Nabi
Nuh ‘alaihis salam pernah berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku,
Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu—(yaitu)
sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku—Niscaya
Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan
umurmu) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila
telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui.” (QS.
Nuh 2-3)
Nuh
‘alaihis salam juga berkata: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Dia adalah Maha Pengampun—Niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat kepadamu,
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun serta
mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-11)
Dari
beberapa ayat di atas terdapat beberapa pelajaran, di antaranya:
Pertama, dakwah para nabi ushul(asas)nya adalah sama yaitu Tauhid (menyeru beribadah kepada Allah saja dan meniadakan sesembahan selain-Nya), meskipun syari’atnya berbeda-beda.
Kedua, dalam berdakwah, para nabi mengedepankan Al Ahamm fal ahamm (yang lebih terpenting di antara yang penting) yaitu Tauhid sebelum yang lain.
Ketiga, sabar adalah senjata para nabi dalam menghadapi sikap kaumnya yang semakin hari bertambah jauh dan lari.
Perhatikanlah
kata-kata Nabi Nuh ‘alaihis salam ketika mengadu kepada Allah Jalla wa ‘Alaa
tentang keadaan kaumnya:
Maka
seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)—Dan sesungguhnya
setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka,
mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya
(ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan
sangat.
(QS. Nuh: 6-7)
Akan
tetapi Nabi Nuh ‘alaihis salam tetap bersabar dalam dakwah yang ditekuninya
selama 950 tahun dan pengikut yang hanya berjumlah sedikit.
Keempat, dengan istighfar dan taubat, Allah Subhaanahu wa Ta’aala akan memberikan banyak rezeki kepada kita.
Ibnu
Abbas berkata tentang tafsir ayat “membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun serta mengadakan (pula di dalamnya)
sungai-sungai untukmu.”
“Jika
kalian mau bertaubat kepada Allah dan menaati-Nya, maka Alllah akan
memperbanyak rezeki, menurunkan hujan dari langit karena ia (langit) diberkahi
dan menumbuhkan tanaman-tanaman karena bumi diberkahi”.
Kunci-kunci
Rezeki
Dari
ayat di atas dapat kita ketahui bahwa istighfar dan taubat adalah salah
satu di antara kunci rezeki. Tetapi jangan sampai tujuan utama dari
beristighfar dan bertaubat adalah agar mendapatkan rezeki, karena akan menodai keikhlasan.
Kalau
seseorang niatnya seimbang antara agar diberikan ganjaran ukhrawi dan ganjaran
duniawi maka hanya akan mengurangi pahala keikhlasan. Tetapi, jika yang lebih
besar
niatnya
adalah agar mendapatkan ganjaran duniawi, maka ia bisa tidak memperoleh
ganjaran ukhrawi, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia telah menjadikan ibadah yang
semestinya karena Allah, malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang
rendah nilainya.
Selain
istighfar dan taubat, yang termasuk ke dalam kunci rezeki juga adalah:
- Takwa
(menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
Allah berfirman: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (solusi)—Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thalaq: 2-3).
Sehingga, secara umum taqwa adalah salah satu pintu rezeki, sebaliknya maksiat adalah salah satu sebab terhalangnya rezeki. - Tawakkal kepada
Allah.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq: 3)Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tentu kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan, “Hadits hasan shahih.”)Perlu diketahui bahwa Tawakkal itu tidaklah seperti yang dipahami oleh orang-orang yang jahil (tidak mengerti) terhadap Islam, yang mengartikan tawakkal adalah membuang jauh-jauh sebab dan tidak beramal serta ridha dan rela terhadap kerendahan. Bahkan tidak demikian. Tawakkal adalah sebuah ketaatan kepada Allah dengan menjalankan sebab.
Oleh karena itu, seseorang tidaklah berharap untuk
memperoleh sesuatu kecuali menjalankan sebab-sebabnya. Adapun tercapai atau
tidaknya dia serahkan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala sambil berharap semoga
yang dicita-citakannya tercapai, karena hanya Dia-lah yang mampu mendatangkan
hasilnya. Betapa banyak orang yang menjalankan sebab, namun ternyata tidak
memperoleh hasil apa-apa.
- Menyempatkan
diri untuk beribadah
Misalnya mengerjakan amalan sunat setelah amalan yang wajib. Baik yang berupa ibadah lisan seperti dzikr, membaca Al Qur’an dan mengajarkannya, dsb. maupun yang berupa perbuatan seperti shalat-shalat sunah dsb.
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tuhanmu berfirman, “Wahai anak Adam! Sempatkanlah beribadah kepada-Ku, niscaya
Aku akan penuhi hatimu dengan rasa cukup dan Aku akan memenuhi tanganmu dengan
rezeki. Wahai anak Adam! Janganlah menjauh dari-Ku. Jika demikian, Aku akan
memenuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku akan memenuhi tangan-Mu dengan
kesibukan.” (HR. Hakim, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahihut Targhib wat Tarhib)
- Berhajji dan
berumrah
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sertakanlah hajji dengan umrah, karena keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa. Sebagaimana kir menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Haji yang mabrur tidak ada balasannya selain surga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, Syaikh Al Albani menghasankannya dalam Shahihut Targhib wat Tarhib) - Menyambung tali
silaturrahim
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturrahim.” (HR. Bukhari)Silaturrahim adalah sebuah istilah untuk sikap ikhsan (berbuat baik) kepada kerabat yang memiliki hubungan baik karena nasab (keturunan) maupun karena ash-har (perkawinan), bersikap lemah lembut kepada mereka, memberikan kebaikan dan menghindarkan keburukan semampunya yang menimpa mereka, serta memperhatikan keadaan mereka baik agama maupun dunianya - Berinfak
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman: “Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39)
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: Allah berfirman, “Berinfaklah wahai anak Adam! Niscaya Aku akan berinfak kepadamu.” (HR. Bukhari)Juga bersabda: “Tidak ada satu hari pun, di mana seorang hamba melalui pagi harinya kecuali dua malaikat turun, yang satu berkata, ‘Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak ‘, sedangkan malaikat yang satu lagi berkata, ‘Ya Allah, timpakanlah kerugian kepada orang yang bakhil.’ ” (Muttafaq ‘alaih)Dan bersabda: “Sedekah tidaklah mengurangi harta, dan Allah tidaklah menambahkan hamba-Nya yang sering memaafkan kecuali kemuliaan. Demikian juga tidaklah seseorang bertawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim) - Berbuat baik
kepada kaum dhu’afa’ (kaum lemah seperti kaum fakir-miskin)
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah kamu dibela dan diberi rezeki karena (berbuat ihsan) kepada kaum dhu’afa kamu.” (HR. Bukhari) - Hijrah
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An Nisaa: 100)
Hijrah secara syara’ artinya meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah menunju hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya.Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang muslim adalah orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari mengganggu muslim lainnya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perbuatan yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)Termasuk ke dalam hal ini adalah berhijrah dari negeri kafir (negeri tempat merajalelanya kesyirkkan atau syi’ar-syi’ar kekufuran) dan dirinya tidak mampu menjalankan ajaran-ajaran Islam di sana, menuju negeri Islam (negeri di mana syi’ar Islam nampak seperti azan, shalat berjama’ah, shalat Jum’at dan shalat hari raya). Kecuali jika ia tidak mampu berhijrah atau ia berniat dakwah di sana, maka tidak mengapa tinggal di negeri kafir. - Bersyukur
terhadap nikmat Allah
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. (QS. Ibrahim: 7)
Bersyukur kepada Allah adalah dengan mengakui nikmat yang didapatkan berasal dari-Nya, memuji-Nya dan menggunakan nikmat itu untuk ketaatan kepada-Nya. - Membantu
penuntul ilmu syar’i.
Dalam Sunan At Tirmidzi disebutkan: Ada dua orang bersaudara di zaman Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam, yang satu datang kepada Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam (untuk belajar), sedangkan yang satunya lagi bekerja. Maka orang yang bekerja ini mengeluhkan kepada Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam tentang saudaranya. Beliau pun bersabda, “Mungkin saja kamu diberi rezeki karenanya.”
Penulis: Marwan Hadidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar