Puluhan
tahun lalu, puluhan rektor universitas Amerika berkumpul dalam suatu konferensi
di Universitas Michigan. Mereka seakan tersentak, ketika Dr. Benjamin
E. Mays, Rektor Morehouse College, Georgia, berkata;
Kita
memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita
juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak. Namun,
kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit…. Bukan pengetahuan yang
kita butuhkan; kita sudah punya pengetahuan. Kemanusiaan sedang membutuhkan
sesuatu yang spiritual
Mereka
tersentak, karena menyadari bahwa selama ini perguruan tinggi telah mencetak
manusia-manusia yang tidak utuh; manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati
kering, sarjana yang meraksasa dalam teknik tetapi masih merayap dalam etik,
intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi yang kebingungan untuk
menikmati kehidupan.
Teriakan Mays tidak
berbeda dengan imbauan Nugroho Notosusanto, yang menginginkan agar
pendidikan kita mulai memperhatikan humaniora. Untuk lebih manusiawi, supaya
manusia lebih “humanior”, memang diperlukan sesuatu yang sifatnya ruhaniah,
“something spiritual”. Dilepaskan dari dimensi ruhaniahnya, kemanusiaan menjadi
“kemanusiaan yang berpenyakit”. “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit
dicari orang jujur,” begitu keluh Jean
Jaques
Rousseau. Rousseau menganggap semua penyakit kemanusiaan timbul karena
manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan
hati-nuraninya. Manusia yang hanya berpikir saja adalah binatang yang bercacat(l’homme
qui inedite est un animal deprave). Ilmunya akan menggapai angkasa
tetapi hatinya diperbudak kerakusan, iri hati, kebencian, kegersangan emosi dan
penipuan; keterampilannya mampu menggerakkan gunung-gunung tetapi tidak dapat
mengendalikan dirinya sendiri.
Manusia
adalah makhluk jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Karena itu, dalam dirinya ada
potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan dunia spiritual. Manusia
adalah “radio dua band” yang mampu menangkap gelombang panjang dan juga
gelombang pendek. Ia mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejalagejala
fisik yang diamatinya, tetapi ia juga mampu me- nyadap isyarat-isyarat gaib
dari alam yang lebih luas lagi. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa
sedangkan potensi lain dimatikan, manusia menjadi makhluk yang bermata satu.
Seorang
pejabat akan melihat kumpulan rakyat kecil sebagai angka yang dapat dikalikan
dengan satuan biaya dan menghasilkan proyek milyaran rupiah. Tetapi ia tidak
mampu memandang butir-butir airmata kepedihan di balik mata-mata yang cekung
dan ungkapan kemiskinan di sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana
akan mampu melihat keteraturan di alam semesta, tetapi tidak mampu menyimak
Sang Pencipta di balik semua keteraturan itu. Seorang dokter segera dapat
melihat gejala-gejala penyakit pasiennya, tetapi tidak mampu melihat sentuhan
kemanusiaan di dalamnya; sehingga ia hanya memandang pasien sebagai sebongkah
tubuh yang dapat dikalikan dengan ribuan rupiah biaya periksa. Seorang ahli
hukum cepat mengetahui pasal mana yang dapat dipakai untuk memenangkan perkara,
tetapi buta dengan isyarat-isyarat keadilan; sehingga klien berubah menjadi
sapi perahan.
Kebahagiaan,
ketenteraman, keindahan, kesucian, keadilan, keharuan adalah gejala-gejala
ruhaniah. Gejala-gejala ini tidak bisa dimiliki bila potensi ruhaniah
dimatikan. Karena itu, tumpukan uang tidak melahirkan kebahagiaan. Rumah megah
tidak menyiramkan ketenteraman. Barang-barang mewah tidak memancarkan
keindahan. Upacara-upacara keagamaan yang spektakuler tidak menumbuhkan
kesucian. Seperangkat peraturan tidak mendatangkan keadilan. Dan sejuta keluhan
tidak menyentuh keharuan.
“Anda
tidak bisa menyelamatkan dunia hanya dengan sebuah sistem,” ujar Thomas
Merton, penulis Mysticism in the Nuclear Age, “Anda tidak bisa
meraih kedamaian tanpa kedermawanan. Anda tidak bisa mendapatkan keteraturan
sosial tanpa orang-orang suci, kaum mistis, dan para nabi.” Tidak ada satu
sistem, teori, ideologi atau apapun namanya dapat menyelamatkan dunia dari
krisis. Kita memerlukan orang-orang suci yang dengan sinar ruhaninya
memancarkan kasih-sayang dan menerangi kegelapan. Lebih rabun pandangan, lebih
banyak sinar diperlukan. Dunia sekarang lebih memerlukan kehadiran seorang
manusia suci daripada seribu “manusia nalar”.
Manusia
suci dalam Islam disebut manusia takwa.
Ingatlah
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak
pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam
kehidupan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji)
Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS 10:
62-64).
Manusia
takwa adalah wali-wali Allah…..
yang
semula mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang
dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia (QS 6:
122).
Cahaya
yang terang yang dikaruniakan Allah kepada manusia takwa diumpamakan-Nya
sebagai:
Sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun.
Tidak ke barat tidak ke timur. Minyaknya saja hampir menerangi walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa
yang Dia kehendaki (QS 24: 35).
Sedangkan
orang kafir yang kehilangan cahaya diumpamakan sebagai:
Gelap-gulita
di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya ada ombak pula, di
atasnya lagi awan; gelap-gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan
tangannya tiadalah ia dapat melihat, dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya
petunjuk oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun (QS 2:
183).
Untuk
memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya. Sebagaimana diperlukan sekolah
untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah
ruhaniah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah ini ialah
shaum (puasa).
Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa seperti diwajibkan pada
umat sebelum kamu supaya kamu semua menjadi orang-orang takwa (QS 2:
183)
Pelajaran
apakah yang diberikan pada madrasah ruhaniah yang bernama shaum?
Sebagian di antaranya ialah: ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah.
Marilah kita merenungkan kembali pelajaran ini satu persatu.
Ikhlas
Ikhlas berarti beramal
semata-mata karena mengharap keridhaan Allah. Shaum adalah
latihan ikhlas, sebab shaum tidak kelihatan orang. Kelelahan fisik, kelesuan,
mata yang cekung, bibir yang kering bukan menunjukkan shaum saja. Shaum hanya
bisa dijalankan dengan ikhlas. Karena itu orang melakukan puasa tidak karena
mengharap pujian manusia, tidak karena mendambakan kekayaan, tidak pula
ditujukan untuk mempertahankan kedudukan. Dalam puasa orang dididik bahwa
keridhaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Wa
ridhwanum minnallahi akbar! (QS 9: 72).
Ikhlas
menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari
perbudakan dunia. Karena itu, bila puasanya berhasil, manusia tidak lagi
membabi-buta mengejar kekayaan, bila kekayaan itu mengundang murka Allah; ia
tidak lagi mempertahankan kekuasaan, bila kekuasaan itu menghalanginya untuk
mencapai ridha Allah; ia tidak lagi bersikeras mempertahankan harga diri bila
harga diri itu malah menjatuhkan dia dari rahman-rahim Allah. Puasa menegaskan
kembali pandangan hidup Muslim: wa ridhwanum minallahi akbar (dan
keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya).
Pembersihan Diri
Dalam
puasa seorang Muslim dididik untuk menghindari segala perbuatan yang tercela.
Ia mengendalikan lidahnya supaya tidak mengeluarkan kata keji, kata yang tajam
dan menyinggung orang lain, atau menggunjingkan orang lain. Bahkan bila ia
dicemoohkan orang sekalipun, Rasulullah Saw. menyuruhnya untuk menjawab
sederhana. “Inni shaim” (Aku sedang berpuasa).
Ia
mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan
getaran hatinya. “Betapa banyaknya orang yang berpuasa yang tidak
mendapat apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga,” begitu
peringatan Rasulullah Saw. (HR Bukhari). Takwa tidak akan dapat dicapai tanpa
proses pembersihan diri. Cahaya ruhaniah tidak akan mampu menembus hati yang
dipenuhi dosa dan maksiat. Nur rabbani tidak akan terpantul
dari jiwa yang kotor.
Ihsan dan Ibadah
Dalam
puasa, seorang Muslim diajar untuk membiasakan berbuat baik. Berbuat baik
kepada makhluk Allah dan berbuat baik dalam menyembah Allah. Dibiasakannya
memperbanyak sedekah, menolong orang lain, menggembirakan yang susah, dan
meringankan beban yang berat. Pada saat yang sama digerakkannya bibir dan
lidahnya untuk berzikir dan membaca Al-Quran, ditegakkannya kakinya untuk
shalat malam, dipenuhinya waktu sahur dengan istighfar. Matanya sayu karena
kurang tidur. Bibirnya kering karena menahan lapar dan dahaga. Tubuhnya lemah
karena kehabisan energi. Tetapi pandangan kalbunya cemerlang dengan sinar
rabbani.
Andaikan
empat pelajaran shaum ini dilanjutkan oleh kaum Muslim, dunia tidak akan
kehabisan orang-orang suci. Keempat kualitas ini akan sanggup memberikan
keharuan imani pada kegersangan intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan
kekuasaan, kelembutan kasih-sayang pada kekasaran kekayaan, keutuhan insani
pada kemanusiaan yang bercacat. Rabbana taqabbal minna, innaka antas
sami’ud du’a!
Oleh : Dr. Jalaluddin Rakhmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar