Jumat, 30 April 2010

Mapan

Sebuah konsep sering bisa dianalogikan sebagai suatu organisme biologis. Ia hidup, punya kaki, dan berkembang. Dan seperti layaknya “barang” hidup, ia bisa juga mati. Konsep mapan misalnya, juga hidup, berkaki, berkembang, dan punya kemungkinan mati seperti itu.

Tak diragukan, mapan berasal dari bahasa Jawa. Di dalam masyarakat Jawa, mapan biasanya diperuntukkan bagi ayam. Orang kampung beternak ayam kecil-kecilan sebagai strategi tradisional mereka menyimpan uang, melengkapi cara mereka menabung uang di tiang bambu yang mereka lubangi seperti celengan dari tanah liat yang kita kenal itu. Ayam-ayam yang sedikit jumlahnya itu, tiap sore menjelang magrib selalu ditengok di kandangnya, apakah mereka sudah “mapan” semua.

Ini mapan dalam kehidupan ayam. Dalam hidup manusia, mapan bisa tercermin setidaknya dalam tiga segi: mapan dalam posisi di suatu organisasi (birokrasi atau partai politik), mapan dalam hidup rumah tangga, dan mapan dalam pemikiran. Kemapanan terakhir ini bisa juga disebut kemapanan intelektual.

Kemapanan dalam birokrasi adalah cerminan dari posisi politis yang stabil. Orang yang disayang oleh atasan karena ia “anak manis”, boleh dimasukkan dalam kategori stabil dan mapan secara politis. Ia bisa terus-menerus “dipakai”. Dengan kata lain, ia tak pernah mengalami bagaimana rasanya masuk “kotak”. Tentu saja tak perlu dipersoalkan, bila stabilitas politis itu berdampak luas, termasuk membuat stabil perekonomian rumah tangganya juga.

Orang seperti ini bisa disebut sebagai bagian dari kelompok established. Mereka memilih gaya hidup dan aspirasi kultural tersendiri, yang berbeda, bahkan tak jarang bertentangan dengan gaya hidup dan aspirasi kultural kelompok lain di luar mereka. Kecuali itu, mereka juga memiliki ideologi yang mereka kembangkan sendiri sebagai ideologi kaum mapan.

Mapan dalam hidup rumah tangga bisa diukur dari dua segi psikologis dan ekonomis. Tetapi, pada zaman sekarang nampaknya ukuran-ukuran ekonomi mendominasi segi-segi kehidupan lain, sehingga kemapanan pun selalu harus dilihat dari dimensi ekonomi.

Tak ada yang bakal heran, bila kemapanan sebuah keluarga lalu dilambangkan dengan pemilikan rumah bagus, mobil mentereng, perjalanan ke luar negeri untuk urusan dinas maupun rekreasi. Gaya hidup macam ini kontras dilihat dari kelompok-kelompok lain yang belum atau tidak mampu, dan mungkin memacu mereka untuk menuju ke sana juga. Maka, sepertinya lalu sudah menjadi gejala umum, bila tampil secara keren (setidaknya kulit-kulit luarnya) perlu diutamakan. Akibatnya, mungkin orang lalu jarang berani tampil apa adanya.

Kemapanan politis dan ekonomis sebenarnya bisa bersifat tumpang tindih. Orang yang secara ekonomis sangat mapan, bisa juga disebut sebagai bagian dari kelompok elite atau kelompok established, seperti orang yang mapan secara politis tadi. Tetapi dalam tulisan ini saya mencoba memilah keduanya sebagai dua sisi kehidupan, yang secara analisis memang bisa dipisahkan.

Kemapanan politis dan ekonomis mungkin merupakan konsep yang netral. Artinya, bisa berkonotasi baik, bisa juga buruk. Tetapi, mapan dalam pemikiran atau kemapanan intelektual, biasanya berkonotasi menyindir atau mengejek. Jadi sifatnya negatif semata-mata. Kemapanan di situ bukan suatu dambaan bagi keharusan normatif dan ideal, melainkan sesuatu yang harus dijauhi, seperti halnya kita sekarang mencoba dengan was-was menjauhi AIDS. Mapan secara intelektual berarti mandeg berpikir. Kreativitas tersendat. Daya nalar tumpul. Pekerjaan seorang intelektual yang sudah mapan ialah mengulang-ulang kembali apa yang sudah sering dikatakan. Satu paper yang ia tulis dijajakan ke berbagai seminar. Pendek kata, ia sudah nyaris menjadi kaset bagi dirinya sendiri. Dilihat dari sudut kreativitas, sebenarnya dia sudah anumerta.

Kita tahu, kaum intelektual memiliki citra ideal sebagai manusia bebas dan kreatif. Mereka tidak pernah merasa puas dengan jawaban sementara. Kehausan mereka akan kebenaran membuat mereka terus menggali jawaban baru. Dengan kata lain, untuk memenuhi rasa penasaran akademis yang tak kunjung terpuaskan, kaum intelektual selalu gigih mencari jawab atas teka-teki metafisika dan sosial dalam hidup ini.

Karena kebenaran merupakan harga tertinggi dalam hidupnya, kaum intelektual jarang bersedia menempuh jalan kompromi dan jenis-jenis jalan “lunak” lainnya, yang hanya akan menodai kredibilitas. Kompromi, bagi mereka, haram hukumnya. Oleh karena itu, mereka berani berbeda dari siapa saja.

Benar, mereka tetap bagian dari apa yang disebut komunitas akademis, tetapi tidak akan pernah mereka menjadi bagian dari mainstream dalam masyarakat, di mana mereka hidup. Pada dasarnya, kaum intelektual menempuh cara hidup makhluk soliter. Mereka sendirian, macam dinosaurus. Dianggap tak lazim bila kaum intelektual hidup dalam rombongan.

Kaum intelektual karenanya sering mendapat stigma “elitis” tapi jangan katakan hal itu pada Ignas Kleden. Ia tak akan percaya. Baginya, kaum intelektual kita justru kurang elitis. Secara ekonomis mungkin banyak intelektual yang elitis cara hidupnya, namun secara akademis itu nonsense saja bagi Ignas.

Di masyarakat negara berkembang, umumnya kaum intelektual juga memanggul posisi politis sebagai kekuatan yang memihak kaum lemah. Setidaknya, ini merupakan apa yang seharusnya ada. Komitmen sosial mereka kuat untuk membela kaum tertindas. Mereka berani menghadang sejumlah risiko.

Ini karena bagi mereka tak ada sesuatu pun yang dikhawatirkan akan hilang dari tangan, karena tak adanya pamrih-pamrih sosial, ekonomis atau politis tadi. Kalau toh pamrih itu ada, biasanya bersifat kerohanian. Dambaan mereka bukanlah kerajaan duniawi, melainkan kerajaan di alam keabadian kelak.

Kaum intelektual yang memilih jalan “sepi” ini (secara sosial, ekonomis, politis), biasanya anti-kemapanan. Mereka emoh menjadi bagian kaum established, meskipun tak berarti, mereka cuma menjadi juru bicara bagi kelompok mereka sendiri. Penolakannya untuk bergabung dengan kelompok mapan, justru merupakan konsekuensi logis dari pemihakannya pada kaum lemah yang tersingkir, atau sengaja disingkirkan oleh berbagai mekanisme politik, yang memperoleh pembenaran dari ideologi kaum mapan tadi.

Mungkin, dengan demikian, kecenderungannya “menyendiri” di luar sistem tidak cuma demi menjaga “purifikasi” semata-mata tetapi juga harus diartikan sebagai sikap protes terhadap keadaan. Soedjatmoko punya argumen yang bagus, bahwa dengan berada di luar sistem, suara kaum intelektual akan lebih efektif didengar. Memang masih bisa diperdebatkan, mana lebih menguntungkan intelektual yang di dalam atau di luar sistem.

Samar-samar saya menangkap kekhawatiran Goenawan Mohamad, yang menulis, Semoga Mereka tak Berkhianat, ketika Kongres ICMI di Malang tahun lalu. Ini suatu empati dari seorang intelektual terhadap sesamanya, untuk saling menjaga dan mengingatkan agar yang berada di dalam pun tetap mampu menjaga purifikasi tadi. Seperti Julien Benda, mungkin Goenawan Mohamad tak ingin melihat kaum intelektual mengkhianati kodratnya, dan menjadi mapan karena pesona sangkar emas.

Mohammad Sobary, Kompas, Kamis, 30 Januari 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar