Senin, 10 Agustus 2009

APAKAH YANG SALAH DALAM KEBERAGAMAAN KITA ?



Melihat kenyataan di masyarakat, asumsi yang menyatakan bahwa “kita adalah masyarakat religus,” agaknya perlu ditinjau kebenarannya. Yang terlibat secara serius dalam upaya menyosialisasikan nilai-nilai agama atau yang memperaktikkannya sungguh sangat minim.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, agaknya terlebih dahulu kita perlu mengetahui apakah “Agama“ dan “bagaimana beragama itu?” Dua pertanyaan yang tidak mudah dijawab oleh ilmuan.

Kata Dîn dalam bahasa Al-Quran, seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata tersebut terdiri dari tiga huruf hija’iyah yaitu dâl, yâ’, dan nûn. Bagaimanapun cara anda membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Seperti dain yang berarti utang, atau dîn yang berarti balasan dan kepatuhan, serta hubungan antara manusia di tempat rendah dengan Allah Yang Maha Tinggi.

Oleh karena itu, merumuskan definisi agama pun tidak mudah -- kalau tidak dikatakan “mustahil” -- bagi ilmuan, yang ingin memberi batasan yang tepat dan menyuluruh. Lebih-lebih lagi jika kita menyetujui pandangan filosof Inggris, John Locke ( 1632-1704 M.), yang menyatakan bahwa “Agama bersifat khusus, pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi selainku, memberi aku petunjuk, jika jiwaku sendiri enggan menerima petunjuk itu.”

Memang, sebagian pakar telah berusaha menggambarkannya. “Agama adalah pengetahuan tentang Tuhan dan upaya meneladani-Nya,” kata Seneque (2-66 M). “Agama adalah pengabdian kemanusiaan,” kata Auguste Comte (1798-1857 M). “Agama adalah sekumpulan petunjuk Ilahi yang disampaikan melalui nabi/rasul untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan mengantar penganutnya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat,” demikian tulis Mahmud Syaltut ( 1960 M). “Beragama adalah menjadikan semua kewajiban kita adalah perintah-perintah Tuhan yang suci dan harus dilaksanakan,” begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804 M).

Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas mungkin tidak keliru kiranya kalau dikatakan bahwa agama adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu kekuatan yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan baik karena takut maupun karena berharap memperoleh kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga karena dorongan kagum dan cinta. Jika demikian, untuk bisa disebut “beragama”, maka paling tidak ada tiga hal yang harus terpenuhi.

Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu bersifat sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat suci, tetapi setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena atau tidur; saat ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.

Kedua: Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan tersebut, suatu hubungan yang terpantul dalam ketaatan melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangan-Nya

Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi balasan dan ganjaran sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya. Dengan kata lain, keyakinan ini merupakan cerminan kepercayaan tentang adanya hari pembalasan, hari kemudian.

APA YANG SALAH ?

Agaknya terdapat kesalahan dalam ketiga unsur pokok keberagamaan yang disimpulkan di atas. Pertama, kita belum mengenal siapa Tuhan, apalagi mampu meneladani-Nya, sesuai kemampun kita sebagai makhluk. Kita diberi potensi oleh-Nya untuk mengenal dan meneladani-Nya, tetapi jangankan meneladani-Nya, mengenal sifat-Nya yang paling dominan pun belum. Berapa banyakkah di antara kaum Muslim yang memahami arti Rahmân dan Rahîm yang sering diterjemahkan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Rahmân adalah pelimpah kasih sempurna di dunia bagi semua makhluk termasuk binatang dan manusia durhaka, dan Rahîm adalah Pelimpah kasih di akhirat bagi yang taat.

Tuhan Maha Pemaaf, atau paling tidak menangguhkan siksa, untuk memberi kesempatan kepada pendurhaka melakukan introspeksi, tetapi kita sering kali dengan cepatnya mengutuk dan menghukum orang yang “dianggap” durhaka. Tuhan memberi manusia kebebasan memilih, tetapi kita tidak meneladani-Nya dan malah memaksa pihak lain sehingga kita seperti lebih bersemangat dari Tuhan atau ingin menandingi-Nya.

Sebelum Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bagaimana hukum-hukum keagamaan, beliau terlibih dahulu memperkenalkan Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang indah. Dia adalah Rab (Tuhan Pemelihara), Dia adalah Pencipta alam semesta, dan Dia adalah al-Akram (Maha Pemurah). Itulah yang pertama kali diperkenalkan dalam wahyu pertama. Tuhan dilukiskan dalam sifat kemurahan-Nya itu sebagai: “Yang Maha Pemurah dengan pemberian-Nya, Maha luas dengan anugerah-Nya, Dia yang bila berjanji, menepati janji-Nya, bila memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya. Tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia yang bila “kecil hati“, menegur tanpa berlebih. Tidak mengabaikan siapapun yang berlindung kepada-Nya. Dia yang bergembira dengan diterimanya anugerah-Nya, serta yang memberi sambil memuji yang diberi-Nya, Dia bahkan memberi siapa yang mendurhakai-Nya Sungguh indah sifat yang satu ini. Demikian juga sifat-sifat lain-Nya.

Kehadiran Tuhan dalam kehidupan sebagian kaum beragama, baru terasakan ketika berada di tempat-tempat peribadatan. Ini pun boleh jadi asumsi yang berlebihan. Adapun kehadiran-Nya di luar itu, maka agaknya jauh panggang dari api, jauh harapan dari kenyataan yang umum.

Ini hal pertama yang harus diluruskan dalam kehidupan beragama kita, dan itu dimulai dengan mengenal dan memperkenalkan-Nya kepada peserta didik dan masyarakat kita, agar mereka mau meneladani-Nya.

Kedua, dalam hal mematuhi ketentuan-ketentuan-Nya, kita sering kali lupa bahwa ketentuan-ketentuan-Nya adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media pemeliharaan diri dari dosa dan pelanggraan sekaligus prasyarat bagi lahirnya kemaslahatan pribadi dan masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu memiliki bentuk formal yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama memiliki substansi yang harus selalu menyertainya. Tanpa substansi itu, maka pelaksanaan perintah-Nya tidak memberi bekas di dalam jiwa. Shalat, misalnya, dalam pandangan hukum agama adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tetapi ia juga memiliki substansi yang bila diabaikan, maka pelakunya terancam dengan kecelakaan (Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lengah terhadap (substansi) shalat mereka (Q.S.al-Mâ’ûn [107] : 4.). Substansi shalat adalah perwujudan makna kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah. Substansi itu juga menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya, yang jika bisa bergabung dalam jiwa manusia, ia memperoleh kekuatan yang bersumber dari-Nya Kalau substani shalat seperti itu adanya, wajarkah manusia bermuka dua ketika melakukannya? Mereka yang berbuat demikian berarti tidak menghayati arti shalatnya dan lalai dari tujuannya.

Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya, -karen shalat berarti doa - kalau demikian wajarkah yang butuh ini, menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur dirinya dan kebutuhannya kepada Tuhan ? Jika ia enggan memberi pertolongan, maka pada hakekatnya ia tidak menghayati arti dan tujuan shalat, seperti yang diuraikan diatas.

Kita seringkali menduga bahwa hanya yang tidak melaksanakan tuntunan-Nya yang berkaitan dengan ibadah ritual yang dinilai tidak beragama, padahal secara tegas dinyatakan dalam kitab suci Al-Quran bahwa: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?Itulah dia yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Q.S. al-Ma’un [107 : 1-2-3].

Mungkin penjelasan ayat di atas tentang siapa yang mendustakan agama mengagetkan sebagian orang, karena selama ini yang populer dari pengertian tidak beragama bukan seperti itu, tetapi apa yang dinyatakan ayat itulah salah satu hakikat dan substansi yang terlupakan.

Hakikat pembenaran agama bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan positif dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang hanya dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu, sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti dan tidak dipandang-Nya

Ayat di atas, menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Tuhan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa kewajiban dan tuntunan agama yang ditetapkan Allah, sedikit pun tidak bertujuan kecuali untuk kemaslahatan seluruh makhluk, khususnya ummat manusia. Allah menghendaki di balik kewajiban dan tuntunan itu keharmonisan hubungan antar seluruh makhluk-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

Kesalahan kita dalam bidang ini adalah terlalu memperhatikan sisi formal dan melupakan substansi, bahkan yang lebih salah lagi adalah sebagian kita menjadikan hukum-hukum agama sebagai Tuhan, sehingga mungkin tidak keliru jika ada yang menyatakan bahwa:”Kita telah menciptakan berhala baru, dan menempatkannya sebagai Tuhan.” Berhala baru itu adalah hukum-hukum formal agama. Dan yang lebih buruk lagi adalah bahwa tuhan itu tidak menyadang sifat kasih dan sangat otoriter. Atas namanya kita seenaknya menjatuhkan sanksi, padahal Tuhan Yang berhak disembah memberi toleransi.

Kitab suci Al-Quran menegaskan bahwa: Allah menghendaki kemudahan buat kamu dan tidak mengehendaki kesulitan (Q.S. al-Baqarah [2]:185), dan Dia sekali-kali tidak menjadikan buat kamu dalam soal agama sedikit kesempitan (Q.S. al-Haj [22] :78).

Tetapi sebagian kemudahan yang dianugerahkan itu kita pesempit. Kita menuntut atas nama hukum agama bahwa ketetapan hukum harus dilaksanakan apapun dan bagaimanapun situasi yang dihadapi. Padahal rumus agama menyatakan: “Apabila sesuatu telah menyempit, maka ia menjadi mudah” ( yakni dengan dibolehkan sesuatu yang tadinya terlarang).

Ketiga, dalam hal kepercayaan tentang adanya hari kemudian, terasa bahwa kita seringkali melupakannya. Yang dipercaya hanya yang di sini dan kini (yang sekarang). Tidak ada kata sebentar apalagi hari esok, sehingga lahirlah dalam kehidupan sebagian di antara kita “budaya mumpung”. Satu sikap yang sepenuhnya bertentangan dengan kepercayaan tentang adanya hari esok, yang dekat dan jauh.

Melihat kenyataan yang ada di masyarakat, maka asumsi yang menyatakan bahwa “Kita adalah masyarakat religus,” agaknya merupakan sesuatu yang perlu ditinjau kebenarannya. Yang terlibat secara serius dalam upaya menyosialisasikan nilai-nilai agama atau yang memperaktikkannya sungguh sangat minim jika dibandingkan dengan mereka yang menyosialisasikan nilai-nilai buruk. Salah satu yang dapat dijadikan tolok ukur adalah media massa kita. Perhatikanlah apa yang ditayangkan dan informasi yang disebarluaskan, lalu tanyakanlah rating masing-masing. Memang masih terlalu banyak kesalahan kita, sehingga wajar jika krisis yang kita alami belum kunjung teratasi. Wallâhu A‘lam.

Sumber :
Ditulis sendiri oleh M. Quraish Shihab.

http://www.psq.or.id/artikel.asp?mnid=41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar