Madinah sedang diguyur hujan. Penduduk Madinah sangat paham, sebagaimana yang diajarkan baginda Nabi, bahwa dalam hujan ada rahmat Alloh. Maka mereka meluap-luapkan rasa syukurnya. Kepada sesamanya mereka saling berkata, “ini rahmat Alloh…ini rahmat Alloh”.(Ibnu Abbas.)
Tapi ternyata, Madinah tak semuanya berpenghuni manusia kokoh iman dan memiliki kebaikan dzan (prasangka). Diantara mereka justru ada yang bermuram durja. Mengeluhkan turunnya hujan. Sebagian mereka ada yang tampak pusing mereka-reka. Menghubung-hubungkan turunnya hujan dengan ramalan bintang-bintang.
Maka, atas kelakuan sebagian manusia itu, turunlah Ayat 82 Surat Al-Waqi’ah. Yang artinya, “kamu mengganti rezki (yang Alloh berikan) dengan mendustakan Alloh.”
Kalau kita peka, kita pasti merasakan hentakan ayat tersebut. Ya, tak perlu saya tambahi tanda “!!” di akhir ayat tersebut untuk membuat kita semua merasakan betapa ayat tersebut penuh penekanan, tegas, dan keras.
Ketidakbersyukuran akan nikmat. Sudah baik-baik diberikan hujan malah dijadikan bahan kekufuran. Malah di keluhkan. Maka Alloh mempredikatinya sebagai pendusta. Sebutan “tak tahu diri” menurut saya masih terlalu halus untuk menyebuti orang-orang model ini.
Saudaraku..
Kisah tersebut menjadi sangat kontekstual bila dihadapkan dengan suasana hari ini. Dimana bulan Desember dan awal-awal tahun, bagi wilayah tropis seperti Indonesia sedang hajatan musim hujan. Nah, dalam musim ini, bila kita tak awas, maka perilaku sebagian masyarakat Madinah itu bisa jadi akan terulang lagi, oleh kita.
Coba tanyakan pada diri kita. Ketika turun hujan, apa yang muncul di hati kita ?. Barangkali kita akan menjawab “hati saya senang, bahagia, gembira, bersyukur”. Kalau memang begitu, Alhamdulillah kita telah melakukan apa yang Rasulullah contohkan. Tapi pertanyaan berikutnya, kapan itu? Kalau saya boleh menebak, itu terjadi ketika di awal-awal turun hujan. Waktu itu kita semua riang. Maklum, hampir setahun kita boleh dikatakan kekeringan.
Tapi sekali lagi itu di awal-awal. Semakin lama, kebahagiaan saat turunnya hujan itu makin memudar. Hujan bukan lagi dinanti-nantikan. Hujan tak lagi dibutuhkan. Bahkan akhirnya hujan malah menjadi beban.
Seorang karyawan kantor mengeluh petang itu tak bisa pulang karena di luar hujan deras. “Hujan lagi..hujan lagi…” katanya bersungut. Di jalan, seorang pria sedang emosi entah kepada siapa karena mobilnya mogok, knalpotnya kemasukan air, “baah!!” desahnya, tak terasa ia mengutuki hujan. Yang lain mengeluh melulu karena musim hujan begini harus sering-sering cuci motor. Kali lain seorang penjual warung makanan menggerutu, omzetnya menurun karena setiap malam mesti turun hujan. Dan itu membuat warungnya sepi pengunjung. “Yaah…karena hujan ini mas, warung sepi” keluhnya kepada konsumennya.
Mereka mengeluarkan kata-kata atau menunjukkan mimik kekesalan setiap hujan turun. Mereka lupa, sampai-sampai menunjukkan ketidaksopanan pada Alloh, dengan tak mempedulikan bahwa Alloh memberikan hujan dalam rangka merahmati, dalam keadaan memberikan karunia terbaik kepada hamba-hambaNya di bumi. Maka ayat diatas sangat tepat untuk kembali dikemukakan, “kamu mengganti rezki (yang Alloh berikan) dengan mendustakan Alloh !!”
Kadang kita terlalu sempit memaknai turunnya hujan. Dengan egois hujan divonis sebagai pengganggu kenyamanan kita. Padahal kalau dibalik, bagaimana seandainya tak ada hujan sama sekali, cukup tiga sampai lima tahun saja? Kenyamanan seperti tidak perlu becek-becek, tak perlu sering cuci motor, tak ada mobil mogok, atau banyaknya pengunjung ke warung kita mungkin akan kita alami. Tapi diluar kenyamanan-kenyamanan kecil itu, sanggupkah kita menghadapi resiko lebih besar yang mengancam kehidupan makhluk dibumi ini. Bencana kekeringan karena perut bumi yang tak “berisi” air.
Berkacalah kita pada saudara kita di beberapa wilayah Afrika. Bagaimana potret kekeringan yang mengenaskan hingga tak sanggup kita bayangkan, seorang anak yang tulang-tulangnya bertonjolan sampai meminum air kencing sapi karena tak ada air. Karena mata air tak lagi mengalir. Karena sekian lama bumi tak “minum” air hujan.
Maka akhlak kita, bersyukurlah setiap hujan turun. Tak melihatnya selain sebagai bagian dari sumber kehidupan. Hujan adalah Rahmat. Ingat, kalau tentang pengkufuran manusia terhadap hujan itu dibahas dan diberikan peringatannya oleh Alloh di dalam Al-Qur’an, berarti urusan tersebut sangatlah penting. Biarpun pendustaan yang dilakukan hanya dilakukan dengan aktivitas sepele, sekedar bermuka masam misalnya.
Kenyataan yang lain, akan kita dapati di Al-Qur’an begitu banyak pengingat agar manusia mengakui kebesaran dan mau bersyukur dengan menggunakan “hujan” sebagai objek penggambaran nikmat dan rahmat. Salah satunya berikut ini, “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan.. (QS. Al-A’raff : 57)
SubhanAlloh, dan banyak lagi ayat-ayat yang lain yang berbicara tentang Hujan sebagai rahmat. Saya mendapatinya lebih dari 10 ayat.
HUJAN PEMBAWA BENCANA?
Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana dengan hujan yang menyebabkan longsor, banjir dan meluapnya sungai-sungai. Untuk pertanyaan tersebut Alloh menjawabnya dalam QS. Ar-Ruum:41 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan KARENA PERBUATAN TANGAN MANUSIA, supaya Alloh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Jadi bukan faktor hujannya, melainkan buminya yang rusak dan tak sanggup “berdamai” dengan hujan. Rusak kenapa? Karena tingkah polah manusia. Potongan ayat “Disebabkan karena tangan manusia” itu ada dua kriteria. Pertama perbuatan langsung yang mengganggu keseimbangan alam. Misal buang sampah sembarangan, penebangan hutan, dan lain sebagainya.
Yang kedua, ini yang lebih penting, “perbuatan tangan” itu adalah kemaksiatan, kedzaliman dan ketidaktundukan kepada Alloh yang dilakukan oleh manusia. Alloh berfirman “Maka tatkala Alloh menyelamat-kan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri..” (QS. Yunus : 23)
Hujan yang diturunkan dalam rangka beginilah yang berpotensi menjadi bencana. Sebagaimana yang pernah ditimpakan pada kaum ‘Aad (kaumnya Nabi Hud). Alloh merekam potret kengerian Azab dan wajah-wajah pedzalim yang tempias nan kecele itu di surat Al-Ahqaaf : 21. “Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih,”
Ya Alloh, rahmati kami bersama hujan yang membasahi bumi ini serta jauhkan kami dari keburukan bencana yang dibawanya..
19 January 2010
http://nurulhayat.org/2010/01/19/musim-hujan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar