Senin, 25 Januari 2010

Bangkitlah Ketika Difitnah



Seorang raja yang baik telah membelinya dari sebuah kafilah dagang. Keadaannya memang begitu memprihatinkan. Sebelumnya dia ditemukan oleh kafilah dagang itu di sebuah sumur tua. Kesepuluh saudaranya telah melakukan konspirasi mencelakakan dirinya, dengan melemparkannya ke sumur.

Tapi Allah melindungi dan bahkan memberikan skenario jalan hidup yang kelak menjadi ibrah bagi umat-umat sesudahnya. Sang raja mengangkatnya sebagai anak.
Tahun demi tahun berlalu, kini pemuda itu beranjak dewasa. Tumbuh dengan akhlak yang santun. Serta memiliki ketinggian ilmu di atas rata-rata orang sekelilingnya.
Namun ciri yang paling menonjol, yang diperbincangkan dari zaman ke zaman, adalah ketampanan paras yang dikaruniakan Allah kepadanya. Ketampanannya serupa mutiara yang memendarkan cahaya. Sampai-sampai saat pertama kali dia hadir di muka umum, para wanita undangan yang dipegangi pisau dapur, menyaksikannya penuh takjub dengan mata tak berkedip. Lisan mereka mendesah berseru, “hasyaAllah.. hasyaAllah.. ini bukan manusia tapi malaikat”. Tak sengaja pula mereka iris tangannya sendiri. Saking kagetnya.

Itulah Yusuf Bin Ya’kub, Allah merahmati beliau dengan segala kelebihannya. Namun rupanya, ada seorang wanita yang tak sanggup menahan diri, tergoda Yusuf yang rupawan. Maka dalam keadaan jiwa yang bergelora, dalam hati yang buta, dengan keanggunan diri yang meyakinkan, dilakukanlah skenario itu oleh sang Ratu.
Pintu tiba-tiba di tutup. Hanya dia dan Yusuf, berdua tanpa ada siapa-siapa. Dia berkehendak, Yusuf menolak. Dia memaksa, Yusuf ketakutan seraya berucap “aku berlindung kepada Allah”. Dia mendekat, Yusufpun berlari terbirit. Keduanya berkejaran meraih pintu.

Ketika pintu di buka, keduanya kaget, sang Raja berdiri di depan pintu.
Maka sang Ratu dengan licik melakukan kriminalisasi terhadap Yusuf. Sang Imratul Azis, istrinya raja Azis, menuduh Yusuf hendak melakukan tindakan tak pantas kepadanya. Tapi kain baju bagian belakang Yusuf yang sobek, menjadi saksi kesucian Yusuf hari itu. Dan dia bersih dari fitnah kotor tersebut.
Begitulah,
Fitnah sesungguhnya telah mengkampanyekan kekejamannya sejak dulu. Ia bagai mata senapan tersembunyi yang siap membidik siapa saja. Adalah karena manusia selalu menginginkan kemenangan dan menghindari ketidaknyamanan. Yang demi kemenangan itu, mereka kadang menelikung dan menghalalkan proses-proses yang tak dibenarkan. Berbohong demi keberuntungan, menipu demi keselamatan, dan mencurangi karena iri dan dengki. Tak peduli apakah akan ada yang dirugikan atau tidak.

Dalam persaingan hidup, akan ada gesekan-gesekan fitnah yang menyakitkan. Setiap saat, ada potensi manusia-manusia bersih nan berhasil dibunuh dengan kejam harga dirinya. Saking dahsyatnya, kekejaman fitnah itu Allah mengingatkan di dalam Al-Qur’an dalam satu frasa khusus, “..dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan (QS. Al-Baqarah : 191)

Beruntunglah nabi Yusuf. Dihadapan raja yang bijak, sebuah barang bukti benar-benar menjadi hukum yang dijunjung tinggi. Sekedar baju yang sobek dibelakang, fitnah itu bisa hilang.

Hari ini mungkin tak sesimpel itu. Baju yang sobek dibelakang, tak semudah itu menjadi bukti kuat. Andai Yusuf disidangkan hari ini, maka bukti itu akan begitu mudah untuk dimentahkan. Untuk urusan meracik logika pembenar dengan bualan-bualan, pengacara-pengacara zaman nabi Yusuf harus mengakui bahwa mereka tak selihai pengacara sekarang. Apalagi bila ditunggangi oleh kepentingan kekuasaan, maka keadilanpun seolah hanya khayalan.

Mungkin saat ini dunia memiliki intelektualitas yang semakin pintar. Hipotesa-hipotesa, teori, sistem dan teknologi hadir setiap saat meramaikan setiap sektor kehidupan. Gelar-gelar baru dibelakang namapun hadir sebagai apresiasi terhadap karya-karya intelektualitas. Setiap kedatangan generasi baru, maka generasi sebelumnya berusaha menuntunnya menjadi manusia yang harus lebih intelek dari mereka.
Tapi pertanyaan yang patut direnungi, adakah gemerlap intelektualitas itu dibarengi dengan kecerdasan nurani manusianya? Sebuah kecerdasan untuk menangkap nilai-nilai kemanusiaan (sebagai hamba Allah) dan kemudian memancarkannya melalui cahaya akhlak yang dirasakan oleh orang-orang sekitarnya.

Manusia semakin pintar, tapi barangkali belum pintar secara nurani. Baru saja kita menyaksikan panggung sandiwara yang aktornya bukan orang-orang biasa macam kita. Sebuah sirkus peradilan, yang membuat kita para penonton justru enggan bertepuk tangan bahkan melemparkan apa saja yang bisa dilempar. Sebab mereka memainkan adegan tak lucu, bahaya, bahkan sangat memalukan.
Saudaraku, kita tak akan berdebat kusir atas kasus yang menggoyang keadilan negeri Indonesi tercinta itu. Dari musibah peradilan Indonesia itu kita bisa petik pelajarannya saja. Bahwa pasti di situ ada yang bermain fitnah. Untuk kita renungi sendiri saja, bagaimana seandainya kalau kita yang menjadi korban fitnah itu?
Karena kita sendiri selama hidup bukanlah orang yang lepas dari fitnah. Fitnah mungkin hadir dari tetangga yang iri, dari rekan kerja yang dengki, dari teman, dari orang tak dikenal atau bahkan muncul dari anggota keluarga sendiri.

Ketidakberlepasan kita dari tuduhan maupun “rasan-rasan” berbau fitnah harusnya membuat kita menjadikan itu moment kebergantungan pada Allah Al-haq, Yang Maha Pemilik Kebenaran. Ketika semua telunjuk menuding ke muka kita, maka yang bisa kita lakukan hanyalah lari pada Allah.
Bagi orang-orang beriman, fitnah-fitnah itu bagaikan pegas pemicu yang justru membantu mereka melakukan lompatan tinggi. Semakin besar ujian fitnah, semakin kuat pemicu itu dan semakin tinggilah kita melompat. Semakin tidak ada yang bisa diharapkan dari makhluk, maka kita semakin merasakan kebergantungan pada sang Khalik.
Dalam hal ini kecewa kadang akan bernilai positif. Kekecewaan kepada perlakuan manusia, membuat kita sadar dan selanjutnya menghentikan perilaku lalai karena terlalu bergantung pada mereka. Bisa jadi selama ini, kita berlebihan menggantungkan hidup pada manusia. Kepada bos, kepada saudara atau orang-orang yang kaya, kepada para pemangku jabatan, seolah-olah mereka sudah seperti Maha pemberi jalan keluar untuk masalah hidup kita. Kini, ketika kita tersadar bahwa dari lisan-lisan manusialah kita berpotensi mengalami kehancuran, kemana lagi kita bersandar dan memohon kebenaran?

Sejenak mari tarik nafas dalam-dalam saudaraku, lalu ucapkan, “cukup bagiku Allah..sebaik-baik pelindung, sebaik-baik penolong.”, Percayalah, kemuliaan diri ada pada mereka yang berhati dan berakhlak mulia. kita tidak akan pernah terhina oleh ucapan atau perilaku orang lain.
Wallahu ‘Alam Bisshowab


http://nurulhayat.org/2010/01/19/bangkitlah-ketika-difitnah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar