Senin, 10 Agustus 2009

SUJUD HARGA SURGA



“Hendaklah engkau memperbanyak sujud, karena tidaklah engkau sujud saja sujud demi karena Allah, kecuali Allah mengangkat dengan sujud itu satu derajat dan menggugurkan satu dosa.” (Rasul Saw).



Abu Firâs, Rabî’ah bin Ka‘b al-Aslami, adalah seorang pria yang seringkali melayani Rasul saw. Karena seringnya, maka suatu ketika Rasul saw. bermaksud membalas budinya, dengan memberinya sesuatu yang bersifat material dan dalam jangkauan kemampuan beliau. Beliau bersabda: “Hai Abu Firâs, pintalah sesuatu kepadaku.” Mendengar itu, langsung saja Abu Firâs berkata: “Aku meminta kiranya aku menemanimu di surga.” Nabi saw. terperanjat, karena tidak menduga yang dimintanya surga. “Mintalah yang lain!” jawab Nabi mengelak. “Tidak ada yang lain, hanya itu, wahai Rasul.” “Jika demikian, maka bantulah aku (guna memperoleh permintaanmu itu) dengan memperbanyak sujud.” Demikian pesan Rasulullah kepadanya (HR. Muslim).

Hadits semakna diriwayatkan oleh sahabat Nabi yang lain yaitu Tsaubân. Menurutnya Rasul saw. pernah menyampaikan kepadanya bahwa: “Hendaklah engkau memperbanyak sujud, karena tidaklah engkau sujud saja sujud demi karena Allah, kecuali Allah mengangkat dengan sujud itu satu derajat dan menggugurkan satu dosa.”

Yang dimaksud dengan sujud dalam hadits-hadits di atas, bukan sekedar meletakkan ketujuh anggota badan – dahi, kedua telapak tangan, dan kedua lutut serta jari-jari kaki – ke lantai, tetapi ia adalah sikap kejiwaan yang tecermin dalam perasaan seseorang tentang kehebatan dan keagungan Allah, rahmat dan kasih sayang-Nya, yang mengantar kepada kepatuhan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Itu pulalah yang dilukiskan Nabi saw. sebagai saat terdekat seseorang kepada Allah. “Sedekat-dekat seorang hamba kepada Allah, adalah saat ia sujud.”

Perjalanan menuju ke surga sungguh panjang; di sana sini banyak gangguan; ada yang berupa godaan dan rayuan, dan juga ancaman yang menakut-nakutkan. Tetapi bila tekad dibulatkan, dan perjalanan dilanjutkan, maka insya Allah, seseorang akan terbiasa dengan gangguan itu, dan tahu bagaimana menampik dan menghindarinya. Yang dibutuhkan hanyalah niat yang tulus, tekad yang kuat, serta kemauan yang bulat. Dengan niat yang tulus, Anda akan memiliki tekad yang kuat, dengan tekad, Anda akan mampu beramal, seringnya beramal menghasilkan kebiasaan, dan kebiasaan adalah banyak dan berulangnya sesuatu.

Niat yang tulus itulah yang menghasilkan nurani yang suci. Bukan nurani yang digambarkan oleh sementara pakar ilmu jiwa yang katanya memelihara pribadi seseorang dari tekanan-tekanan yang ditimbulkan oleh dunia luar, agar tunduk kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh orang tua, masyarakat dan Tuhan. Bukan juga hati nurani yang timbul dari rasa benci yang mendalam, yang bila dinampakkan oleh “bawah sadar” berbenturan ia dengan selainnya, sehingga dengan terpaksa kebencian itu dikemas dengan “kasih” yang dimanipulasi, sehingga yang bersangkutan berpura-pura cinta dan senang kepada orang lain atau kebajikan.

Bukan ini dan bukan itu, tetapi hati nurani yang sadar dan berdialog dengan fitrah kesucian manusia, dan yang mengingatkannya dari saat ke saat tentang tujuan hidup yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, bukan juga hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Bukan hidup yang hanya sekarang dan di sini, tetapi hidup yang berkelanjutan yang melampaui batas usia seseorang di pentas bumi ini, atau melampaui usia generasinya saja tetapi bahkan generasi manusia seluruhnya. Hati nurani yang menghasilkan pengawasan yang melekat pada diri seseorang yang timbul dari dalam, bukan dari luar pengawasan yang menghalanginya melakukan kedurhakaan sekaligus mendorongnya melakuan kebaikan kendati dia jauh dari pandangan manusia.

Dengan membiasakan sujud kepada Allah dalam pengertian di atas, akan terbentuk hati nurani yang benar-benar memiliki cahaya yang menerangi perjalanan manusia, memberinya bekal untuk membedakan yang haq dari yang batil, memisahkan yang salah dari yang benar, sehingga dengannya ia mengetahui kebajikan dan dosa, kendati orang lain memfatwakan sebaliknya. “Kebajikan adalah yang mantap dalam jiwa (yang suci), sedang dosa adalah keraguan dalam dada dan engkau enggan diketahui orang lain (bila melakukannya).”

Demikian Rasul saw. menyerahkan kepada jiwa – setelah dibentuk menurut pola Islami yakni dengan memperbanyak sujud – menyerahkan kepadanya penilaian dan tolok ukur kebaikan dan keburukan sambil memberinya kemampuan melaksanakan yang baik dan menghindar dari yang buruk, sehingga pada akhirnya seseorang akan memperoleh surga bahkan akan hidup di sana tidak jauh dari Rasul saw., sebagaimana diidamkan oleh Abu Firâs. Semoga kita pun berada di sana bersama beliau.

Sumber :
Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Kolom M. Quraish Shihab
http://www.psq.or.id/artikel.asp?mnid=43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar