Minggu, 15 Juli 2012

Tujuan Ibadah Puasa



Ibadah puasa yang kita jalankan saat ini dalam kerangka mendapatkan derajat ketaqwaan kepada Allah, sebab bekal terbaik dalam menghadapi hidup ini tidak lain adalah tqwa. selain itu puasa juga mempunyai tujuan yang pokok bagi pembentukan karaktermuslim yang menjalankannya, jadi jika anda bersekolah ramadhan dengan sungguh-sungguh maka seorang muslim akan mendapatkan emapat karakter mulia yaitu :

1. Senang berinfaq dalam keadaan lapang (kaya) dan sempit (miskin)
2. Mampu menahan amarah jika ingin melampiaskan kemarahan
3. Memaafkan setiap kesalahan ataupun kekhilafan orang pada dirinya
4. Senang berbuat baik kepada siapapun
Begitulah jika puasa dijalankan dengan iman dan ikhlas, empat karakter tersebut bisa anda lihat dalam surat Ali Imran ayat 134
alladziina yunfiquuna fii alssarraa-i waaldhdharraa-i waalkaatsimiina alghayzha waal'aafiina 'ani alnnaasi waallaahu yuhibbu almuhsiniina

Allah Swt. berfirman: al-ladzîna yunfiqûna fî al-sarrâ’ wa al-dharrâ ([yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik pada waktu lapang maupun sempit). Karakter pertama orang-orang yang bertakwa adalah: gemar menginfakkan harta mereka. Selain dalam ayat ini, karakter itu juga dijelaskan dalam QS al-Baqarah [2]: 2-3 dan adz-Dzariyat [51]: 15-19.
Dalam ayat tersebut, al-maf‘ûl bih (obyek) pada kata yunfiqûna tidak disebutkan. Tiadanya al-maf’ûl bih itumenurut al-Alusi, menunjukkan bahwa infak yang mereka lakukan itu mencakup semua infak yang terpuji.1 Dengan kata lain, mereka menginfakkan harta mereka di jalan Allah, baik diberikan kepada orang yang membutuhkan maupun digunakan untuk memperkuat jihad fî sabîlillâh. Demikian penjelasan ath-Thabari dalam tafsirnya.2
Jika ditelusuri pada nash-nash lainnya, infak fî sabîlillâh memang termasuk perbuatan yang diperintahkan (lihat QS al-Baqarah [2]: 195). Demikian pula memberikan sedekah kepada orang fakir, miskin, dan orang yang membutuhkan. Cukup banyak dalil yang memerintahkan perbuatan tersebut, seperti dalam QS adz-Dzariyat [51]: 19, al-Balad [90]: 16, al-Isra’ [17]: 26-30, dan al-Ma’arij [70]: 24-25. Perintah ini sekaligus mengisyaratkan, pihak yang diperintahkan untuk memberikan sedekah adalah orang-orang yang berkelebihan harta. Sebaliknya, orang-orang yang miskin dan kesulitan, bukan saja tidak diwajibkan berinfak, namun justru menerima infak.
Orang yang bertakwa, menurut ayat ini, bukan hanya mengerjakan perbuatan yang diwajibkan atas mereka. Sekalipun mereka dalam keadaan sulit, mereka tidak berhenti menginfakkan harta mereka. Dalam ayat ini digambarkan, mereka senantiasa berinfak itu dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan as-sarrâ’ maupun adh-dharrâ.
Menurut Ibnu Abbas, kata as-sarrâ’ berarti al-yusr (mudah), sementara al-dharrâ’ berarti al-‘usr (sulit).3 Penafsiran yang sama juga dikemukakan al-Kalbi dan Muqatil.4Al-Khazin menuturkan, mereka tidak meninggalkan berinfak dalam dua keadaan itu, baik dalam keadaan kaya maupun miskin; lapang maupun sempit; saat mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan maupun ketika tertimpa ujian dan bala.5 Pendek kata, mereka senantiasa berinfak dalam semua keadaan, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah [2]: 274.6
Dikisahkan dari sebagian kaum salaf, bahwa mereka kadang bersedekah dengan sebutir bawang. Aisyah ra. juga pernah bersedekah dengan sebutir buah anggur.7 Tindakan itu menggambarkan bahwa mereka tetap bersedekah sekalipun yang disedekahkan hanya sedikit lantaran mereka berada dalam keadaan yang sulit.
Karakter kedua disebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya: wa al-kâzhimîn al-ghayzh (dan orang-orang yang menahan amarahnya). Kalimat ini ma’thûf (bersambung) dengan kalimat sebelumnya. Adanya perubahan shîghah dari yang sebelumnya berbentuk al-fi’l menjadi al-fâ’il mengandung makna li al-istimrâr, yakni keadaan yang berlangsung terus-menerus. 8 Artinya, perilakunya yang dapat menahan marah itu tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun telah menjadi bagian dari karakter yang melekat pada diri mereka.
Menurut sebagian besar para mufassir, kata al-ghayzh berarti al-ghadhab (marah).9 Perasaan marah biasanya dilampiaskan dalam bentuk ucapan seperti umpatan, celaan, dan semacamnya; atau dalam bentuk perbuatan seperti memukul, menendang, dan semacamnya. Menahan marah berarti menahan diri dari ucapan atau perbuatan yang menjadi bentuk pelampiasan marah tersebut.
Al-Khazin menjelaskan, kata al-kazhm berarti menahan sesuatu ketika sesuatu itu telah penuh. Dengan demikian, ungkapan al-kâzhimîn al-ghayzh memberikan makna bahwa ketika seseorang dipenuhi oleh kemarahan, maka kemarahan itu hanya tertahan dalam rongga perutnya; tidak ditampakkan dalam ucapan dan perbuatan; tetap bersabar dan diam atasnya. Artinya, ayat ini mengandung makna, “Mereka menahan diri untuk melampiaskan kemarahannya dan mampu menahan kemarahan hanya dalam rongga perutnya. Ini adalah salah satu jenis sifat sabar dan al-hilm (sabar, murah hati).”

Sumber :  Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 1, 298.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar