Kamis, 19 Juli 2012

Dua Alasan Menjadikan Raja Ampat Senantiasa Indah




KEINDAHAN Raja Ampat telah terdengar di telinga masyarakat dunia. Dua hal setidaknya menjadi alasan Raja Ampat akan senantiasa indah.

Kekuatan pariwisata suatu daerah bukan hanya karena keindahan alamnya. Budaya yang kental, diaplikasikan dan dijaga dengan baik akan menjadi nilai keindahan lainnya. Keduanya saling terkait, seperti halnya Raja Ampat, yang akan dijaga pesona alam dan kekayaan budayanya oleh masyarakat setempat, hingga bisa dinikmati oleh ke anak-cucu.




“Budaya di Raja Ampat, seperti juga di tempat lain, dilakukan secara turun-temurun. Mereka menjaga dan mempertahankan budaya, meski ada pencampuran dari budaya lain. Mereka menyatukannya dengan kepercayaan, seperti saat kami mau memugar atau membuka daerah baru, harus ada adat sebelum masuk. Investor juga harus menjaganya dengan adat,” jelas  papar Klasina Rumbekwan, Kepala Dinas Promosi Pariwisata Raja Ampat kepada wartawan pada acara "Adira Beauty X-Pedition Jelajah Nusantara" di Raja Ampat, Papua Barat, baru-baru ini.

Salah satu tradisi untuk menjaga keindahan adalah sasi, yang menjaga keindahan alam, laut, dan darat Raja Ampat. Tradisi ini menyebutkan bahwa sistem penangkapan hasil laut tidak boleh dilakukan sembarangan. Masyarakat hanya boleh memanennya setiap enam bulan, itupun hanya selama sepekan. Masa panen akan dibuka lagi enam bulan hingga setahun mendatang.

“Masa panen baru dibuka pada hari besar agama Islam dan Kristen. Tradisi ini tetap ada dan dipertahankan karena berhubungan dengan alam Raja Ampat,” imbuh perempuan yang akrab disapa Ina ini.

Tradisi untuk senantiasa menjaga alam juga diserukan lewat berbagai media, seperti terlihat pada sebuah poster besar bertuliskan “Mari Kitorang Jaga Tempat Sasi Supaya Ikan Ada Terus Buat Kitorang Semua” ketika Okezone berkunjung ke Desa Arborek. Atau, hanya pada sebuah stiker kecil bertuliskan “Kitorang Atur Laut Baik, Ikan Ada Terus” dan “Sa Patuhi Sasi Karena Sasi Bikin Ikan Banyak Trus Sampe Anak Cucu” yang terdapat di Desa Sawinggrai, Kepulauan Gam.

“Masyarakat bersama KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah-red) wajib menjaga dan melindungi keberlangsungannya. Sekarang ada enam KKLD, ada satu untuk setiap 335 ribu luas laut, paling kecil 34 ribu luas laut,” jelasnya.

Ina menambahkan, di setiap kampung juga ada Daerah Perlindungan Laut (DPL), kelompok masyarakat yang membuat pembatasan laut yang boleh dieksplorasi.

Tidak mau massal

Mahalnya biaya berlibur ke Raja Ampat menjadikan destinasi indah ini hingga kini masih didominasi wisatawan mancanegara. Investor yang membangun resor di kepulauan inipun sebagian besar dari luar negeri.



“Raja Ampat dari awal memang eksklusif, enggak mau massal. Kita sadari bahwa Raja Ampat hingga ini lebih dinikmati orang luar dibandingkan Indonesia,” ujar Ina.

Di balik itu semua, menurutnya, ada nilai positif yang terkandung. “Mungkin bisa dikatakan demikian, Raja Ampat jadi lebih terjaga ekslusivitas dan keindahan alamnya karena tidak banyak wisatawan yang datang,” akunya.

Namun, ditambahkan Ina, mulai tiga tahun belakangan pihaknya telah menjadikan lebih “ramah” untuk kantong wisatawan. Pihaknya telah memersiapkan lima kampung di Kepulauan Raja Ampat, dengan menyediakan sekira 10 homestay. Diakuinya, tidak mudah mengubah karakter dari nelayan menjadi pengusaha homestay karenanya sejauh ini baru ada tida homestay yang direkomendasikan.




Mengenai tarif homestay, Ina mengatakan sebenarnya harganya bisa ditawar. Rata-rata per malam Rp400 ribu-Rp500 ribu per orang, seperti yang ditawarkan di Desa Arborek dan Desa Sawinggarai.

“Harganya tidak lebih dari Rp500 ribu, sudah termasuk makan. Sementara, harga satu orang, Rp1 juta hanya untuk boat. Ada lima speedboat dari Pemda, untuk kapasitas sampai 10 orang dengan barang. Kami sarankan wisatawan datang berkelompok agar lebih murah,” tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar