Selasa, 14 Juli 2009

Pemimpin yang Baik


Seusai mengimami salat ashar Khalifah Umar bin Khattab menanyakan tentang keadaan salah seorang sahabatnya yang tak hadir salat berjamaah. Diberitahukan kepadanya bahwa sahabat tersebut sedang sakit. Umar segera menyempatkan diri untuk menjenguknya.

Sesampai di rumah sahabat yang sakit, Khalifah Umar mengetuk pintu memberi salam. Dari dalam sahabat tersebut menjawab salam, sekaligus bertanya, ''Siapa di luar?'' Umar menjawab, ''Umar bin Khattab.'' Mendengar yang datang adalah Amirul Mukminin, sahabat tersebut langsung bangkit, sigap dan segera membuka pintu.

Melihat kesigapan dan ketergesaan sahabat itu, Umar segera bertanya, ''Mengapa engkau tak salat berjamaah bersama kami? Padahal Allah Ta'ala telah memanggilmu dari langit yang ketujuh hayya 'alas shalah (mari bersalat), akan tetapi engkau tidak menyambutnya! Sementara panggilan Umar bin Khattab sempat membuatmu gelisah dan ketakutan!''

Apakah hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa ini? Yakni, pertama, bahwa seorang pemimpin yang baik bukan semata merasa cukup dengan kesalehan dan ketaqwaan dirinya, tapi ia juga merasa bertanggung jawab besar untuk mengajak para pejabat dan masyarakat yang di bawah tanggung jawabnya untuk juga menjadi saleh. Oleh karenanya ia tak pernah menyia-nyiakan momentum untuk berpesan dan mencontohkan prilaku taqwa dalam arti sesungguhnya dan seluas-luasnya.

Kedua, pemimpin yang saleh tak akan pernah merasa bangga dengan penghormatan bawahannya yang tak proporsional, atau bahkan berlebihan. Apalagi kalau sampai penghormatan tersebut bertendensi untuk lebih memuliakannya daripada pemuliaan kepada Yang Maha Mulia, yakni Allah swt.

Karena jika hal itu dibiarkan terjadi, sama artinya ia telah membiarkan berkembangnya para ajudan, pembantu, dan masyarakat yang hanya akan mampu berkata ''yes Sir'' atau ABS (asal bapak suka). Tidak ada lagi iklim ''wa tawa shau bil haq wa tawa shau bis shobr'' (saling berpesan kebenaran dan saling berpesan kesabaran).

Jika sudah begitu, terjadilah apa yang disumpahkan Allah dalam surat Al-Ashr bahwa mereka semua akan berada dalam kerugian. Itulah sebabnya ketika seorang sahabat melarang sahabat lainnya karena terlalu sering menegur Khalifah Umar dengan ucapannya ''Takutlah kepada Allah, hai Umar'', ternyata teguran itu justru didukung Khalifah Umar sendiri. Kata Khalifah, ''Biarkan ia mengatakannya. Kalau orang-orang ini tidak menegurku sedemikian, maka mereka menjadi tak berguna; dan jika aku tidak mendengarkannya, maka aku malah bersalah.''

Semoga kita terjauhkan dari sumpah Allah tadi, yakni ditetapkan sebagai masyarakat dan bangsa yang merugi. Karena jika itu terjadi, maka takkan ada bentuk kekuatan apapun yang mampu membalikkan jarum sejarah menuju ketentraman dan keberkahan. Tidak juga sejuta pakar, teori pembangunan dan teknologi canggih, kecuali bertobat dan kembali merunduk kepada Yang Maha Penentu terhadap segala sesuatu (wa hua 'ala kuli syaiin qodiir).

Atau kembali menghidupkan prasyarat kemuliaan sebagaimana termaktub dalam Kitab-Nya: ''fastabiqul khoiroot'' (maka berlombalah dalam kebaikan) (QS.2:148) dan ''wata'awanuu 'alal birri wattaqwa'' (saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa). (QS.5:2). ahi

By Almuzzammil Yusuf
Kamis, 09 Juli 2009 pukul 11:14:00

*********************************************************
Pemimpin Itu Pelayan

Menjadi pemimpin tidak hanya menerima amanat rakyat, tapi juga menerima amanat Allah. Dengan begitu, para pemimpin itu pada hakikatnya adalah mereka yang berperan sebagai pelayan rakyat sesuai dengan iradah Allah swt. Pemimpin yang mengkhianati dan menodai hak rakyatnya, berarti menghujat dan mengabaikan amanat Allah.

Khalifah Umar bin Abdul Azis seringkali bekerja di malam hari menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan yang tidak sempat diselesaikannya di siang hari. Suatu ketika, putra beliau memasuki kamar kerjanya seraya berkata, ''Saya ingin membicarakan masalah pribadi dan keluarga yang sangat penting dengan Ayah.''

Mendengar ucapan putranya itu, Umar bin Abdul Azis lalu mematikan lampu minyak yang menerangi kamar kerjanya sehingga menjadi gelap gulita. Kemudian ia berkata kepada putranya, ''Anakku, engkau pasti heran kenapa aku matikan lampu ini. Ketahuilah, engkau datang untuk membicarakan urusan pribadi, sedangkan lampu minyak itu milik rakyat. Betapa kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak, ada pemimpin rakyat membicarakan masalah pribadi keluarganya sambil memakai fasilitas rakyat.''

Apa yang dilakukan Umar bin Abdul Azis adalah sikap adil seorang pemimpin yang membuktikan tanggung jawabnya sebagai pelayan umat dan sekaligus melaksanakan amanat dan kecintaan Allah yang telah memilihnya sebagai khalifah. Untuk tipikal pemimpin seperti itu, Rasulullah bersabda, ''Orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah berada di atas mimbar cahaya. Mereka itu adalah orang-orang yang berlaku adil dalam memberikan hukum kepada keluarganya dan kepada rakyatnya.'' (Bukhari Muslim) Alangkah indahnya hidup yang dibayangi oleh keteduhan Alquran dan Sunnah Rasulullah. Misi kepemimpinannya bukan untuk menampakkan raut wajah seorang 'penguasa' tetapi dia tampakkan hati nuraninya yang paling bening dan menyejukkan. Karena bagi dirinya: pemimpin itu adalah pelayan umat.

Menjadi pemimpin bukan mencari kekayaan, tetapi pengabdian. Menjadi pemimpin berarti melaksanakan ibadah yang paling berat untuk mengemban amanat rakyat dan Allah. Dia selalu membersihkan batinnya, karena dia sadar bahwa niat yang tidak lurus bisa menjadikan kekuasaan sebagai komoditas yang murah, dan bukan tidak mungkin tergoda untuk menipu atau membohongi rakyat demi kepentingan dirinya. Dalam hal yang terakhir ini, Rasulullah saw bersabda, ''Tiada seorang hamba yang diberi amanat Allah untuk memimpin rakyat kemudian menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan sorga baginya.'' (Bukhari Muslim).

Apabila keadaan masyarakat sudah sangat materialistis dan kemuliaan seseorang hanya diukur oleh berapa banyak harta yang dimilikinya, maka godaan yang paling besar bagi para pemimpin, birokrat, dan mereka yang diberi percikan kekuasaan tidak lain adalah godaan harta. Para pemimpin atau wakil rakyat yang lemah imannya, niscaya akan mudah terperangkap dalam penjara hawa nafsu yang dibungkus dengan kata-kata indah, yaitu mumpungisme, korupsi, dan kolusi. Penguasa dan pengusaha bersekongkol untuk mencari pembenaran (justifikasi) atas perbuatannya. Karena bagi dirinya, kebenarann itu adalah kebohongan yang disepakati. Na'udzubillahi min dzaalik! ahi

By Republika Newsroom
Rabu, 08 Juli 2009 pukul 19:49:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar