Jumat, 14 Desember 2012

Mengagumi Rasulullah SAW


Ketika Rasulullah SAW sedang bertawaf mengelilingi Ka’bah, beliau mendengar seorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir, “Ya, Karim! Ya, Karim!”.  Lalu, Nabi SAW menirunya, “Ya, Karim! Ya, Karim!”. Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, lalu berzikir lagi. Nabi Muhammad pun kembali mengikutinya.


Seakan merasa seperti diolok-olok, orang itu menoleh ke belakang. Terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah dan tampan, yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu berkata, “Wahai, orang tampan, apakah engkau memang sengaja memperolok-olokku karena aku ini adalah orang Arab Badui? Kalaulah bukan karena kegagahanmu, pasti aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad SAW.”

Rasulullah pun tersenyum, dan bertanya, “Tidakkah engkau mengenali nabimu, wahai, orang Badui?” 
Orang itu menjawab, “Belum.” 
Lalu, Rasulullah bertanya, “Jadi, bagaimana engkau beriman kepadanya?” 
Si Badui kembali berkata dengan mantap, “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya walaupun saya belum pernah melihatnya.”
“Wahai, orang Badui, ketahuitah, aku ini nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat,” ujar Nabi. 
Melihat Rasulullah di hadapannya, dia tercengang, seakan tak percaya. “Tuan ini Nabi Muhammad?” 
Nabi menjawab, “Ya.”
Ia segera menunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah. Melihat hal itu, Nabi segera menarik tubuh orang Badui itu seraya berkata, “Wahai, orang Badui, janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabur dan yang minta dihormati atau diagungkan. Akan tetapi, demi berita gembira bagi orang yang beriman dan ancaman bagi yang mengingkarinya.”

Ada dua makna penting dalam kisah di atas. 
Pertama, kebanggaan seorang hamba bertemu dengan Nabi SAW. 
Kedua, kecintaan terhadap Nabi bukan dengan cara memujanya, seperti mencium kaki. Nabi tak memposisikan dirinya di hadapan umatnya laksana tuan dan budak.
Kecintaan dan kekaguman terhadap Rasulullah hendaknya direfleksikan dari perilaku yang mencerminkan ketaatan terhadap ajarannya, bukan pada pribadinya secara fisik. Kita tak menemukan Rasulullah dalam bentuk fisik, tetapi ajaran kebenaran yang disampaikannya akan tetap “hidup” dan menjadi cahaya sepanjang zaman. Selama itu pula, umat akan merasakan kehadiran Rasulullah sekaligus menghormatinya.

Kesetiaan dan kekaguman kepada Rasulullah saat ini akan memiliki derajat yang sama dengan orang yang bertemu secara langsung tatkala kita menjadi umat yang taat dan selalu menegakkan syiar Islam yang diajarkannya.



Sumber: kolom hikmah Republika, 16 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar