Minggu, 31 Januari 2010

HATI YANG KERAS


Berita-berita tentang kekerasan seringkali banyak kita dengar dan saksikan, baik melalui media massa, maupun lewat berbagai cerita yang kita dengar, bahkan mungkin kejadian tragis yang langsung kita saksikan. Kadang, kejadiannya berlangsung begitu brutal dan sulit dipercaya. Sebut saja, misalnya, kasus tewasnya seorang bocah bernama Ardiansyah, korban mutilasi baru-baru ini, setelah sebelumnya menerima pelecehan seksual oleh “bapak angkatnya” sendiri, Baekuni yang biasa disebut “Babe” oleh “anak-anak angkatnya”. Bahkan menurut pengakuan Babe sendiri, dia telah membunuh 7 orang anak. Kita juga belum lupa dengan heboh kasus pembunuhan 11 orang korban, oleh seorang pemuda perlente dan “imut-imut” bernama Ferry Idham Henyansah, yang lebih dikenal dengan nama “Ryan” sekitar 2 tahun lalu.

Para pelaku tindak kekerasan sepertinya tidak punya hati sama sekali saat menjalankan aksinya. Tidak ada belas kasihan, apalagi kasih sayang kepada sesama manusia. Bahkan kadang, ada orang yang tega melakukan perbuatan biadab kepada orang yang paling dekat dengannya, sekalipun. Simak saja, berbagai kasus incest yang banyak terungkap di media belakangan ini. Atau tindak kekerasan kepada anak yang dilakukan oleh orang tua, atau bahkan sebaliknya, kekerasan seorang anak terhadap orang tua. Na’udzubillah mindzalik…

Keras atau lembutnya hati manusia juga tidak ada kaitannya sama sekali dengan bentuk tubuh atau tampang manusia yang memilikinya. Boleh jadi, tampangnya seperti preman pasar yang menyeramkan, namun didalamnya mempunyai hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, boleh jadi ada pula manusia yang mempunyai tampang kalem, klimis atau bahkan sedikit kemayu, namun mempunyai hati yang keras, kejam dan bengis. Contohnya tidak jauh-jauh, seperti terjadi pada manusia yang bernama Ryan tadi yang bertampang klimis, kalem dan “imut-imut” itu. Ada pepatah mengatakan: “Dalamnya laut dapat diduga, hati orang siapa yang tahu” atau pepatah asing yang mengatakan: “Don’t judge the book from its cover”. Maka, kata kiasan “laksana srigala berbulu domba” mungkin pas pula ditujukan untuk mereka.

Hati manusia memang ‘ajaib’. Kadang ia begitu lembut dan dipenuhi kasih sayang. Kasih sayang seorang ibu adalah contoh klasik yang tidak terbantahkan tentang kasih sayang. Contoh lain adalah, para relawan yang terjun di daerah konflik atau daerah yang terkena bencana. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, harta, bahkan jiwa sekalipun untuk menolong sesama. Orang yang seringkali bahkan tidak mereka kenal sama sekali.
Kalau hati manusia bisa keras membatu, bisa pula lembut, maka sudah sepantasnya kita semua waspada. jangan sampai tanpa kita sadari, hati kita menjadi keras sedikit demi sedikit.

Apa yang menyebabkan hati manusia menjadi keras? Tentu banyak sebabnya. Mungkin pola asuh sejak kanak-kanak yang jauh dari kasih sayang orang tua. Ketika seorang anak dibesarkan dengan kekerasan, dia hanya akan memahami bahasa kekerasan. Bahasa itu pulalah yang akan digunakannya ketika berinteraksi dengan orang lain ketika beranjak dewasa. Hal ini, konon, yang menjadi latar belakang prilaku menyimpang dari sang “Babe”.

Mungkin juga karena pengaruh lingkungan di luar dirinya, seperti dampak dari tayangan televisi atau pemberitaan yang sarat dengan kekerasan. Atau kebrutalan yang kerap dipertontonkan oleh sebagian orang di depan umum. Kebiasaan melihat tindak kekerasan, menurut para ahli dapat membuat sensitifitas kita akan kekerasan menjadi lemah. Kita menjadi beranggapan, bahwa kekerasan adalah suatu hal yang biasa. Padahal, kekerasan bukanlah sesuatu yang biasa, apalagi boleh dijadikan kebiasaan. Simak saja, betapa tegas Islam memberikan sanksi kepada orang yang melakukan tindak kekerasan kepada orang lain. Mata di balas dengan mata, gigi dengan gigi, bahkan jiwa dengan jiwa.

Mungkin juga, karena hubungan yang kian jauh dengan Allah. Di tengah pergulatan hidup yang kian keras, tidak semua orang mau mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai alasan. Padahal, kedekatan seseorang dengan Allah sangat berperan dalam melembutkan hati seseorang. Kita mungkin sering merasakan, betapa kita menjadi tidak sabaran menghadapi orang lain ketika kualitas atau porsi ibadah kita menurun.
Kekerasan hati merupakan sumber kesengsaraan hidup. Dari Anas RA Rasulullah SAW bersabda, ”Ada empat sebab kesengsaraan, yaitu kebekuan mata, kekerasan hati, kepanjangan angan-angan, dan ketamakan terhadap dunia.” (HR al-Bazzar).

Kekerasan hati itu sangat berbahaya karena tidak hanya membutakan akal pikiran dan memperturutkan hawa nafsu, tetapi juga mendangkalkan akidah, bahkan menyesatkan diri dari petunjuk Allah. ”Kecelakaan besarlah orang-orang yang hatinya membatu dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Zumar [39]: 22).
Terapi yang efektif untuk penyakit kekerasan hati, menurut Mutawalli Al-Sya’rawi, adalah banyak beristighfar kepada Allah, dan membiasakan diri membaca Alquran. Selain itu juga memperbanyak amalan sunah di samping mematuhi amalan wajib serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan, kemunkaran, dan hal-hal yang berbau syubhat.
Jika perut telah diisi dengan halal, akal digunakan untuk berpikir positif, dan indera didayagunakan untuk kebaikan, niscaya kekerasan hati tidak terjadi. Karena itu, setelah memperoleh hidayah, kita perlu menjaga hati agar tidak ternodai oleh syirik dan kemaksiatan, sehingga hati tetap teguh dan khusyuk dalam ketaatan.
Ibadah yang dirancang Allah untuk kita, tidak hanya berfungsi untuk meraih pahala dan ampunan dari Allah., tetapi sekaligus mendidik hati dan jiwa agar selalu prima dan penuh kasih sayang kepada orang lain.

Allah dan Rasulullah sangat mencintai orang-orang yang hatinya penuh kasih sayang kepada orang lain. Mudah-mudahan Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang paling dicintai-Nya, yaitu orang-orang yang paling baik akhlaknya dan paling dicintai di lingkungan pergaulannya. Wallahua’lam.


Jaticempaka, 15 Januari 2009 (diolah dari berbagai sumber)
Sudi al-Fakir.
http://hsudiana.wordpress.com/2010/01/21/hati-yang-keras/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar