Senin, 10 Agustus 2009

Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah ?

Published April 27, 2007 Agama , Buku 36 Comments

(Resensi Buku)
Oleh: Irfan Permana

Judul: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati, Halaman: 303
Cetakan: I, Maret 2007


Sebagaimana persamaan, perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan manusia. Sekecil apapun sebuah komunitas tempat kita bernaung, niscaya akan selalu ditemukan adanya perbedaan. Namun, sebagai manusia berakal, kita dituntut arif dalam menyikapinya. Sikap positif menghadapi perbedaan ini justru akan membawa hasil yang positif pula. Dan sikap positif yang demikian hanya dimiliki oleh seseorang yang luas wawasannya. Semakin luas wawasan seseorang, akan semakin tinggi pula toleransinya, dengan kata lain ia akan semakin arif dalam menyikapi segala perbedaan. Sebaliknya, sempitnya pengetahuan menjadikan seseorang terjebak dalam fanatisme buta, sehingga kerap menggiring perbedaan menuju perselisihan. Inilah sesungguhnya yang terjadi pada orang-orang yang cepat sekali termakan hasutan –karena piciknya pandangan– ketika dihadapkan pada perbedaan madzhab dalam kehidupan keberagamaannya, termasuk di negeri kita sendiri.

Dalam konteks ikhtilaf Sunnah-Syi’ah –yang belakangan marak kita dengar terkait isu pertikaian antara keduanya akibat hembusan fitnah para musuh Islam–, tak diragukan, Prof. DR. M. Quraish Shihab adalah seorang penulis yang paham betul bagaimana mempertemukan titik-titik perbedaan antara keduanya. Dengan membawa semangat persatuan serta at-taqrib baina al-madzahib (pendekatan antar madzhab), penulis sepertinya mengingatkan bahwa pada hakikatnya semua umat Islam mendambakan mengikuti Nabi Muhammad Saw. Namun, sulitnya memperoleh petunjuk yang pasti –menyangkut masalah yang diperselisihkan itu– acapkali menimbulkan interpretasi yang berbeda terhadap sebuah sumber hukum. Sebagaimana yang selalu ditanamkan guru-gurunya di Universitas al-Azhar Mesir (tempat penulis mengenyam pendidikan), penulis menyadari bahwa di antara madzhab yang berbeda pendapat itu, tidak ada satupun yang berhak menjadi juru bicara resmi yang memonopoli kebenaran atas nama Islam seraya memvonis yang lain bathil dan sesat, padahal masih berada dalam koridor Islam.

Diantara Sunnah-Syiah –dalam hal ini Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah sebagai kelompok mayoritas–, sesungguhnya tidak banyak ditemukan perbedaan yang prinsipil kecuali menyangkut masalah imamah. Sementara kelompok Ahlussunnah menganggap bahwa masalah kepemimpinan diserahkan kepada umat melalui apa yang dinamakan syura (demokrasi), kelompok Syi’ah meyakini bahwa kepemimpinan adalah jabatan ilahiah. Allah telah memilih para imam sebagaimana Dia memilih Nabi. Allah memerintahkan kepada Nabi Saw untuk menunjuk dengan tegas Ali bin Abi Thalib sebagai washi (yang diwasiati), dilanjutkan oleh keturunannya secara turun temurun hingga yang terakhir (imam ke-12), yaitu al-Mahdi, yang diyakini juga kemunculannya kelak oleh kaum Sunni.

Para imam penerus risalah ini merupakan manusia-manusia pilihan yang kekuasaannya bersumber dari Allah Swt, melalui apa yang disampaikan Nabi Saw. Selain memiliki kekuasaan politik, mereka juga berperan sebagai pembimbing spiritual. Hal ini yang menyebabkan tidak dikenalnya pemisahan antara politik dan keagamaan di dunia Syi’ah. Politik adalah agama, agama adalah politik. Maka ketika sebagian orang menyebut bahwa Syi’ah lahir akibat persoalan politik, kaum Syi’ah menampiknya.

Bagi kaum Syi’ah, para imam memiliki kedudukan yang mulia, mereka adalah para pribadi yang memiliki kesucian jiwa. Mereka bersifat maksum (terpelihara dari dosa), seperti terpeliharanya Nabi dari dosa. Bedanya, para imam ini bukanlah Nabi yang mendapatkan wahyu, melainkan penerus risalah yang diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah SWT. Karena risalah harus disampaikan secara utuh dan sempurna, maka para penyampainya tidak boleh mempunyai kelemahan (seperti keliru atau lupa). Karena itulah mereka dijaga dari dosa.

Jika konsep ‘ishmah (keterpeliharaan dari dosa) untuk Nabi diterima oleh sebagian besar kaum Sunni, maka konsep ‘ishmah bagi para imam ini ditolak, karena dipandang terlalu berlebihan memberikan atribut demikian. Namun bagaimanapun, menurut Syi’ah, kehadiran para imam ini adalah lutfh (karunia) Allah kepada manusia yang tidak berkesempatan menerima risalah langsung dari Nabi Saw.

Sebagaimana Ahlussunnah yang meyakini konsep kepemimpinannya, kaum Syi’ah pun meyakini bahwa pandangannya tentang konsep kepemimpinan didasarkan pada argumen –baik nash maupun akal– yang kuat. Sehingga sulit sekali untuk menggandengkan kedua pandangan yang berseberangan ini. Atau jika ingin dibenturkan, satu sama lain akan sulit saling menggoyahkan. Terlebih, imamah ini termasuk masalah yang prinsipil bagi kaum Syi’ah. Alih-alih dicapai kesepakatan, malah perselisihan yang muncul. Untuk itu, masing-masing pihak dituntut untuk saling memahami dan menghargai pendapat yang lainnya. Meminjam istilah Cak Nun, jangan paksa kambing meringkik dan jangan paksa kuda mengembik, biarlah kambing menjadi kambing dan kuda menjadi kuda. Biarlah Syi’ah tetap Syi’ah dan Sunni tetap Sunni.

Masalah lainnya yang disinggung dalam buku ini adalah, betapa banyak orang (non-Syi’ah) yang mensimplifikasi konsep-konsep ajaran Syi’ah, dengan mengangkat isu-isu yang sejak ratusan tahun lalu muncul. Misalnya, tentang Syi’ah yang mempunyai Qur’an yang berbeda, Syi’ah adalah agama yang dibentuk oleh orang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’, Syi’ah menuhankan Ali, serta atribut sesat lainnya. Sebagaimana di tubuh Ahlussunnah, di Syi’ah pun dalam sejarah perkembangannya muncul kelompok-kelompok ghulat (ekstrim) yang keluar jalur, dimana para imam Syi’ah pun berlepas tangan bahkan mengutuk mereka. Kelompok Ahlussunnah dan Syi’ah masing-masing terbagi menjadi beberapa kelompok berikut cabang-cabangnya. Ketika ada beberapa kelompok di Ahlussunnah yang keluar jalur, tidak bisa dikatakan bahwa Ahlussunnah (seluruhnya) sesat. Begitu juga dengan Syi’ah.

Dalam buku ini, selebihnya dibahas perbedaan-perbedaan yang bersifat furu’ (rincian ajaran), sebagaimana ditemukan juga di antara keempat madzhab besar Ahlussunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Selain itu, diulas juga secara rinci beberapa poin yang selama ini menjadi sumber tuduhan terhadap Syi’ah, diantaranya: pelaknatan kaum Syi’ah terhadap sahabat Nabi Saw, raj’ah, bada’, taqiyah sampai persoalan seputar ibadah ritual.

Di dalam buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan yang paham tentang Syi’ah ini, dipaparkan secara umum bahwa persamaan antara Sunnah-Syi’ah lebih banyak ketimbang perbedaannya. Dan tentu saja keduanya masih bisa digandengkan dalam koridor persatuan. Dan inilah nampaknya tujuan penulisan buku ini. Agar kita umat muslim tidak dengan mudah terprovokasi oleh upaya-upaya keji para musuh Islam yang tidak suka melihat Islam bersatu. Stigma yang selama ini melekat pada Syi’ah tak lain karena kurangnya informasi yang diperoleh. Atau kalaupun ada, hanya bersifat sepihak saja.

Dalam memaparkan sebuah persoalan, penulis selalu mengutip pendapat ulama dari kedua sumber, yang dinukil dari kitab-kitab terpercaya dari keduanya. Sesekali penulis mengutarakan pandangan pribadinya, dimana ketika ada yang tidak disepakati, penulis mengemukakannya dengan bahasa yang santun (seperti yang kita baca di buku-buku Quraish Shihab sebelumnya).

Walhasil, mungkinkah Sunnah-Syiah bergandengan tangan? Tentu saja mungkin, bahkan harus. Terlebih Al-Qur’an sendiri mewajibkan setiap orang yang beragama dan berakal untuk menghindari perselisihan, seperti firman-Nya dalam QS. 3:103. Tentunya kita berharap, apapun madzhab yang kita anut, agar terhimpun di bawah panji tauhid yang dikibarkan junjungan kita, Nabi Muhammad Saw.

Ada hal menarik di bagian penutup buku ini yang ingin saya kutip. Quraish Shihab menulis:

“Ada prinsip, bagi penulis, dalam konteks persatuan umat melalui pendekatan antar mazhab, yaitu mencintai dan mengikuti Rasul Saw dan keluarga beliau, Ahlulbait, yang dilukiskan oleh Nabi Saw sebagai tidak akan berpisah dengan al-Qur’an hingga akhir zaman, sehingga tidak akan tersesat siapapun yang berpegang teguh dengan keduanya. Dalam konteks cinta dan mengikuti itulah penulis menjadikan Imam Ali ra, setelah Rasul Saw, sebagai sosok yang harus dicintai dan diteladani.”

Wallahu a’lam

http://irfanpermana.wordpress.com/2007/04/27/sunnah-syi%E2%80%99ah-bergandengan-tangan-mungkinkah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar