Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita
berbicara tentang surat Al-Qadar.
Surat Al-Qadar
adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf.
Ia ditempatkan sesudah surat Iqra’.
Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya
surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas
perintah Allah Swt., dan dari
perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surat Iqra’ Nabi Saw. (demikian pula kaum
Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara
lain
adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Bulan Ramadhan memiliki sekian
banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam
yang oleh Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan.”
Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia
terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan
sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang
menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik material
yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan
sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
Yang pasti dan harus diimani oleh setiap
Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, “Ada
suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan
sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua
urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS Al-Dukhan
[44]: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab
suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]:l).
Malam tersebut adalah malam mulia.
Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal ini
disyaratkan oleh adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan,
yaitu:
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
(QS Al-Qadr [97]: 2)
(QS Al-Qadr [97]: 2)
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang
dalam Al-Quran, sepuluh di antaranya
mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka
ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang
tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia,
kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma
adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
(QS Al-Thariq [86]: 2)
(QS Al-Thariq [86]: 2)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(QS Al-Balad [90]: 12)
(QS Al-Balad [90]: 12)
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
(QS Al-Qadr [97]: 2)
(QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan
dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna
oleh akal pikiran manusia.
Walaupun demikian, sementara
ulama membedakan antara pertanyaan ma
adraka dan ma yudrika yang juga digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.
Al-Quran dalam tiga ayat.
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat
waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?
(QS Al-Syura [42]: 17~.
(QS Al-Syura [42]: 17~.
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dandosa)?
(QS ‘Abasa [80]: 3).
(QS ‘Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan
dengan ma yudrika menyangkut waktu
kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut
tidak mungkin diketahui manusia.
Secara gamblang Al-Quran
–demikian pula As-Sunnah-menyatakan bahwa Nabi Saw. tak
mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini
berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri,
sedang wa ma adraka, walau berupa
pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga
informasi lanjutan dapat diperoleh dari
beliau. Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut.
Ini berarti bahwa persoalan Lailat
Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena
di sanalah kita dapat memperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa
arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Disini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami
sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah
dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang
memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang
turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada
malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah
dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw., guna mengajak
manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan
menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu
maupunkelompok.
2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah
malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih
sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.
Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam
surat Al-An’am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik:
Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun
kepada masyarakat.
3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang
sempit, karena banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang
ditegaskan dalam surat Al-Qadr:
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara
lain dalam surat A1-Ra’d (13): 26:
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi
yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya
dapat menjadi benar,karena bukankah malam tersebut
adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan
bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi
membawa kedamaian dan ketenangan. Namun demikian,
sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat
Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang
kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya
sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan
bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan
tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna
dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar
logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan
hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih
menjadi waktu turunnya Al-Quran.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari
penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena
mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar
terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw.
menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu,
secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
Demikian sabda Nabi Saw.
Memang turunnya Al-Quran lima belas abad
yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu
bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa
kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern
pada malam itu sendiri.
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk
kata kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada
masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air
dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu
tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat
rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata
sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga dengan Lailat
Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya,
karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul
datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang
berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan
malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya
Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di
masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika
itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan
bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia
dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
(Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam
Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi
ilustrasi berikut:
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam
bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya,
seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu
sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini
berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan
sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah
malaikat, sedang yang membisikkan keburukan
adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya
bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Turunnya malaikat pada
malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri
menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu
terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan
dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai)
yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi
sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian
kelak.
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan
dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas
kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh
tambahan pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk
memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi
pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai
kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah
perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup
umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada
umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara 1ain adalah melakukan i’tikaf.
Walaupun i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan
dalam waktu berapa lama saja –bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci namun Nabi Saw. selalu
melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia
dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka
(QS Al-Baqarah [2]: 201).
(QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa ini bukan sekadar berarti permohonan
untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat,
tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan
dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai
usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang
diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut
hingga hari kemudian kelak.
Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada
beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis
yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup
ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara
lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut,
Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya
(terlihat) putih tanpa sinar.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang
purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas …
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan
ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir
menemui kita.
Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar