Sabtu, 21 Juli 2012

SHAUM MADRASAH RUHANIAH....



Puluhan tahun lalu, puluhan rektor universitas Amerika berkumpul dalam suatu konferensi di Universitas Michigan. Mereka seakan tersentak, ketika Dr. Benjamin E. Mays, Rektor Morehouse College, Georgia, berkata;
Kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit…. Bukan pengetahuan yang kita butuhkan; kita sudah punya pengetahuan. Kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang spiritual
Mereka tersentak, karena menyadari bahwa selama ini perguruan tinggi telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh; manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati kering, sarjana yang meraksasa dalam teknik tetapi masih merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi yang kebingungan untuk menikmati kehidupan. 
Teriakan Mays tidak berbeda dengan imbauan Nugroho Notosusanto, yang menginginkan agar pendidikan kita mulai memperhatikan humaniora. Untuk lebih manusiawi, supaya manusia lebih “humanior”, memang diperlukan sesuatu yang sifatnya ruhaniah, “something spiritual”. Dilepaskan dari dimensi ruhaniahnya, kemanusiaan menjadi “kemanusiaan yang berpenyakit”. “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur,” begitu keluh Jean
Jaques Rousseau. Rousseau menganggap semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati-nuraninya. Manusia yang hanya berpikir saja adalah binatang yang bercacat(l’homme qui inedite est un animal deprave). Ilmunya akan menggapai angkasa tetapi hatinya diperbudak kerakusan, iri hati, kebencian, kegersangan emosi dan penipuan; keterampilannya mampu menggerakkan gunung-gunung tetapi tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.
Manusia adalah makhluk jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Karena itu, dalam dirinya ada potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan dunia spiritual. Manusia adalah “radio dua band” yang mampu menangkap gelombang panjang dan juga gelombang pendek. Ia mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejalagejala fisik yang diamatinya, tetapi ia juga mampu me- nyadap isyarat-isyarat gaib dari alam yang lebih luas lagi. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan potensi lain dimatikan, manusia menjadi makhluk yang bermata satu.
Seorang pejabat akan melihat kumpulan rakyat kecil sebagai angka yang dapat dikalikan dengan satuan biaya dan menghasilkan proyek milyaran rupiah. Tetapi ia tidak mampu memandang butir-butir airmata kepedihan di balik mata-mata yang cekung dan ungkapan kemiskinan di sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana akan mampu melihat keteraturan di alam semesta, tetapi tidak mampu menyimak Sang Pencipta di balik semua keteraturan itu. Seorang dokter segera dapat melihat gejala-gejala penyakit pasiennya, tetapi tidak mampu melihat sentuhan kemanusiaan di dalamnya; sehingga ia hanya memandang pasien sebagai sebongkah tubuh yang dapat dikalikan dengan ribuan rupiah biaya periksa. Seorang ahli hukum cepat mengetahui pasal mana yang dapat dipakai untuk memenangkan perkara, tetapi buta dengan isyarat-isyarat keadilan; sehingga klien berubah menjadi sapi perahan.
Kebahagiaan, ketenteraman, keindahan, kesucian, keadilan, keharuan adalah gejala-gejala ruhaniah. Gejala-gejala ini tidak bisa dimiliki bila potensi ruhaniah dimatikan. Karena itu, tumpukan uang tidak melahirkan kebahagiaan. Rumah megah tidak menyiramkan ketenteraman. Barang-barang mewah tidak memancarkan keindahan. Upacara-upacara keagamaan yang spektakuler tidak menumbuhkan kesucian. Seperangkat peraturan tidak mendatangkan keadilan. Dan sejuta keluhan tidak menyentuh keharuan.
“Anda tidak bisa menyelamatkan dunia hanya dengan sebuah sistem,” ujar Thomas Merton, penulis Mysticism in the Nuclear Age, “Anda tidak bisa meraih kedamaian tanpa kedermawanan. Anda tidak bisa mendapatkan keteraturan sosial tanpa orang-orang suci, kaum mistis, dan para nabi.” Tidak ada satu sistem, teori, ideologi atau apapun namanya dapat menyelamatkan dunia dari krisis. Kita memerlukan orang-orang suci yang dengan sinar ruhaninya memancarkan kasih-sayang dan menerangi kegelapan. Lebih rabun pandangan, lebih banyak sinar diperlukan. Dunia sekarang lebih memerlukan kehadiran seorang manusia suci daripada seribu “manusia nalar”.
Manusia suci dalam Islam disebut manusia takwa.
Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS 10: 62-64).
Manusia takwa adalah wali-wali Allah…..
yang semula mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia (QS 6: 122).
Cahaya yang terang yang dikaruniakan Allah kepada manusia takwa diumpamakan-Nya sebagai:
Sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun. Tidak ke barat tidak ke timur. Minyaknya saja hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehendaki (QS 24: 35).
Sedangkan orang kafir yang kehilangan cahaya diumpamakan sebagai:
Gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya ada ombak pula, di atasnya lagi awan; gelap-gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya tiadalah ia dapat melihat, dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya petunjuk oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun (QS 2: 183).
Untuk memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya. Sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah ini ialah shaum (puasa).
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa seperti diwajibkan pada umat sebelum kamu supaya kamu semua menjadi orang-orang takwa (QS 2: 183)
Pelajaran apakah yang diberikan pada madrasah ruhaniah yang bernama shaum? Sebagian di antaranya ialah: ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah. Marilah kita merenungkan kembali pelajaran ini satu persatu.


Ikhlas
Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap keridhaan AllahShaum adalah latihan ikhlas, sebab shaum tidak kelihatan orang. Kelelahan fisik, kelesuan, mata yang cekung, bibir yang kering bukan menunjukkan shaum saja. Shaum hanya bisa dijalankan dengan ikhlas. Karena itu orang melakukan puasa tidak karena mengharap pujian manusia, tidak karena mendambakan kekayaan, tidak pula ditujukan untuk mempertahankan kedudukan. Dalam puasa orang dididik bahwa keridhaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Wa ridhwanum minnallahi akbar! (QS 9: 72).
Ikhlas menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari perbudakan dunia. Karena itu, bila puasanya berhasil, manusia tidak lagi membabi-buta mengejar kekayaan, bila kekayaan itu mengundang murka Allah; ia tidak lagi mempertahankan kekuasaan, bila kekuasaan itu menghalanginya untuk mencapai ridha Allah; ia tidak lagi bersikeras mempertahankan harga diri bila harga diri itu malah menjatuhkan dia dari rahman-rahim Allah. Puasa menegaskan kembali pandangan hidup Muslim: wa ridhwanum minallahi akbar (dan keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya).


Pembersihan Diri
Dalam puasa seorang Muslim dididik untuk menghindari segala perbuatan yang tercela. Ia mengendalikan lidahnya supaya tidak mengeluarkan kata keji, kata yang tajam dan menyinggung orang lain, atau menggunjingkan orang lain. Bahkan bila ia dicemoohkan orang sekalipun, Rasulullah Saw. menyuruhnya untuk menjawab sederhana. “Inni shaim” (Aku sedang berpuasa).
Ia mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan getaran hatinya. “Betapa banyaknya orang yang berpuasa yang tidak mendapat apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga,” begitu peringatan Rasulullah Saw. (HR Bukhari). Takwa tidak akan dapat dicapai tanpa proses pembersihan diri. Cahaya ruhaniah tidak akan mampu menembus hati yang dipenuhi dosa dan maksiat. Nur rabbani tidak akan terpantul dari jiwa yang kotor.


Ihsan dan Ibadah
Dalam puasa, seorang Muslim diajar untuk membiasakan berbuat baik. Berbuat baik kepada makhluk Allah dan berbuat baik dalam menyembah Allah. Dibiasakannya memperbanyak sedekah, menolong orang lain, menggembirakan yang susah, dan meringankan beban yang berat. Pada saat yang sama digerakkannya bibir dan lidahnya untuk berzikir dan membaca Al-Quran, ditegakkannya kakinya untuk shalat malam, dipenuhinya waktu sahur dengan istighfar. Matanya sayu karena kurang tidur. Bibirnya kering karena menahan lapar dan dahaga. Tubuhnya lemah karena kehabisan energi. Tetapi pandangan kalbunya cemerlang dengan sinar rabbani.
Andaikan empat pelajaran shaum ini dilanjutkan oleh kaum Muslim, dunia tidak akan kehabisan orang-orang suci. Keempat kualitas ini akan sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih-sayang pada kekasaran kekayaan, keutuhan insani pada kemanusiaan yang bercacat. Rabbana taqabbal minna, innaka antas sami’ud du’a!

Oleh : Dr. Jalaluddin Rakhmat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar