Kamis, 08 April 2010

Unfinished Emotion



Unfinished emotion merupakan sebentuk respons emosional terhadap apa yang kita persepsikan tidak adil yang terjadi di masa lampau. Bentuknya amat beragam, bisa berupa kebencian, kemarahan, sakit hati atau dendam.


Menurut Ernie Larsen, pada saat kita merasakan, menyimpan dan menahan emosi di masa lalu saat itulah terjadi suatu siklus unfinished emotion.
Dalam buku Dio Martin, Emotional Quality Management prosesnya adalah seperti ini : Mula-mula ada peningkatan persepsi mengenai ketidakadilan atau ketidaknyamanan yang mencetuskan amarah, benci, dendam maupun sakit hati. Kejadian inilah yang disebut unfair trigerred events. Selanjutnya akan muncul respons dalam diri kita yang menolak atau mempertanyakan, “Kok tega-teganya dia melakukan itu padaku”. Kecenderungannya, kita mengatakan yang membenarkan perasaan tidak nyaman kita dan menolak kejadian tersebut.
Selanjutnya, perasaan tidak nyaman berkembang menjadi energi kemarahan, kebencian dan dendam yang semakin akumulatif dan meningkat. Akhirnya dalam hati kita mengatakan, “Dendam ini akan saya bawa sampai mati,” atau “Tidak bakalan selamat dia”. Proses pembenaran terhadap ketidakadilan tersebut akan semakin menguat. Demikian seterusnya hingga siklus ini terus membesar menimbulkan medan energi yang semakin besar.
Unfinished emotion dapat terjadi karena manusia tidak segera atau tidak mau menyelesaikan permasalahan emosinya. Manusia tidak mau menerima masa lalu atau memaafkan orang-orang yang menyakitinya. Emosi itu bertumpuk-tumpuk sedemikian rupa dalam waktu yang lama. Dalam waktu yang lama itu, manusia biasanya dapat bertahan karena ia melakukan mekanisme penyangkalan. Mekanisme ini berfungsi ibarat obat simtomatis yang hanya dapat meringankan gejala, tetapi tidak menyembuhkan. Ibarat obat simtomatis, cara ini efektif hanya sesaat dan sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Kita seakan tidak belajar dari kehidupan.

Bentuk penyangkalan ini beragam. Pertama, represi, dimana kita menguburkan masalah dan berpura-pura tidak ada masalah. Ini adalah cara konyol yang hanya berujung pada penumpukkan masalah di alam bawah sadar kita.

Kedua,
pengalihan dan penghindaran. Contohnya, menenggelamkan diri kita asyik membaca koran saat ada sesuatu yang harus dilakukan. Penghindaran terhadap masalah kecil hanya membuat masalah itu berkembang menjadi masalah yang lebih besar. Dan saat itu akan semakin sulit kita mengontrolnya.

Ketiga,
proyeksi. Hal ini terjadi ketika emosi kita memuncak dan melampiaskannya pada benda atau orang lain yang sering tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan permasalahan kita.

Keempat, perilaku menyamankan. Kita melakukan perilaku yang membuat kita nyaman untuk sementara. Yang paling sering adalah makan, ngemil, dan tidur, atau hal-hal kecil lainnya seperti menggigit pena.

Jadi, bagaimana untuk menghilangkan unfinished emotion ini?

Manusia tidak mau menerima masa lalu atau memaafkan orang yang pernah menyakitinya. Sehingga menghalangi manusia untuk merasakan bahagia semestinya.
Untuk menangani hal ini, dikatakan dalam buku tersebut, terdapat berupa kunci. Kunci yang membuka pintu ruang jiwa.Terdapat sebuah kunci yang merupakan kekuatan besar, yaitu…

Memaafkan (forgiveness)


Kata maaf, memang lebih mudah diucapkan dibanding diterapkan. Karena perasaan terluka terkadang meninggalkan bekas tersendiri. Di sadari, bahwa kita tidak sendiri. Berjuta-juta orang pun pernah terluka, karena memang itulah wajah kehidupan. Kadang senyum, kadang memaki. Sama sekali tidak ada yang salah dengan luka itu, karena itu hanya membuktikan bahwa kita benar-benar menjalani sebuah kehidupan.

Memaafkan orang yang pernah melukai kita adalah kunci pembuka pintu kebahagiaan yang utama; dan mungkin yang paling berat untuk dijalani. Memaafkan orang lain membutuhkan sebuah kekuatan besar yang luar biasa, karena mungkin sebenarnya kita bisa membalas tindakannya. Memaafkan orang lain sebenarnya bukanlah untuk musuh kita, melainkan untuk diri sendiri, untuk kebahagiaan kita.

Sebaliknya, kebencian adalah pencuri yang dapat mencuri saat bahagia kita. Kebencian adalah kegelapan yang dapat meredupkan cahaya kebahagiaan dalam hati kita. Kebencian adalah mesin penyakit yang mengundang kesengsaraan bagi jiwa dan jasad kita. Kebencian adalah kesesakkan di alam jiwa kita yang dapat melahirkan tindakan kekanak-kanakan, merusak, dan menghancurkan jiwa kita sendiri.

Dendam yang masih berdiri kukuh dalam hati kita mungkin menghalangi kita dari kebahagiaan. Dendam itu selalu mencari-cari pembenaran. Dendam itu mungkin telah melahirkan sedemikian banyak aksi yang tidak seperlunya. Dan sekali lagi… kita mencari-cari pembenarannya. Pikiran kita mungkin mengatakan, “Saya berbuat ini,… karena dia telah memfitnah saya, menghancurkan karier saya dan berlaku tidak adil kepada saya.”. Tapi pernahkah tersadar, bahwa pembenaran yang dilakukan justru sesungguhnya hanya memenjarakan kita.

Ibarat pupuk, pembenaran-pembenaran yang kita buat itu sebenarnya membuat dendam terus tumbuh berakar dalam hati kita. Pembenaran-pembenaran itu sendiri sebenarnya adalah tanda bahwa jiwa kita jauh dari kedamaian, karena perasaan emosi bisa datang kapan saja dan dimana saja. Jika disadari, pembenaran itu tidak pernah kalah apalagi mengalah. Karena pembenaran itu sebenarnya manifestasi dari ego kita, ego yang lama terpojok, terhina, terluka, dan terpinggirkan. Sekarang ia menunjukkan kekuatannya. Ia ingin berontak. Hanya sayangnya, ego tidak hanya memberontak, tapi juga ingin membalas.

Memaafkan membutuhkan sikap yang sangat besar. Kerelaan, menerima dan ikhlas merupakan sikap yang luhur dan mulia. Tak kan melahirkan sebuah pemaafan jika sikap yang mulia tersebut tidak dimiliki tergabung sepenuhnya. Memaafkan adalah akhlak langit yang luar biasa indah. Memaafkan juga adalah salah satu tiang kukuh dalam bangunan takwa.

Di buku tersebutpun, menceritakan beberapa kisah tentang memaafkan. Salah satunya mengenai seorang ibu yang pada akhirnya memaafkan seseorang yang telah membunuh putrinya. Sungguh bukanlah suatu hal yang mudah ketika berhadapan dengan luka yang tergores. Tapi memang jika disadari. Pembenaran yang dilakukan, pembenaran yang dipertahankan, tidak pernah, dan tidak akan pernah mengembalikan perasaan yang terluka menjadi sembuh, Justru menambah luka lain yang semakin besar. Hanya dengan memaafkan luka itu mewujud kebijaksanaan dan meraih titik yang meringankan dan mencerahkan jiwa.

Hanya ini yang bisa saya tuliskan dari buku tersebut. Semoga Allah memberikan karunia kepada kita untuk menjadi manusia yang mudah meminta maaf dan memaafkan sesama. Karena sesungguhnya ada kemuliaan yang besar didalamnya, amiin
“Memaafkan adalah sebuah perjuangan. Bukan pedang senjatanya, melainkan kebijaksanaan dan kearifan. Perjuangan ini bukan antara Anda dan orang yang menyakiti Anda, melainkan antara Anda dan diri Anda sendiri.”

http://alfach.com/2010/03/29/unfinished-emotion/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar