Selasa, 25 Agustus 2009
TP. Rachmat : Extrapreneur Sejati
Oleh : Paulus Bambang WS *)
Hampir 25 tahun secara pribadi, saya mengenal sosok yang sering disebut sebagai eksekutif panutan para profesional. Saya menyebut Pak Teddy, begitu sapaan akrabnya, sebagai sosok Extrapreneur Sejati. Artinya, ia adalah Entrepreneur, eXecutive and inTRApreneur secara simultan. Ini kekuatan sekaligus kelemahan yang hanya seorang sekualitas Pak Teddy mampu menyelaraskan derapnya.
Ia memulai perjalanan panjang karirnya sebagai seorang profesional murni. Merangkak dari posisi 'entry level' sebagai 'salesman' setelah lulus dari perguruan tinggi. Kepiawaian membuka jaringan, membuahkan pelanggan yang bukan hanya puas tapi loyal. Perjalanan awal di bidang penjualan inilah membuatnya mengenal dunia pemasaran secara lebih luas.
Bagi seorang T.P Rachmat, teori pemasaran dan penjualan yang dibuat rumit oleh para ahli, disederhanakan dengan konsep pemahaman tentang pelanggan. Ia berusaha mengenal pelanggan secara pribadi, potensi bisnis serta keluhan dan kebutuhan yang sedang digelutinya. Kalau ia dapat menawarkan solusi yang tepat, pelanggan akan lebih mudah mempercayai produk yang dijualnya.
Anak tangga posisi di bidang pemasaran ini dilaluinya dengan istimewa. Ia bukan hanya mampu menjadi konseptor bisnis alat berat Astra Group tapi mampu menjadi eksekutor yang handal di lapangan. Bukan sebagai seorang superman, tapi sebagai dirigen dari super team.
Ketika ia dipromosi menjadi pemegang tampuk kepemimpinan divisi alat berat Astra, profesionalismenya kelihatan sangat menonjol. Ia bukan sosok pemasaran yang hanya mengandalkan 'guts' dam 'network', tapi ia menjalankan jurus pemasaran secara sistimatis dan sistemik. Ia adalah sosok pembelajar sejati. Suatu karakter profesional yang terus dikembangkannya sampai sekarang.
Pengalaman sebagai executive di divisi alat berat inilah yang membuat pimpinan Astra mendudukkannya ke kursi kepemimpinan Astra Group. Di posisi ini, Pak T.P Rachmat berhasil mereposisi peran kepemimpinan dari eksekutif menjadi 'Intrepreneur'. Suatu perubahan paradigma dan karakter yang amat berbeda dengan pegawai berpangkat tinggi.
Transisi ini yang sering gagal dilakukan oleh profesional yang menduduki jabatan direksi. Banyak yang masih berperilaku sebagai pegawai. Tidak berani mengambil resiko jangka panjang, merubah fondasi bisnis, merubah struktur kesisteman apalagi investasi pada SDM yang paling maju. Kegagalan transisi dari 'profesional' menjadi 'intrapreneur' juga menyebabkan perusahaan yang dikelola tidak memiliki 'aura' dan 'impact' mendalam. Hanya berkutat pada masalah angka dan bilangan hasil.
Transisi kedua yang juga dilaluinya dengan perjuangan yang berat adalah 'intrapreneur' menjadi 'entrepreneur'. Banyak kalangan yang 'over estimate' terhadap kompetensinya sebagai profesional dan intrapreneur namun sangat 'under estimate' tantangan menjadi 'entrepreneur'. Ketiga peran tersebut sangat berbeda.
Kemampuan profesional adalah mengelola uang orang lain. Kemampuan Intrapreneur adalah mengelola uang orang lain seperti ia memilikinya sendiri. Kemampuan Entrepreneur adalah mengelola uangnya sendiri. Serupa tapi sangat berbeda. Ini membutuhkan perjalanan panjang yang bersumber pada 5B yakni Blood, Brain, Belief, Behavior dan Book. Bila tidak memiliki kelima 'entrepreneur ingredients' tersebut, akan terseok ketika akan pindah jalur.
Pertama, aspek 'Blood'. Ini bukan soal bibit dalam arti anak si pemilik secara langsung. Bukan pula sekedar memiliki 'the right last name'. Tapi lingkungan yang membuat ia berada dalam tatanan 'entrepreneurship'. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesannya sebagai 'entrepreneur' saat ini karena ia adalah keponakan pendiri Astra. Tapi kalau sekedar 'promotion by blood', kesuksesan tidak akan 'sustain'.
Banyak yang justru dipersiapkan sebagai 'putra mahkota' karena anak si pendiri, justru menjungkalkan perusahaan berlian menjadi barang rongsok. Yang dibutuhkan bukan hanya 'genetic blood' tapi 'entrepreneur blood'. Tanpa hal ini sulit menjadi entrepreneur walaupun ia menyandang master dari 'entrepreneur university'.
Kedua, aspek 'Brain'. Siapapun mantan bawahan Pak Teddy, selalu mengatakan bahwa ia memiliki 'entrepreneur brain' mendampingi 'blood' yang sangat tajam. Ketajamannya menganalisa peluang dan tantangan tak mudah dicari bandingannya. Ia mampu melihat proyek dari banyak aspek sekaligus, bukan sekedar analisa keuangan. Bahkan dalam banyak kali, ia seakan menomor tigakan kinerja material ini. Akibatnya, adapula bisnis yang diciptakannya sirna tak berbekas.
Ketiga, aspek 'Belief'. Seorang entrepreneur selalu memiliki 'belief' yang berbeda dengan seorang pegawai. Disaat pasar naik, entrepreneur sering malahan menahan diri untuk maju. Di pasar turun, justru ia melakukan pembelian saham dan investasi untuk memperkuat diri saat siklus naik tiba.
Dalam bahasa Warren Buffet, entrepreneur selalu berpikir terbalik dengan pegawai. Pegawai mengikuti trend, entreprenuer melawan trend. Pegawai menciptakan kemenangan di tengah persaingan di samudra merah (red ocean), entrepreneur menciptakan samudra biru tanpa persaingan. Ini bukan soal blood dan brain, tapi belief bahwa jalan yang lebar dan penuh sesak menuju ke neraka persaingan sedangkan jalan yang sempit, berliku dan sedikit orang yang memilihnya menuju ke surga keuntungan.
Hanya seorang yang berkualitas 'entrepreneur sejati' mampu melihat bahwa pasar sepatu yang paling potensial adalah di Afrika, pasar baju yang paling menantang adalah di Papua, pasar perangkat lunak yang paling menjanjikan adalah China dan Indonesia, walaupun soal pembajakan sangat kasat mata di pinggir jalan. Tanpa 'belief' seorang entrepreneur, potensi itu dianggap sebagai persoalan, hambatan, problema, krisis dan tantangan. Pendekatan yang diambil adalah aksi hukum dan kuratif yang reaktif.
Pak Teddy, mampu menunjukkan bahwa ia memiliki 'belief' yang tajam. Karena belief inilah ia rela melepaskan seluruh kepemilikan saham di Adira Finance kepada Bank Danamon karena ia tak mau bersaing di samudra merah. Ia sadar kapasitasnya amat terbatas untuk mampu me 'leverage' Adira Finance menjadi sekelas FIF dan ACC. Bisnis bukan soal sejarah dan warisan namun pada soal rasional juga.
Sebaliknya pula, karena 'belief'nya bahwa bisnis adalah sesuatu yang harus dikelola secara langsung dengan indera, hati dan pikiran maka Pak Teddy tidak akan pernah bermimpi menjadi seorang 'Suprapreneur". Artinya entrepreneur yang mengelola usaha dengan mengotak atik tansaksi keuangan. Beli dan jual perusahaan. Ia adalah bisnisman fisik. Astra mengenalnya sebagai pembuat 'pabrik baru' pada era sebelum krisis 97.
Ketika ia sudah berdiri sendiri, 'belief' ini tetap melekat di hatinya. Ia lalu menoleh bidang batu bara dan agro sebagai basis bisnis masa depannya disamping bidang manufaktur yang menjadi spesialisasinya.
Keempat, aspek 'behavior'. Seorang entrepreneur sejati percaya pada orang lain untuk mengelola operasi hariannya. Sebagai konseptor, ia tak memiliki waktu cukup untuk merangkap sebagai seorang eksekutor. Tanpa memiliki jiwa 'mempercayai' orang lain, ia akan menjadi entrepreneur terbatas. Berhenti berkembang. Apa yang bisa dipegang oleh dua tangannya kala bisnisnya membutuhkan sepuluh tangan untuk memeluknya ?
Seorang T.P rachmat, adalah seorang yang berani memberi kepercayaan penuh pada bawahannya. Saya kadang mengingatkan beliau soal ini. Namun dengan ringan ia menjawab "Kalau saya tak percaya lebih baik diganti saja eksekutif itu. Kalau percaya berilah 'opportunity to perform'". Itu yang menjadi landasan program 'man management' gaya Astra.
Bukan berarti langkah ini tanpa resiko. Karena terlalu percaya pada bawahan, pelanggan dan mitra bisnis ia kehilangan modal yang tak sedikit. Karena terlalu percaya tanpa prasangka, ia sering tidak mau mendengar bisikan orang dalam soal kualitas mitranya. Kala semua bisikan itu terjadi, dan ia kehilangan jutaan dollar, baru ia menyadari bahwa itu adalah uang sekolah yang harus ia jalani.
Kelima, aspek 'books'. Pak Teddy dikenal sebagai pimpinan yang menjalankan gaya kepemimpinan berdasarkan ilmu dari buku baru. "Management by the Best Seller", seloroh banyak eksekutif Astra tatkala ia mulai membagi buku baru atau meminta mereka menerapkan buku baru yang habis dibacanya.
Ialah penggagas dan pendorong terbentuknya budaya "Astra Total Quality Control" melalui pendekatan kesisteman. Ketka Kaizen mulai merambah, ia secara proaktif meminta saya secara pribadi menemui sang konseptor, Masaaki Imai di Jepang, untuk memperkutan basis ATQC.
Ketika Jack Welsh mempopulerkan pendidikan manajemen gaya Crotonville, Pak Teddypun tak segan investasi untuk mendirikan Astra Management Development Institute dengan nilai puluhan jutaan dollar pada waktu itu. Konsep GE dipadukan dengan konsep Sekolah Komando TNI menjadikan AMDI menjadi tulang pungung pemikiran dan pengembangan SDM yang termaju saat itu di tingkat regional.
Lalu muncul Six Sigma dan Benchmarking. Ia mengirimkan lebih dari seratus eksekutif bidang produksi untuk melakukan studi banding ke Singapore. Mulai dari Singapore Airline, CIAS Flight Kitchen Restaurant, Port Authority bahkan sampai ke Sidney Zoo diprogramkan untuk memberi wawasan baru.
Ketika sudah pensiun dari Astra, saya pernah memberikan buku 'Good to Great'nya Jim Collins dan "Purpose Driven Life'nya Rick Warren padanya. Ia tetap sama. "Saya sudah membacanya", sambil menyitir beberapa kalimat penting dari kedua buku itu. Artinya, ia tetap mau berubah dengan menjadi manusia pembelajar yang sesungguhnya. Baik kompetensi maupun bisnis baru. Ia tahu bahwa kompetensi, pengalaman, sukses masa lalu tidak dapat dipakai untuk memenangkan persaingan di masa depan. Masa depan adalah baru. Banyak yang ‘unprecedented events'.
Ia sadar bahwa perubahan akan semakin cepat. Ia tidak takut pada perubahan dan tidak berhenti pada satu perubahan sampai ditemukan perubahan lainnya. Ia mengelola perubahan agar perubahan tidak mengelolanya. Adakalanya ia ditelan oleh perubahan yang membuat bisnis dan pribadi tergoncang berat. Tapi satu hal yang saya belajar, ia tidak melawan perubahan tapi mengarunginya dengan tanpa melekat pada sejarah yang membelenggu pikirannya. Ia menatap masa depan dengan mengantisipasi perubahan. Ia ingin membuat sejarah bukan menjadi sejarah.
Salah satu langkah yang dilakukan agar bisnis tetap menjadi pembuat sejarah adalah ia menyerahkan tongkat kepemimpinan pada eksekutif muda. Bukan hanya anak kandung tapi anak didiknya sudah mengelola bisnis besar dan kompleks.
Tidak banyak di negara ini yang dapat dijadikan inspirator dalam perpindahan profesional menjadi entrepreneur dan tetap sukses seperti semula. Selain Pak Teddy, saya merekomendasikan Sudhamek AWS, pimpinan GarudaFood dan Hilmi Panigoro dari Medco yang memiliki pengaruh pada tingkat global. Mereka adalah sosok profesional yang menjadi intrapreneur dan sekaligus entrepreneur yang handal. Mereka adalah Extrapreneur yang layak dijadikan bahan kajian. Kapan giliran anda
Saturday, 14 February 2009 13:50
*)Paulus Bambang WS, Meniti karir di dunia HR, memuncak sebagai orang pertama di berbagai perusahaan besar dan kini menjadi pemimpin perusahaan beromset triliunan rupiah, tapi masih rajin menulis kolom di berbagai media bahkan akan merilis buku baru. Itulah gambaran singkat sosok santun Vice President Director Marketing & Operation PT United Tractors (UT) Tbk. Paulus Bambang W.S.
Jika Anda pembaca setia Majalah SWA, Anda akan menemukan tulisan-tulisan mengenai leadership, HR dan strategic management yang secara rutin ditorehkan pria kelahiran Semarang, 21 Mei 1959 ini. Paulus Bambang juga rajin mengisi kolom "Toptrik" di Majalah Warta Ekonomi. Total, lebih dari 300 artikel dan kolomnya bertebaran di berbagai media cetak. Ia bukan hanya rajin menebar banyak ilmu melalui media. Lebih dari itu, sosoknya juga sering hadir dalam berbagai seminar dan forum Leadership Development. Ia telah menjadi narasumber lebih dari 200 sesi seminar.
http://www.suksessejati.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104:tprachmat-extrapreneur-sejati&catid=33:built-to-bless&Itemid=168
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salut..saya sudah lama sekali Menidolakan dan terinspirasi oleh Pak TP. Rahmat,..Kepengen sekali bisa menjadi Muridnya langsung..
BalasHapus