Ibadah
puasa yang kita jalankan saat ini dalam kerangka mendapatkan derajat ketaqwaan
kepada Allah,
sebab bekal terbaik dalam menghadapi hidup ini tidak lain adalah tqwa.
selain itu puasa juga mempunyai tujuan yang pokok bagi pembentukan karaktermuslim
yang menjalankannya, jadi jika anda bersekolah ramadhan dengan sungguh-sungguh
maka seorang muslim akan mendapatkan emapat karakter mulia yaitu :
1. Senang berinfaq dalam keadaan lapang (kaya) dan sempit (miskin)
2.
Mampu menahan amarah jika ingin melampiaskan kemarahan
3.
Memaafkan setiap kesalahan ataupun kekhilafan orang pada dirinya
4.
Senang berbuat baik kepada siapapun
Begitulah
jika puasa dijalankan dengan iman dan ikhlas, empat karakter tersebut bisa anda
lihat dalam surat Ali Imran ayat 134
alladziina
yunfiquuna fii alssarraa-i waaldhdharraa-i waalkaatsimiina alghayzha
waal'aafiina 'ani alnnaasi waallaahu yuhibbu almuhsiniina
|
Allah Swt. berfirman: al-ladzîna
yunfiqûna fî al-sarrâ’ wa al-dharrâ ([yaitu] orang-orang yang
menafkahkan [hartanya], baik pada waktu lapang maupun sempit). Karakter pertama orang-orang
yang bertakwa adalah: gemar menginfakkan harta mereka. Selain dalam
ayat ini, karakter itu juga dijelaskan dalam QS al-Baqarah [2]: 2-3 dan
adz-Dzariyat [51]: 15-19.
Dalam ayat tersebut, al-maf‘ûl
bih (obyek) pada kata yunfiqûna tidak disebutkan.
Tiadanya al-maf’ûl bih itu, menurut al-Alusi,
menunjukkan bahwa infak yang mereka lakukan itu mencakup semua infak yang
terpuji.1 Dengan kata lain, mereka menginfakkan harta mereka di jalan
Allah, baik diberikan kepada orang yang membutuhkan maupun digunakan untuk
memperkuat jihad fî sabîlillâh. Demikian penjelasan ath-Thabari
dalam tafsirnya.2
Jika ditelusuri pada
nash-nash lainnya, infak fî sabîlillâh memang termasuk
perbuatan yang diperintahkan (lihat QS al-Baqarah [2]: 195). Demikian pula
memberikan sedekah kepada orang fakir, miskin, dan orang yang membutuhkan.
Cukup banyak dalil yang memerintahkan perbuatan tersebut, seperti dalam QS
adz-Dzariyat [51]: 19, al-Balad [90]: 16, al-Isra’ [17]: 26-30, dan al-Ma’arij
[70]: 24-25. Perintah ini sekaligus mengisyaratkan, pihak yang diperintahkan
untuk memberikan sedekah adalah orang-orang yang berkelebihan harta.
Sebaliknya, orang-orang yang miskin dan kesulitan, bukan saja tidak diwajibkan
berinfak, namun justru menerima infak.
Orang yang bertakwa,
menurut ayat ini, bukan hanya mengerjakan perbuatan yang diwajibkan atas
mereka. Sekalipun mereka dalam keadaan sulit, mereka tidak berhenti
menginfakkan harta mereka. Dalam ayat ini digambarkan, mereka senantiasa
berinfak itu dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan as-sarrâ’ maupun adh-dharrâ.
Menurut Ibnu Abbas, kata as-sarrâ’ berarti al-yusr (mudah),
sementara al-dharrâ’ berarti al-‘usr (sulit).3 Penafsiran
yang sama juga dikemukakan al-Kalbi dan Muqatil.4Al-Khazin menuturkan, mereka
tidak meninggalkan berinfak dalam dua keadaan itu, baik dalam keadaan kaya
maupun miskin; lapang maupun sempit; saat mendapatkan kesenangan dan
kebahagiaan maupun ketika tertimpa ujian dan bala.5 Pendek kata, mereka
senantiasa berinfak dalam semua keadaan, sebagaimana dinyatakan dalam QS
al-Baqarah [2]: 274.6
Dikisahkan dari sebagian
kaum salaf, bahwa mereka kadang bersedekah dengan sebutir bawang. Aisyah ra.
juga pernah bersedekah dengan sebutir buah anggur.7 Tindakan itu
menggambarkan bahwa mereka tetap bersedekah sekalipun yang disedekahkan hanya
sedikit lantaran mereka berada dalam keadaan yang sulit.
Karakter kedua disebutkan
dalam firman Allah Swt. berikutnya: wa al-kâzhimîn al-ghayzh (dan
orang-orang yang menahan amarahnya). Kalimat ini ma’thûf (bersambung)
dengan kalimat sebelumnya. Adanya perubahan shîghah dari yang
sebelumnya berbentuk al-fi’l menjadi al-fâ’il mengandung
makna li al-istimrâr, yakni keadaan yang berlangsung terus-menerus. 8 Artinya,
perilakunya yang dapat menahan marah itu tidak hanya dilakukan sekali atau dua
kali, namun telah menjadi bagian dari karakter yang melekat pada diri mereka.
Menurut sebagian besar
para mufassir, kata al-ghayzh berarti al-ghadhab (marah).9 Perasaan
marah biasanya dilampiaskan dalam bentuk ucapan seperti umpatan, celaan, dan
semacamnya; atau dalam bentuk perbuatan seperti memukul, menendang, dan
semacamnya. Menahan marah berarti menahan diri dari ucapan atau perbuatan yang
menjadi bentuk pelampiasan marah tersebut.
Al-Khazin menjelaskan,
kata al-kazhm berarti menahan sesuatu ketika sesuatu itu telah
penuh. Dengan demikian, ungkapan al-kâzhimîn al-ghayzh memberikan
makna bahwa ketika seseorang dipenuhi oleh kemarahan, maka kemarahan itu hanya
tertahan dalam rongga perutnya; tidak ditampakkan dalam ucapan dan perbuatan;
tetap bersabar dan diam atasnya. Artinya, ayat ini mengandung makna, “Mereka
menahan diri untuk melampiaskan kemarahannya dan mampu menahan kemarahan hanya
dalam rongga perutnya. Ini adalah salah satu jenis sifat sabar dan al-hilm
(sabar, murah hati).”
Sumber : Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 1, 298.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar