Kamis, 27 Desember 2012

Habibie & Ainun: Murni, Suci, Sejati, Sempurna, dan Abadi




Satu lagi film Indonesia pembangun jiwa, penggugah hati, pembuka mata. Setelah sekian lama film-film drama romantis yang hampir terancam punah dan jarang tayang di bioskop-bioskop tanah air, dan setelah sekian tahun perfilman Indonesia hanya diramaikan oleh sineas-sineas tak berpengalaman yang menyuguhkan film-film horor tak bermutu, akhirnya pada Desember 2012 ini, Indonesia kembali menjual sebuah masterpiece yang layak diapresiasi tidak hanya dari kalangan penonton lokal, tetapi juga penonton internasional.

Rasanya tidak berlebihan jika saya menilai film ini sebagai film terbaik Indonesia yang pernah saya tonton. Mungkin setelah Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan beberapa film yang menyajikan baik tema tanah air dan patriotisme maupun berbau agama, Habibi & Ainun membuka hati saya untuk jatuh cinta pada perfilman Indonesia. 

Film ini diangkat berdasarkan buku best-selling karya B.J. Habibie. Sebuah kisah kasih yang terajut dan terbungkus manis dan jujur lewat dialog-dialog yang menyentuh hati sekaligus mengundang gelak tawa dengan penempatan waktu yang perfek. Sebuah ikatan cinta sejati yang tak pernah kita temukan dalam film-film drama romantis Indonesia lainnya. Saya, jujur, masih belum bisa melepaskan atmosfer pada setiap scene dalam film ini: luar biasa ciamik! Rasanya saya ingin terus kembali ke momen-momen dimana Habibie dan Ainun merajut kasih dari nol hingga akhirnya ajal harus memisahkan mereka.

Cerita ini dimulai dengan kisah masa remaja Ainun (diperankan oleh Bunga Citra Lestari) yang masih duduk di bangku SMA pada tahun 50-an. Ainun remaja adalah sosok yang cerdas, berani, supel, dan anggun. Pertemuannya dengan Rudy (panggilan Habibie masa itu) berawal ketika Habibie (diperankan oleh Reza Rahadian) menjadi murid pindahan ke kelas Ainun. Disitulah, mulai “timbul perasaan-perasaan” antara keduanya. Lalu, adegan berganti dengan cepat ke Jerman pada tahun 1963, dimana Habibie sedang memberikan konsep kerjanya kepada kolega-koleganya yang tiba-tiba jatuh  karena penyakit TBC yang sudah lama dideritanya. Adegan berganti kembali ke pelataran SMA Ainun dan Habibie, dimana Habibie remaja (diperankan oleh Esa Sigit) mengejek Ainun remaja dengan sebutan “hitam, gendut, seperti gula jawa!” yang pada adegan selanjutnya, tahun 1962, setelah Habibie pulang dari Jerman, ia mengantar Fanny, adiknya, berkunjung ke rumah Ainun. Disitu, si ‘gula jawa’ telah berubah menjadi ‘gula pasir’ yang cantik, putih, dan lebih anggun.

Singkatnya, Ainun pada masa itu adalah kembang desa. Banyak laki-laki baik dari dalam maupun dari luar kampung yang bersedia datang dengan mobil menterengnya untuk sekadar bertemu, bahkan melamar Ainun. Namun demikian, hatinya telah terpaut pada Habibie semenjak pertama kali ia bertemu dengannya. Momen-momen terbaik dalam film ini tentu adegan ketika Habibie dan Ainun berada dalam satu scene, salah satu scene favorit saya adalah ketika Habibie melamar Ainun di dalam becak. Adegan ini, bisa dibilang, memegang peranan penting dalam keberlangsungan seluruh cerita, dimana Habibie berjanji kepada Ainun bahwa ia “tidak bisa menjanjikan apa-apa”, namun berkomitmen untuk “menjadi suami yang baik untuk Ainun.”



Setelah menikah, Ainun memutuskan untuk ikut pergi ke Jerman menemani suaminya. Waktu berselang, Ainun merasakan keganjilan yang membuat dirinya menjadi penghambat kinerja dan produktivitas Habibie dengan proyek yang sudah dibangunnya di Jerman. Namun, dalam ke’gelapan’ dan ke’tersesatan’ pada masa-masa itu, Habibie mengatakan bahwa mereka “sedang berada dalam terowongan yang gelap dan panjang, dan setiap terowongan pasti memiliki ujungnya, cahaya,” dan berjanji kepada Ainun untuk “membawanya ke cahaya itu, bagaimanapun caranya.” Setelah rezim Soeharto dan mandatnya resmi dicabut, dan Habibie mengajukan diri untuk menjadi presiden, berbagai masalah dan hambatan mulai menerpanya. Ainun, yang sudah resmi menjadi dokter anak di Jerman, mulai menemukan keganjilan-keganjilan, seperti seorang pesuruh yang ingin mencoba bekerjasama dengan Habibie, padahal ingin menjatuhkan dan merebut proyeknya, atau seperti seorang calo yang mencoba me’nyuap’ Habibie dengan jam tangan emas dan uang tebusan agar hanya Habibie mau membagi proyeknya dengannya.

Perjalanan luar biasa Habibie dalam membuat pesawat terbang Indonesia pertama, N250, akhirnya terbayar sudah pada penerbangan perdananya yang disaksikan oleh Presiden Soeharto (ini sebelum Habibie menjadi presiden). Salah satu impian Habibie kepada negara, dan kepada Ainun untuk “membuatkan pesawat yang paling aman untuknya” telah terwujud. Semua itu tiba-tiba berubah menjadi kesenduan dan pengalaman pahit yang harus dihadapi Habibie ketika Ainun divonis mengidap kanker ovarium stadium lanjut. Ainun akhirnya dirawat di LMU Klinik Munchen selama kurang lebih 10 tahun (2000-2010), membuat luka mendalam di hati sanak saudaranya, terutama Habibie. Seorang perempuan baja yang bertahan selama satu dekade melawan kanker yang dideritanya, pendukung setia dan kawan karib yang selalu menebarkan kasih sayang, cinta, dan nasihat yang tak akan dilupakan oleh siapa saja yang beruntung untuk mendapatkan itu semua.

Ceritanya berakhir dengan meninggalnya Ibu Ainun Habibie pada tahun 2010; satu adegan perpisahan Habibie dengan Ainun yang membuat air mata ini tak sanggup ditahan. Adegan terakhir yang membuat semua penonton tidak mampu untuk menyembunyikan rasa haru sekaligus bahagia yang begitu mendalam pada kedua sosok paling penting di ranah negeri. Kata-kata singkat dari Habibie, “Jangan tinggalkan saya, Ainun” rasanya sudah menorehkan kesan paling dalam dan romantis pada sosok seorang orang nomor satu di Indonesia.

Saya memberikan 5 bintang untuk film ini. Sempurna! 

Reza Rahadian dengan apiknya memerankan tokoh Pak Habibie. Cara jalannya, gaya celingukannya, bicaranya, dan logat Jermannya. Sungguh mustahil rasanya bagi saya untuk tidak memberikan kredit untuk Reza Rahadian. Begitu mustahil untuk tidak diingat. Seluruh scene yang dimainkannya terasa begitu flawless dan tidak tampak dibuat-buat, seolah-olah Reza pernah berada dalam situasi dan kondisi rumit yang pernah Pak Habibie dulu rasakan. Hampir tidak ada kekurangannya. Mungkin, pada beberapa scene, dialog antara Habibie dan tokoh lain terdengar agak tidak jelas karena cepatnya cara bicara Reza, ditambah dengan logat Jerman (yang mengucapkan huruf ‘w’ menjadi ’v') sehingga agak mengganggu dan membuat penonton agak linglung. Tapi, secara keseluruhan semuanya tampak mulus berjalan. A world-class acting

Dalam film ini, Reza patut mendapat penghargaan! Sama halnya dengan Reza, Bunga Citra Lestari juga sangat apik dalam memerankan Ibu Hasri Ainun Habibie. Keanggunan, ketangguhan, dan kecerdasan yang melekat pada sosok Ibu Ainun tergambar secara implisit pada diri Bunga. Beberapa aktor dan aktris kondang juga turut meramaikan film ini, seperti Bayu Oktara, Tio Pakusadewo, Ranti Riantiarno, dan Hanung Bramantyo.

Chemistry antara Reza dan Bunga sungguh tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Terlebih lagi, alunan musik yang mengiringi jalan cerita sesuai dengan tema cerita sangat membuat saya tersentuh. Jujur, musik dalam film ini benar-benar membuat saya jatuh hati. Tembang andalan dari Bunga Citra Lestari berjudul “Cinta Sejati” menambah kehangatan dalam film drama romantis ini.

Setting dalam film ini mengambil tempat di Bandung dan beberapa kota-kota di Jerman tempat Pak Habibie dan Ibu Ainun tinggal dulu. Pemandangan burung-burung di pelataran halaman luas yang selalu berkerumun setiap kali ada orang yang memberikan makanan selalu membuat saya terperangah takjub. View dan scenery yang memanjakan mata juga hadir pada beberapa scene, membuat film ini makin indah dan begitu berkesan.

Banyak sekali pelajaran yang saya petik dari film berdurasi tidak lebih dari 120 menit ini, bahwa seorang perempuan yang cerdas itu tidaklah silau akan harta laki-laki. Selain itu, ia juga harus mampu menemukan jati dirinya sebagai seorang istri, ibu, sekaligus kodratnya sendiri sebagai seorang perempuan. Adapun sosok suami, ayah, dan laki-laki pada Pak Habibie yang merupakan sosok baru yang saya bangun untuk saya ambil sikap-sikap teladannya, bahwa laki-laki harus memegang janji sesuai dengan skill-nya, tidak asal melontarkan rayuan gombal dan menjanjikan ini-itu, yang padahal tidak pernah ada.

Sebuah pengertian cinta yang murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi tertuang dalam sebuah film karya Faozan Rizal ini. Pemeranan dua sosok paling penting yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu dan orang paling berpengaruh di Indonesia sekaligus oleh Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari rasanya sungguh sayang jika dilewatkan dalam film Habibie & Ainun. Sebuah definisi akan kesetiaan dan ketangguhan seorang B.J. Habibie dan Hasri Ainun Habibie yang cinta, pengorbanan, dan kerja kerasnya akan terus terkenang dalam benak orang-orang yang masih dan terus mencintainya. Sebuah kebebasan dalam ketidakadilan dan kebimbangan pada dunia seorang perempuan sungguh tergambar jelas dalam film ini.

# Dibalik kehidupan seorang pemimpin, ada dua sosok yang menjadi penentu: ibu dan istri. #  B.J. Habibie.


Doa Pak Habibie untuk Ibu Ainun:

MANUNGGAL

Allah, lindungilah kami
Dari segala gangguan, godaan dan kejahatan
Yang datang dari luar dan dalam
Mencemari yang Engkau tanam di diri kami, Bibit Cinta
Cinta, Murni, Suci, Sempurna dan Abadi
Sepanjang masa, kami siram tiap saat dengan kasih sayang
Kami bernaung dan berlindung dibawah Bibit Cinta ini
Cinta yang telah menjadikan kami Manunggal
Manunggal Jiwa, Roh, Batin dan Nurani kami
Sepanjang masa, sampai Akhirat
Terima kasih Allah, Engkau telah pisahkan kami
Sementara berada dalam keadaan berbeda
Istriku Ainun dalam Dimensi Baru dan Alam Baru
Saya dalam dimensi Alam Dunia
Terima kasih Allah, sebelum kami dipisahkan
Engkau telah jadikan kami manunggal
Saya manunggal dengan Ainun sepanjang masa
Memperbaiki, menyempurnakan dan menyelesaikan
Rumah kami di Alam Dunia sesuai dengan keinginanMu
Ainun manunggal dengan saya sepanjang masa
Membangun “Raya” kami yang Abadi di Alam Baru
Murni, Suci dan Sempurna sesuai dengan keinginanMu
Terima kasih Allah, Engkau telah menjadikan bibit CintaMu ini
paling Murni, paling Suci, paling Sejati, dan paling Sempurna
Sifat ini di seluruh Alam Semesta hanya mungkin dimiliki engkau
Jika sampai waktunya
Tugas kami di Alam Dunia dan di Alam Baru selesai
Tempatkanlah kami Manunggal di sisiMu
Karena Cinta Murni, Suci, Sejati, Sempurna dan Abadi
Dalam “Raga” yang Abadi, dibangun Ainun manunggal dengan saya sesuai kehendakMu di Alam Baru sepanjang masa
Jiwa, roh, Batin, “Raga” dan Nurani kami, Abadi sampai Akhirat



Sekali lagi. Saya angkat topi untuk film Habibie & Ainun. Maju terus perfilman Indonesia!

Himawan Pradipta
http://radipt.wordpress.com/2012/12/24/habibie-ainun-murni-suci-sejati-sempurna-dan-abadi/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar