Kamis, 17 November 2011

Makna Agung kata " Insya Allah "..Jangan Sembarangan Mengucapkannya


Dalam buku Asbabun Nuzul yang disusun oleh KH Q Shaleh dkk (1995) menukil riwayat mengenai asbabun nuzul (sebab turun) surah al-Kahfi ayat 23-24. "Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut); 'Insya Allah'." (QS al-Kahfi [16]:23-24).

Suatu hari, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian Muhammad. Lalu, kedua utusan itu menceritakan segala hal yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan perbuatan Muhammad.

Lalu, pendeta Yahudi berkata, "Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga hal. Jika dapat menjawabnya, ia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi. Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang roh."

Pulanglah utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka berangkat menemui Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. Rasulullah SAW bersabda, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok." Rasul menyatakan itu tanpa disertai kalimat "insya Allah".

Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun Jibril tak kunjung datang. Orang-orang Makkah mulai mencemooh dan Rasulullah sendiri sangat sedih, gundah gulana, dan malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy. Kemudian, datanglah Jibril membawa wahyu yang menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan "insya Allah". (QS al-Kahfi [18]:23-24).

Dalam kesempatan ini, Jibril juga menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi (18:9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (18:83-101); dan perkara roh (17:85).

Mufassir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Kitab Jaami'ul Bayan menjelaskan, "Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT.

Sungguh agung makna kata "insya Allah" itu. Di dalamnya dikandung makna paling tidak empat hal.

Pertama, manusia memiliki ketergantungan yang tinggi atas rencana dan ketentuan Allah (tauhid).

Kedua, menghindari kesombongan karena kesuksesan yang dicapai (politik, kekayaan, keilmuan, dan status sosial.)

Ketiga, menunjukkan ketawaduan (keterbatasan diri untuk melakukan sesuatu) di hadapan manusia dan Allah SWT.

Keempat, bermakna optimisme akan hari esok yang lebih baik.


Bagaimana jika kata "insya Allah" dijadikan tameng untuk memerdaya manusia atau dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab?
Sesungguhnya kita telah melakukan dua dosa.
Pertama, menipu karena menggunakan zat-Nya.
Kedua, kita telah menipu diri kita sendiri karena sesungguhnya kita enggan menepatinya, kecuali sekadar menjaga hubungan baik semata dengan rekan, kawan, atau relasi.
Wallahu a'lam.


Oleh Hasan Basri Tanjung MA

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/11/17/lus92b-makna-agung-kata-insya-allahjangan-sembarangan-mengucapkannya

****************
Catatan :

Segala sesuatu yang menyangkut nanti atau besok, tergolong dalam pengertian masa yang akan datang. Selama berkaitan dengan masalah yang akan datang manusia tidak bisa memastikan, kecuali bila dikehendaki Allah.

Allah SWT berfirman: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi”, kecuali dengan menyebut Insya Allah”. (QS. al-Kahfi: 23-24)

Sesuatu yang menyangkut masa yang akan datang, mencakup lima unsur:

- Pertama: Pelaku (subyek)

- Kedua: Yang Diperlakukan (obyek)

- Ketiga: Waktu dan Tempat Kejadian

- Keempat: Sebab-musabab

- Kelima: Kekuatan dan Kemampuan yang Diperlukan untuk Pelaksanaannya


Apabila seorang berkata, “Besok saya akan pergi ke tempat Fulan untuk membicarakan masalah anu”, orang itu tidak punya jaminan kalau ia akan tetap hidup sampai besok. Begitu juga dengan orang yang akan ditemuinya. Kalau ia esoknya bisa pergi, mungkin waktunya tidak tepat, atau tempatnya berubah, atau mungkin esoknya orang itu tidak berkemampuan (fisik, materi), atau juga berubah niat untuk melaksanakannya.

Jadi, manusia tidak kuasa menentukan kelima unsur itu. Semuanya dikembalikan kepada pengaturnya, yaitu Allah yang Maha Kuasa. Manusia harus menuruti perintahNya, mengucapkan kata ”Insya Allah”, yang artinya ”Jika Allah Menghendaki” atau ”Mengizinkan”. Apabila Allah SWT tidak menghendaki, pasti rencana pun gagal.

Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab, Prof. Dr. Mutawalli asy-Sya’rawi, Gema Insani Press hal 23-24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar