar, untuk tabah atas semua kepahitan ini saja tidak mudah. Tetapi setelah segala duka ini, tidak adakah umpan balik yang lebih bertenaga? Setelah segala kehilangan yang menyakitkan ini, haruskah kita kehilangan spirit untuk menghayati rahasia alam di balik semuanya?
Kita harus tetap seorang mukmin, dalam suka maupun duka. Kita harus tetap seorang mukmin, dalam susah maupun senang, dalam karunia maupun bencana. Allah, Yang Maha Suci lagi Maha Bijaksana, tidak akan salah mem¬bedakan, mana di antara kita yang sedang diadzab karena dosanya dan mana yang sedang diuji kenaikan imannya, meski semua kita tercebur dalam satu kubangan bencana yang lama rasanya. Kita memang harus tetap seorang mukmin, apapun yang terjadi. Ini memang sulit, tetapi pilihan lain jauh lebih meyakitkan.
Dikutip dari Tarbawi edisi 30 th3, Hal 6-8
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar