Jumat, 21 Agustus 2009

Bulan Suci Bermakna Sosial


oleh Moeslim Abdurrahman

Biasanya, menjelang puasa seseorang baru ingat akan dosa-dosanya. Buktinya, SMS beredar ke mana-mana, dari orang yang kita kenal dekat, tetapi banyak juga sahabat jauh, eh tiba-tiba kirim lewat SMS minta juga dimaafkan. Biarpun sesungguhnya, kalau mau jujur, kita juga tidak ingat lagi dosa yang mana dan salah yang mana yang perlu dihapus.

Hal ini tidak ada salahnya, memang. Toh, Ramadhan adalah bulan berkah dan penuh ampunan. Kapan lagi dosa dengan orang lain, akibat pergaulan, kalau bukan pada bulan suci ini saatnya untuk dibersihkan? Oleh karena itu, hampir menjadi persepsi umum bahwa bulan puasa bagi mereka yang menjalankannya diniati selain menjadi momentum untuk mengumpulkan pahala juga sebagai penyucian diri dan pertobatan dosa, baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan.

Dalam kerangka itulah, jangan heran kalau pada bulan suci ini tiba-tiba ada keinginan menjadi khusyuk, bahkan juga menjadi dermawan. Banyak tadarus, sering mengundang anak yatim berbuka di rumah, atau banyak mengeluarkan sedekah. Semua itu adalah bagian dari memupuk kesalehan diri sendiri agar melalui ritual puasa diharapkan dapat lahir kembali menjadi orang bersih secara spiritual.

Namun, bulan Ramadhan juga menghasilkan tradisi yang sekarang ini boleh dibilang dalam era konsumerisme tidak bisa dipisahkan dengan gaya hidup, yakni kebiasaan baru berbelanja dan berpenampilan untuk puasa dan Lebaran. Sadar bulan suci, mukena, misalnya, sepertinya harus baru. Bahkan, apa salahnya beli yang sedikit mahal, siapa tahu akan banyak undangan menghadiri acara buka dan tarawih bersama di hotel-hotel. Tidak juga merasa enak kalau hanya sajadah baru yang penting dibawa dalam menghadiri acara-acara tarawih itu, pasti masalah pakaian yang ”sesuai” seperti halnya busana muslimah atau seragam koko juga harus dipertimbangkan beli baru agar model dan bahannya sesuai dengan para undangan yang lain. Ini hanyalah contoh saja untuk mengatakan, sekarang ini kita juga telah memiliki—bisa saja disebut ”gaya hidup Ramadhan”—dengan segala identitas dan penampilannya sendiri.

Dalam gaya hidup Ramadhan yang konsumtif dan konsumeristik, pasti hal ini akan membingungkan kita sendiri. Sebab, bagaimana bisa, dengan menjalankan puasa, kita sesungguhnya ingin mendapatkan penghayatan spiritual (di luar soal pahala yang dijanjikan) tentang betapa menderitanya seorang yang lapar yang dialami orang-orang dalam kelaparan yang sesungguhnya sebagai gejala dekadensi moral kemanusiaan. Sementara itu, pada siang hari kita puasa dan pada malam harinya kita mengonsumsi secara rakus, bahkan melebihi konsumsi kita pada bulan-bulan biasa. Bahkan, karena memenuhi ”gaya hidup Ramadhan” tersebut, pengeluaran belanja kita berlipat tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk membiayai berbagai aktivitas yang sebenarnya belum tentu dari segi ritual maupun makna puasanya secara hakiki memang hal itu harus dilaksanakan.

Moralitas kolektif

Puasa sebagai pertobatan individual memang sering membuat kita khusyuk dalam melaksanakannya. Begitu pula kedatangan Ramadhan sebagai bulan suci dapat kita sambut dengan semarak dalam budaya publik yang juga ekspresif. Namun, selalu pertanyaan yang mengganggu, apakah kesucian dan kesalehan yang kita peroleh lewat ibadah puasa mempunyai kaitan dengan tumbuhnya moralitas kolektif untuk mengubah ketimpangan sosial sebagai bentuk kemungkaran yang paling melawan cita-cita ketakwaan, misalnya?

Dalam kesalehan individual, mungkin agak mudah kita meratapi atau menangisi dosa-dosa pribadi. Apakah melalui istigfar atau zikir sendiri bahkan juga menangisi dosa yang pernah kita perbuat selama ini dalam forum berzikir di publik. Namun, bagaimana dengan dosa struktural yang kita perbuat secara kolektif karena lemahnya moral dan komitmen untuk memperjuangkan keadilan sosial selama ini? Berhakkah kita menyatakan saleh dengan puasa yang rakus, sementara di sekeliling kita anak-anak pemulung pada pagi yang buta menyerbu sisa-sisa makanan (siapa tahu ada yang masih segar) dari sisa buka dan sahur kita yang mungkin tidak sanggup kita makan lagi?

Saya takut, jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya, tanpa mengalirkan kesadaran yang terus-menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasar dari ibadah itu sendiri bahwa ”kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.

Kepekaan spiritual

Ramadhan tahun ini, kita melaksanakan puasa dalam suasana ekonomi yang belum menggembirakan. Jumlah orang miskin dan yang lapar masih besar. Mereka belum memiliki kemampuan hidup yang layak. Akar masalahnya adalah karena mereka tak mempunyai pekerjaan dengan pendapatan memadai. Negara belum berhasil memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara. Paling kurang hak memperoleh pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok.

Sementara itu, proses politik kita terpisah sama sekali dengan realitas penderitaan mereka. Dari mana perubahan nasib mereka kalau mereka yang tersingkir dan menderita ini sebenarnya tidak ikut memiliki proses politik? Tidak mungkin, misalnya, mereka itu ikut memperjuangkan kebijaksanaan publik atau redistribusi sosial yang adil buat mereka.

Politik kita sekarang ini rasanya telah dimiliki dan dikendalikan oleh pemilik kapital, sedangkan partai yang diketahui rakyat hampir semua kalah pengaruhnya dengan lembaga-lembaga konsultan politik dan iklan politik pencitraan hebatnya seorang kandidat. Dunia politik kita semakin tak memperbincangkan, apalagi memperjuangkan nasib mereka yang lapar atau berpuasa sosial.

Saya tidak mengatakan bahwa dengan menjalankan ibadah puasa akan serta-merta kita dapat menyelesaikan ketimpangan sosial. Sebab, berpuasa bukanlah merupakan kegiatan politik untuk itu. Namun, jika mereka yang terpinggirkan oleh proses politik itu juga menjadi obyek sekadar kita bisa sedekahi, alangkah naif dan ibanya mereka di depan bangunan impian kesalehan individual yang kita cari selama ini.

Sekali lagi, agama dengan ritualnya pasti bukan mekanisme politik. Hanya saja, bagaimana kita bisa mengatakan religius tanpa kepekaan spiritual untuk mengonsolidasikan orang-orang yang menderita dan tercecer? Adalah sesuatu yang tidak bisa dimungkiri bahwa jarak sosial seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kemampuannya dalam melaksanakan ritual dan mendekati rumah-rumah kesalehan.

Kita bisa mengatakan bahwa di depan Tuhan hanyalah ketakwaan seseorang yang menjadi ukuran. Namun, makna puasa tidak mungkin cukup kalau sekadar diharapkan menjadi kesempatan mengejar pahala dan pertobatan diri sendiri. Di luar perbincangan soal fikih puasa, kita harus berani meneguhkan pesan moral publiknya yang korektif terhadap kesadaran palsu bahwa kita seolah-olah bisa menuju ke surga sendiri-sendiri, sambil melupakan tanggung jawab bersama menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat.

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:12 WIB

Moeslim Abdurrahman Ketua Al Maun Institute, Jakarta

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/0312551/bulan.suci.bermakna.sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar