Sabtu, 21 Juli 2012

Lailatul-Qadar



Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita  berbicara tentang surat Al-Qadar.
Surat  Al-Qadar  adalah  surat  ke-97  menurut urutannya dalam Mushaf.  Ia  ditempatkan  sesudah  surat  Iqra’.  Para   ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah  Allah  Swt.,   dan   dari   perurutannya   ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau  dalam surat Iqra’ Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu  antara  lain
adalah  Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar  ini  berbicara  tentang   turunnya   Al-Quran,   dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Bulan  Ramadhan  memiliki  sekian  banyak  keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan.”
Tetapi  apa  dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu,  atau  terjadi  setiap  bulan  Ramadhan  sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang  yang  menantinya pasti  akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya  air, heningnya  malam,  dan  menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi  pertanyaan  yang  dapat  dan  sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
Yang  pasti  dan  harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran  bahwa,  “Ada  suatu  malam  yang  bernama Lailat  Al-Qadar,  dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS Al-Dukhan [44]: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab  suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]:l).
Malam  tersebut  adalah  malam  mulia.  Tidak  mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal  ini  disyaratkan  oleh  adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan, yaitu:
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? 
(QS Al-Qadr [97]: 2)
Tiga belas kali kalimat ma  adraka  terulang  dalam  Al-Quran, sepuluh  di  antaranya  mempertanyakan  tentang kehebatan yang berkait dengan hari  kemudian,  seperti:  Ma  adraka  ma  yaum al-fashl,  dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah  dijangkau  oleh  akal  pikiran  manusia,  kalau  enggan berkata  mustahil  dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? 
(QS Al-Thariq [86]: 2)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? 
(QS Al-Balad [90]: 12)
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? 
(QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan  dengan objek  pertanyaan  yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau  hakikatnya  secara  sempurna  oleh  akal pikiran manusia.
Walaupun   demikian,   sementara   ulama   membedakan   antara pertanyaan ma  adraka  dan  ma  yudrika  yang  juga  digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? 
(QS Al-Syura [42]: 17~.
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dandosa)? 
(QS ‘Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di  atas  mempertanyakan  dengan  ma  yudrika menyangkut   waktu   kedatangan  kiamat,  sedang  ayat  ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.  Ketiga  hal  tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
Secara   gamblang   Al-Quran   –demikian   pula   As-Sunnah-menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat,  tidak  pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang  tidak  mungkin  diketahui  walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa  ma  adraka,  walau  berupa  pertanyaan  namun  pada akhirnya  Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga informasi  lanjutan  dapat  diperoleh  dari  beliau.  Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut.
Ini  berarti  bahwa  persoalan  Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di  sanalah kita dapat memperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai  demikian?  Disini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan  hidup  manusia. Pendapat  ini  dikuatkan  oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada  ulama yang  memahami  penetapan  itu  dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar,  diartikan  bahwa  pada malam  itu  Allah  Swt.  mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw.,  guna  mengajak  manusia kepada  agama  yang  benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai  individu  maupunkelompok.
2. Kemuliaan.   Malam  tersebut  adalah  malam  mulia  tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih  sebagai  malam  turunnya Al-Quran,  serta  karena ia  menjadi  titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata  qadar  yang  berarti  mulia ditemukan  dalam surat Al-An’am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik:
Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
3. Sempit. Malam tersebut adalah  malam  yang  sempit,  karena banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara  lain dalam surat A1-Ra’d (13): 26:
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut  pada  hakikatnya  dapat  menjadi  benar,karena  bukankah  malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan  bahwa  pada malam  itu  malaikat-malaikat  turun ke bumi membawa kedamaian dan  ketenangan.  Namun  demikian,  sebelum  kita  melanjutkan bahasan  tentang  Laitat  Al-Qadar,  maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah  setiap  tahun atau  hanya  sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari Al-Quran  kita  menemukan  penjelasan  bahwa  wahyu-wahyu Allah  itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa  Al-Quran  telah  sempurna  dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam  mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena  ia  terpilih  menjadi   waktu turunnya Al-Quran.
Pakar  hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah  bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak  teks hadis  yang  menunjukkan  bahwa  Lailat  Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan  Rasululllah Saw.  menganjurkan umatnya  untuk  mempersiapkan  jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada  malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
Demikian sabda Nabi Saw.
Memang  turunnya  Al-Quran  lima  belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi  itu  bukan  berarti  bahwa ketika  itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun,  tetapi  karena  adanya  faktor intern  pada malam itu sendiri.
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk  kata kerja  mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau  terjadinya  sesuatu  pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya  itu?
Tidak  sedikit  umat  Islam  yang  menduganya  demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu  dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak.  Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh  hal-hal  yang  bersifat fisik-material, sedangkan  riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin  akan  menyatu  dan bertemu.  Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja.  Tamu agung yang  berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan  kekasih,  namun ternyata  sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian  juga  dengan  Lailat  Al-Qadar.  Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan  ini  adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa  manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai  satu tingkat kesadaran dan kesucian  yang  memungkinkan  malam  mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya  Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan  adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.  (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh  Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh  memberi ilustrasi berikut:
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang  membisikkan kebaikan adalah  malaikat, sedang yang membisikkan  keburukan  adalah  setan  atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat  atau setan.  Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri  menyambutnya,  menjadikan  yang bersangkutan akan selalu disertai oleh  malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong  untuk  melakukan  kebaikan-kebaikan, dan  dia  sendiri  akan  selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam  Lailat  Al-Qadar, tapi  sampai  akhir  hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil mengamalkan  i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di  masjid.  Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri  dan  masyarakatnya,  serta dapat  menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan  dan  pengkayaan iman.  Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan  masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh  (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat  manusia. Karena  itu  pula  beliau  mengajarkan  kepada  umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara  1ain adalah melakukan i’tikaf.
Walaupun  i’tikaf  dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja –bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau  bertadarus  dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka 
(QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa ini bukan  sekadar  berarti  permohonan  untuk  memperoleh kebajikan  dunia  dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai  usaha.  Permohonan  itu  juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang  diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di  dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun menyangkut tanda alamiah,  maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal  tersebut, tetapi  hadis  tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal  melakukan  penyaringan  yang  cukup  ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu  Daud,  dan  Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut,
Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas …
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena  itu kita  dapat  berkata  bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian  dan ketenangan. Semoga  malam  mulia  itu berkenan mampir menemui kita.

Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar