Minggu, 16 Desember 2012

AMANAH



Amanah adalah sifat mulia yang -amat disayangkan- sebagian besar kaum muslimin kehilangan sifat mulia ini.[1] Padahal AllahSubhanahu wa Ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk menunaikan amanah. Juga menjelaskan akibat buruk dari mengabaikan dan melalaikan amanah ini. Hal ini terjadi karena banyak sebab. Dan sebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan dan meninggalkan perintah Allah  Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kejahilan (kebodohan).[2]

Kebodohan seorang muslim terhadap pentingnya masalah amanah, telah membuatnya meninggalkan satu perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat agung ini, sekaligus ia telah bermaksiat karena meninggalkan satu perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bahkan ia akan berdosa besar jika ia telah mengetahui hukumnya sedangkan ia tetap menyia-nyiakan amanah.

Oleh karena itu, marilah kita -sebagai seorang muslim- senantiasa berusaha 
keras dan sungguh-sungguh mengangkat kajahilan dari diri kita dengan menuntut ilmu syar’i secara umum, dan memahami urgensi amanah ini secara khusus, lalu mengamalkannya. Serta tetap terus memohon dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaagar kita semua senantisa diberikan tawfiq, hidayah, dan segala kemudahan dalam menuntut ilmu syar’i dan memahaminya, serta merealisasikan syariat Islam yang sempurna dan mulia ini dalam keseharian hidup kita.

MAKNA AMANAH

            Al Imam Ibnu al Atsir -rahimahullah- berkata, “…Amanah (bisa bermakna) ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan (jaminan) keamanan…”.[3]

Al Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- juga membawakan beberapa perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, ketika beliau menafsirkan ayat ke-72 dalam surat al Ahzab, yaitu bermakna: ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[4]

Asy Syaikh al Mubarakfuri -rahimahullah- berkata, “(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkanmu untuk menunaikannya”.[5]

Asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- berkata, “Yang dimaksud dengan amanah adalah kepercayaan orang berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat dan yang semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal yang haram, dan menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan dosa”.[6]

Dan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- menjelaskan dan berkata, “Amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal yang berkaitan dengan perkara-perkara yang dengannya seseorang terbebani (untuk menunaikannya), atau ia dipercaya dengannya. (Sehingga amanah ini) meliputi dan mencakup seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib. Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan (yang harus ditunaikan dan disampaikan kepada si pemiliknya, Pen). Sehingga, sudah semestinya seorang (yang dibebani amanah ini) menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan menyampaikannya kepada pemiliknya. Ia tidak boleh menyembunyikan, mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yangsyar’i.[7]

Dan asy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu asy Syaikh -hafizhahullah- juga menjelaskan dan berkata, “Para ulama telah berkata, hal-hal yang termasuk amanah sangatlah banyak. Kaidah dan dasar hukumnya adalah segala sesuatu yang seseorang terbebani dengannya, dan hak-hak yang telah diperintah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia memelihara dan menunaikannya, baik (sesuatu tersebut) berkaitan dengan agama, jiwa manusia, akal, harta, dan kehormatan (harga diri).[8]

DALIL-DALIL DARI AL QUR’AN, AS SUNNAH DAN PENJELASAN PARA ULAMA YANG BERKAITAN DENGAN AMANAH DAN KETERANGAN WAJIBNYA MENUNAIKAN AMANAH, SERTA AKIBAT BURUK DARI MENYIA-NYIAKAN DAN MELALAIKAN AMANAH

Terdapat beberapa ayat maupun hadits shahih yang menerangkan urgensi amanah dan wajibnya setiap muslim untuk menunaikan amanah ini.

Di antara ayat-ayat al Qur’an yang menjelaskan hal itu adalah:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat an Nisa, ayat ke-58:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا…
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”.

Al Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata,[9] “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhabarkan bahwa sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ))
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu.”

Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus Sunan.[10] Dan ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan oleh seorang (yang terbebani dengannya). Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah atas hambanya, seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffaratnadzar, puasa, dan lain-lainnya yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba Allah lainnya. Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang titipan, dan yang semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan yang lainnya tanpa ada bukti atasnya. Maka, Allah‘Azza wa Jalla telah memerintahkannya untuk menunaikannya. Dan barang siapa yang tidak menunaikannya, akan diambil darinya pada hari kiamat kelak”.[11]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Anfal, ayat ke-27:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Al Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “…Dan khianat mencakup seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, dan baik (dosanya) terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dan Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firmanNya): (وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ), amanah adalah seluruh perbuatan yang telah Allah bebankan kepada hamba-hambaNya (agar mereka menunaikannya, Pen), yaitu kewajiban-kewajiban. Dan maksud “janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat” adalah janganlah kamu menggugurkannya. Dan dalam sebuah riwayat, maksud firmanNya: (لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ), berkata ‘Ibnu Abbas, (janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul) dengan cara meninggalkan sunnahnya dan melakukan maksiat kepadanya”.[12]

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Ahzab, ayat ke-72:
إِنَّا عَرَضْنَا الأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَـيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْـفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”.

Al Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah-, setelah membawakan beberapa perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata, “Seluruh perkataan ini, tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya bermakna sama dan kembali kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan perintah-perintah dan larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini, jika seseorang menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia menyia-nyiakannya, maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima amanah ini, padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang diberi tawfiq oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[13]

4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Mu’minun, ayat ke-8, atau surat al Ma’arij, ayat ke-32:
وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَـانَـاتِهِمْ وَعَـهْـدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.

Al Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata,[14] “Maksudnya, apabila mereka dipercaya (dalam suatu urusan), mereka tidak berkhianat. Dan apabila mereka mengadakan perjanjian, mereka tidak menyelisihinya. Dan inilah sifat-sifat orang-orang yang beriman. Dan kebalikan dari ini, adalah sifat-sifat orang-orang munafiq. Sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, (Tanda orang munafiq ada tiga; apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia menyelisihi janjinya; dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat). Dalam sebuah riwayat, (apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia menyelisihi janjinya; dan apabila bertengkar ia berbuat curang)”.[15]

5. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Baqarah, ayat ke-283:
…فَلْـيُـؤَدِّ الَّذِي اؤْتُـمِنَ أَمَـانَـتَهُ وَلْـيَـتَّـقِ اللّهَ رَبَّـهُ…
“…Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

            Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengan amanah dan keterangan wajibnya menunaikan amanah, serta akibat buruk dari menyia-nyiakan dan melalaikan amanah, di antaranya adalah:

1. Hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, yang menjelaskan wajibnya menunaikan amanah kepada pemiliknya, beliau berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أَدِّ الأَمَانَـةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَـخُنْ مَنْ خَانَكَ)).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu.”[16]

Berkaitan dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini untuk menunaikan amanah, Asy Syaikh al Mubarakfuri -rahimahullah- berkata, “Dan perintah (di dalam hadits ini) menunjukkan wajibnya hal tersebut”.[17]
Yakni, wajibnya seseorang menunaikan amanah. Dan berdosa besarnya seseorang yang berkhianat, menyia-nyiakan dan melalaikan amanah.

Sehingga, al Imam ad Dzahabi -rahimahullah- pun mengkategorikan perbuatan khianat ini ke dalam perbuatan dosa besar. Beliau berkata, “Dan khianat sangat buruk dalam segala hal, sebagiannya lebih buruk dari sebagian yang lainnya. Dan tidaklah orang yang mengkhianatimu dengan sedikit uang, seperti orang yang mengkhianatimu pada keluargamu, hartamu, dan ia pun melakukan dosa-dosa besar (lainnya)”.[18]

2. Hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- pula, yang menjelaskan bahwa salah satu tanda hari kiamat adalah apabila amanah telah disia-siakan, beliau berkata:
بَيْنَمَا النَّـبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ القَوْمَ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ القَوْمِ: سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْـثَهُ، قَالَ: ((أَيْنَ -أُرَاهُ- السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟))، قَالَ: هَا أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: ((فَإِذَا ضُـيِّعَتِ الأَمَانَـةُ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ))، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: ((إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ)).

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam sebuah majelis (dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah kepadanya seorang sahabat (dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah hari kiamat?”. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya. Maka sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mendengar ucapannya, namun ia tidak menyukainya”. Dan sebagian yang lain berkata, “Bahkan beliau tidak mendengarnya”. Hingga akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari pembicaraannya, dan beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi) bertanya?”. Orang itu berkata, “Inilah saya wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!”. Orang itu kembali bertanya, “Bagaimanakah penyia-nyiaan amanah itu?”. Rasulullah bersabda,“Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!”.[19]

3. Hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- pula, yang menerangkan bahwa khianat adalah salah satu tanda-tanda orang munafiq, beliau berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ((آيـَةُ المُـنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ؛ وَإِذَا وَعَدَ أَخْـلَفَ؛ وَإِذَا اؤْتُـمِنَ خَانَ)).
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda orang munafiq ada tiga; apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia menyelisihi janjinya; dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat”.[20]

4. Hadits Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, yang menjelaskan bahwa amanah dan menepati janji adalah salah satu sifat-sifat orang beriman, beliau berkata:
مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلاَّ قَالَ: ((لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ)).
Tidaklah Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami, melainkan beliau bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”.[21]

Berkaitan dengan hadits ini, asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- berkata, “Maksud sabda beliau (لاَ إِيْـمَانَ), dikatakan oleh as Sindi, ada yang mengatakan bahwa maksud dari ke dua penafian (peniadaan) dalam hadits ini adalah nafyul kamal (peniadaan kesempurnaan iman dan agama). Dan ada yang mengatakan pula bahwa maksudnya adalah tidak beriman sama sekali orang yang menganggap halal meninggalkan amanah, dan tidak beragama sama sekali orang yang menganggap halal melanggar janjinya… Dan maksud dari sabda beliau (لاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ), adalah barang siapa yang mengadakan sebuah perjanjian dengan orang lain, lalu ia sendiri yang melanggar dan tidak menepati janjinya tanpa ada ‘udzur (alasan) yang syar’i, maka agamanya kurang. Adapun jika dengan ‘udzur (alasan yang syar’i) -seperti seorang Imam (pemimpin) yang membatalkan perjanjian dengan seorang harbi (orang kafir yang diperangi), jika ia melihat ada kemaslahatan padanya-, maka hal ini boleh. Wallahu Ta’ala a’lam”.[22]

5. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash -radhiyallahu ‘anhuma-, yang menerangkan bahwa salah satu tanda hari kiamat adalah datangnya sebuah zaman yang pada saat itu orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan pengkhianat dianggap orang yang amanah (jujur), beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
((إِنَّ اللهَ يُـبْغِضُ الفُحْشَ وَالتَّـفَحُّشَ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ، لاَ تَـقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يُـخَوَّنَ الأَمِـيْنُ وَيُؤْتَـمَنَ الخَائِنُ، حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّـفَحُّشُ وَقَطِـيْعَةُ الأَرْحَامِ وَسُوْءُ الجِوَارِ…)).

“Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan kekejian. Dan demi (Dzat) yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak akan terjadi hari kiamat sampai orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan kekejian, pemutusan hubungan silaturahim (kerabat), dan buruk dalam bertetangga…”.[23]

SIAPAKAH ORANG YANG BERHAK DIBERI AMANAH (KEPERCAYAAN)?

Judul di atas memberikan pemahaman bahwa tidak semua orang bisa di percaya atau diberi amanah. Maksudnya, ada orang yang memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengannya ia adalah orang yang paling tepat dan paling berhak untuk di bebani dengan sebuah amanah atau kepercayaan.
Asy Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah- menjelaskan permasalahan ini dan berkata, “Dasar untuk memilih seorang pegawai atau pekerja adalah ia seorang yang kuat dan amanah (terpercaya). Karena dengan kekuatannya, ia mampu melakukan pekerjaannya dengan baik. Dan dengan sifat amanahnya, ia akan menempatkan semua perkara yang berkaitan dengan tugasnya pada tempatnya. Dan dengan kekuatannya pula, ia sanggup menunaikan kewajiban yang telah dibebani atasnya. Allah telah mengkhabarkan tentang salah satu dari kedua anak perempuan seorang penduduk Madyan, ia berkata kepada ayahnya tatkala Nabi Musa ‘alaihissalammengambilkan minum untuk hewan ternak kedua wanita tersebut:
…يَا أَبَتِ اسْـتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْـتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأَمِينُ
“… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al Qashash: 26).

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhabarkan tentang ‘Ifrit dari golongan jin, yang memperlihatkan kesanggupannya kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam untuk membawa singgasana Balqis:
…أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَـقُومَ مِن مَّقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْـهِ لَقَـوِيٌّ أَمِـينٌ
“…Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. (QS. An Naml: 39).

Maknanya, ia telah memiliki kemampuan untuk membawa dan mendatangkannya, sekaligus menjaga apa-apa yang terdapat di dalamnya.
Kemudian Allah mengkhabarkan tentang Nabi Yusuf ‘alaihissalam, tatkala ia berkata kepada sang raja:
…اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55).

Kemudian, kebalikan (sifat) kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Sehingga, inipun menjadi dasar seseorang untuk tidak dipilih dan dibebani kepercayaan atau pekerjaan, bahkan hal ini mengharuskannya untuk dijauhi atau dipisahkan dari kepercayaan atau pekerjaan.

Tatkala Umar bin al Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiyallahu ‘anhu- seorang gubernur di Kufah, dan kemudian orang-orang dungu di Kufah mencelanya dan membicarakan buruk padanya, Umar -radhiyallahu ‘anhu- melihat adanya kemaslahatan dalam menghentikan (Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiyallahu ‘anhu-) dari pekerjaannya dalam rangka menghindari fitnah. Selain itu juga, agar tidak ada orang yang berani berbuat macam-macam padanya. Kendatipun demikian, Umar -radhiyallahu ‘anhu- menjelang wafatnya memilih enam orangshahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan salah satu dari mereka seorang khalifahsepeninggalnya. Dan salah satu dari mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiyallahu ‘anhu-. Hal ini karena Umar -radhiyallahu ‘anhu- khawatir timbul prasangka bahwa penghentiannya terhadap Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiyallahu ‘anhu- disebabkan ketidakmampuannya dalam memimpin sebuah wilayah. Dan Umar -radhiyallahu ‘anhu- pun ingin menafikan dan menghilangkan anggapan itu dengan berkata:

فَإِنْ أَصَابَتْ الإِمْـرَةُ سَعْداً فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْـيَسْـتَعِنْ بِهِ أَيُّـكُمْ مَا أُمِّـرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْـزِلْهُ عَنْ عَجْـزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ

“Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu memang haknya. Dan jika tidak, maka hendaknya salah seorang dari kalian meminta bantuannya, kerena sesungguhnya aku tidak menghentikannya dengan sebab kelemahan dan pengkhianatan”. Diriwayatkan oleh al Bukhari (3700).
Dan terdapat di dalam Shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ تَسْـتَـعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِيْ، ثُمَّ قَالَ: ((يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّـكَ ضَـعِيْفٌ، وَإِنَّـهَا أَمَانَـةٌ، وَإِنَّـهَا يَوْمَ القِـيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَـقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَـيْهِ فِيْهَا)).

“Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?”, lalu Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, dan ia merupakan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat. Kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)”.

Dan terdapat di dalam Shahih Muslim pula, nomor (1826), dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَـعِـيْفاً، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِـنَـفْسِيْ، لاَ تَـأَمَّـرَنَّ عَلَى اثْـنَـيْنِ، وَلاَ تَوَلَّـيَنَّ مَالَ يَـتِـيْمٍ)).

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku memandangmu orang yang lemah, sedangkan aku mencintai untukmu seperti aku mencintai untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin (walaupun terhadap) dua orang (saja)! Dan janganlah kamu mengatur harta (anak) yatim”.[24]

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan kita semua orang-orang yang jujur, amanah, dan menjauhi kita semua dari kelemahan, kedustaan, dan khianat. Dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah Maha Pemberi tawfiq.
            Wallahu a’lam bish shawab.


Penulis: Ustadz Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali, Lc.
Artikel www.UstadzArif.com


Maraji’ & Mashadir:
1.    Al Quran dan terjemahnya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2.   Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256 H), tahqiqMusthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3.   Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4.   Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats As Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5.   Jami’ at Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa at Tirmidzi (209-279 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya at Turats, Beirut.
6.   Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7.   An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsaral Imam Majd ad Diin Abi as Sa’adat al Mubarak bin Muhammad al Jazari Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, cet I, th 1422 H/ 2001 M.
8.   Al Kaba-ir, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaymaz adz Dzahabi (673-748 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Maktabah al Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat Arab, Cet. II, Th. 1424 H/ 2003 M.
9.   Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (691-751 H), takhrijMuhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
10.                Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tartib dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1422 H.
11. Zaadul Ma’ad, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (691-751 H), tahqiq Syu’aib Al Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, cet III, th 1423 H/2002 M.
12.                Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim), Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath Thayibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/ 2002 M.
13.                Jami’ al Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ al Kalim, Zainuddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al Baghdadi Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Syu’aib Al Arna-uth dan Ibrahim Bajis, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet. VII, Th. 1422 H/ 2001 M.
14.                Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi, Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al Mubarakfuri (1283-1353 H), Daar al Kutub al Ilmiah, Beirut.
15.                Shahih Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.
16.                Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
17.                Shahih al Jami’ ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Al Maktab al Islami.
18.                As Silsilah as Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
19.                Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manar as Sabil, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405 H/ 1985 M.
20.               Shahih at Targhib wa at Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.
21.                Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr, ad Daar al Haditsah, Mesir, Cet. I. Th. 1425 H/ 2004 M.
22.               Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin, Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1422 H.


[1] Dan yang lebih menyedihkan lagi, adalah tatkala sifat amanah ini juga ternyata telah hilang dari sebagian saudara kita (baca: ikhwan atau akhawat) yang sudah “mengaji”. Ketahuilah wahai segenap pembaca yang budiman, hendaknya istilah ikhwan atau akhawat tidak hanya berlaku pada sebatas lingkup pengajian saja! Akan tetapi, sudah semestinya digunakan dalam seluruh sisi kehidupannya sebagai seorang muslim atau muslimah -baik dari sisi ibadah, maupun sisi mu’amalah-, jika ia memang benar-benar mengaku beriman kepada Allah dan mengaku mengikuti manhaj salaf yang sempurna dan mulia ini! Maka, perhatikanlah baik-baik!
Bahkan, tidak jarang penulis mendapatkan khabar tentang si ikhwan Fulan yang tidak menepati janjinya… Si ikhwanFulan berpura-pura lupa dengan janjinya… Si ikhwan Fulan sangat mengampang-gampangkan sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya… Bahkan… Si ikhwan Fulan telah menipu rekan bisnisnya… Si ikhwan Fulan berbohong dan tidak amanah kepada atasannya… Si ikhwan Fulan menipu ustadznya yang berbisnis dengannya… …
Sungguh mengherankan sekaligus memalukan! Wallahul Musta’an, wa laa haula wa laa quwwata illa billah
[2] Lihat kitab Fawa-id al Fawa-id, hlm. 193-195, dan 215-231.
[3] Di dalam kitabnya an Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/80).
[4] Lihat kitab tafsirnya Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/488-489).
[5] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[6] Lihat ta’liq (komentar) beliau dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[7] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin (1/288).
[8] Dari naskah khuthbah Jum’at yang beliau sampaikan di Masjid Nabawi, al Madinah an Nabawiyah, KSA, pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 1426 H, yang bertema ‘Izhamu Qadril Amanah (Agungnya Kedudukan Amanah).
[9] Di dalam kitab tafsirnya Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (2/338-339).
[10] Berkaitan dengan hadits yang dibawakan oleh al Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- di dalam kitab tafsirnya (2/339) ini, pentahqiq Sami bin Muhammad as Salamah berkata, “Saya tidak mendapatkan hadits ini diriwayatkan dari jalan Samurah -radhiyallahu ‘anhu-, akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh:
a. Al Imam Ahmad di dalam Musnadnya (3/414), dari seseorang, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. At Tirmidzi di dalam Sunannya nomor (1264), dan Abu Dawud di dalam Sunannya nomor (3535), dari jalan Thalq bin Ghannam, dari Syarik dan Qais, dari Abu Hushain, dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-. Dan at Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan Gharib”. Dan Abu Hatim berkata, “Hadits Munkar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini melainkan Thalq saja”. (Lihat) al ‘Ilal (1/375).
c. Al Hakim di dalam al Mustadrak (2/64), dan ath Thabrani di dalam al Mu’jam ash Shaghir (1/171), dari jalan Ayyub bin Suwaid, dari Ibnu Syaudzab, dari Abu at Tayyah, dari Anas -radhiyallahu ‘anhu-. Dan Ayyub bin Suwaid dha’if.
d. Ath Thabrani di dalam al Mu’jam al Kabir (8/150), dari jalan Yahya bin ‘Utsman, paman ‘Amr bin ar Rabi’, dari Yahya bin Ayyub, dari Ishaq bin Asid, dari Abu Hafsh, dari Makhul, dari Abu Umamah -radhiyallahu ‘anhu-. Al Haitsami di dalam al Majma’ (8/128) berkata, “Di dalamnya terdapat Yahya bin ‘Utsman bin Shalih al Mishri. Ibnu Abi Hatim berkata, mereka (para ulama) berbicara tentangnya (mempermasalahkannya)”.
e. Ath Thabari di dalam tafsirnya (8/493), dari jalan Qatadah, dari al Hasan, secara mursal.”
Demikian perkataan pentahqiq kitab Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (2/339), Sami bin Muhammad as Salamah. Namun, hadits ini shahih. Lihat keterangan berikutnya tentang hadits ini pada footnote nomor (16).
[11] Lihat pula risalah yang berjudul Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 4-5.
[12] Lihat kitab Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (4/41).
[13] Lihat kitab Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/489).
[14] Di dalam kitab tafsirnya Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (8/227).
[15] Muttafaq ‘alaih, lihat takhrij ringkasnya pada footnote nomor (20).
[16] HR Abu Dawud (3/290 no. 3535), at Tirmidzi (3/564 no. 1264), dan lain-lain. Lihat kembali footnote nomor (10).
Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani -rahimahullah- di dalam Shahih Sunan Abi DawudShahih Sunan at TirmidziShahih al Jami’ (240), as Silsilah ash Shahihah (1/783 no. 423-424), dan Irwa-ul Ghalil (5/381 no. 1544).
Setelah beliau mentakhrij hadits ini, beliau berkata, “Kesimpulannya, hadits ini dengan seluruh jalan-jalan (periwayatan)nya adalah tsabit (tegak/tetap). Adapun yang dinukilkan oleh sebagian ulama (hadits) terdahulu yang mengatakan bahwa hadits ini tidak tegak/tetap, hal itu disebabkan penilaian mereka terhadap sebagian jalan periwayatannya saja, dan bukan dari seluruh jalan-jalannya yang telah sampai sebagiannya kepada kami. Wallahu a’lam”.
Lihat perkataan beliau ini dalam kitabnya Irwa-ul Ghalil (5/383).
Lihat pula tahkrij pentahqiq kitab Jami’ al Ulum wa al Hikam, hlm. 488-489, dan kitab Zaadul Ma’ad (5/450), asy Syaikh Syu’aib al Arna-uth,. Dan lihat pula takhrij asy Syaikh al Albani -rahimahullah- dalam kitab Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan (1/626-628, 2/760).
[17] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[18] Lihat kitab al Kabair, hlm. 282.
[19] HR al Bukhari (1/33 no. 59) dan (5/2382 no. 6131), Ahmad (2/361 no. 8714), dan lain-lain.
[20] HR al Bukhari (1/21 no. 33, 2/952 no. 2536, 3/1010 no. 2598, 5/2262 no. 5744), Muslim (1/78 no. 59), dan lain-lain.
[21] HR Ahmad (3/135, 154, 210, 251), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani -rahimahullah- di dalam Shahih al Jami’ (7179), Shahih at Targhib wa at Tarhib (3/156 no. 3004), dan lain-lain. Lihat pula takhrij asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- terhadap hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 280-282.
[22] Lihat ta’liq (komentar) beliau terhadap hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[23] HR Ahmad (2/199 no. 6872), dan lain-lain. Dan Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani -rahimahullah- di dalam as Silsilah ash Shahihah (5/360).
[24] Lihat risalah beliau yang berjudul Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 13-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar