Kekayaan yang hakiki adalah KAYA JIWA, dalam arti tidak tamak atas
apa yang ada pada orang lain, tamak terhadap harta, jabatan, kemasyhuran atau
wanita yang dimiliki oleh orang lain. JIWA YANG KAYA selalu merasa yakin bahwa
rezekinya akan datang seperti janji Allah: "Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya" (al-Hud: 23)
sehingga hatinya merasa tenang dan tentram, tidak bermusuhan dengan orang lain
hanya karena masalah dunia.
Jika Allah tidak memberi harta berlimpah kepada kita, itu bisa
jadi karena kita yang belum siap. Allah tidak ingin kita menjadi pribadi yang
sombong dan takabbur. Allah tidak ingin kita menjadi seperti Fir'aun dan Qorun
yang mengkufuri nikmat. Jika Allah belum memberi kita kedudukan yang baik dalam
karier, itu mungkin karena Allah masih menganggap kita belum mampu memegang
amanah, yang justru malah akan menjatuhkan kita.
Nabi bersabda: " Barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya, dan barang sipa yang berusaha menjaga kehormatan diri, Allah akan menjaganya."
(HR. Hakim at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata
:
“Orang kaya yg sebenarnya adalah
yg kaya dgn keadaannya, bukanlah orang kaya itu karena kekayaan dan hartanya”
“Selagi anda mempunyai hati yang selalu merasa cukup, maka
anda dan raja dunia adalah sama”
Jadi, mengapa harus muncul benih-benih kedengkian? Toh
semuanya sudah diatur oleh Allah dengan seadil-adilnya dan seproporsional
mungkin. Kita tinggal berusaha dan menjalaninya dengan lapang dada, tak perlu
muncul keluh kesah apalagi murka. Kedengkian hanya akan membuat hati kita
selalu gelisah dan akan menghilangkan kebaikan seperti api yang melalap kayu
bakar. Hati kita akan terus menerus merasa tidak puas, terombang-ambing oleh
perasaan ketidak-adilan semu. Akhirnya depresi yang terjadi, dan kita
sendirilah yang rugi.
Seperti jawaban Hatim al-Asham yang suatu hari ditanya,
"Atas dasar apa engkau bertawakkal dalam masalah ini?"
Beliau menjawab,
"Atas empat hal: aku tahu bahwa rizkiku tidak akan dimakan oleh seseorang,
karena itu hatiku tenang, aku tahu bahwa amalku tidak akan pernah dilakukan
oleh seseorang, karena itu aku sibuk dengannya, aku tahu bahwa kematian akan
datang dengan tiba-tiba, karena itu aku mempersiapkannya, dan aku tahu bahwa
aku selalu ada dalam pengawasan Allah, karena itu aku malu kepada-Nya."
Hatim al-Asham pernah berkata,
“Perhatikanlah diri Anda dalam tiga keadaan.
“Perhatikanlah diri Anda dalam tiga keadaan.
(1) Jika Anda beramal, maka ingatlah pandangan Allah kepadamu,
(2) jika Anda berbicara, maka perhatikanlah pendengaran Allah
atas ucapanmu dan
(3) jika Anda diam, maka perhatikanlah pengetahuan Allah
tentang dirimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar