“A good leader is a reader, seorang
pemimpin yang baik adalah seorang pembaca,” demikian kata-kata bijak yang banyak disetir
dalam kaitan kepemimpinan. Kualitas seorang pemimpin banyak ditentukan oleh
tingkat intelektualitas dirinya. Sementara indikator intelektualitas seseorang
tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan dan tingkat pendidikan tetapi juga
dilihat dari kebiasaannya.
Nah, salah satu kebiasaan yang
mencerminkan intelektualitas tersebut adalah kebiasaan dalam membaca. Mengapa
seorang pemimpin disebut adalah seorang pembaca? Tampaknya hal ini bukan hanya
untuk indikator intelektualitas tetapi juga berkaitan dengan karakter dan
kepribadian.
Seorang pemimpin yang pembaca sudah
jelas menunjukkan sikap kesediaan terus belajar, terus mau menimba ilmu dan
mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Seorang pembacalah yang selalu siap
bertumbuh dan berkembang.
Lebih dari itu, pemimpin yang pembaca
adalah orang yang terus selalu mau membuka diri untuk terus berubah,
memperpaiki diri atau prilakunya menuju kearah yang lebih baik. Seterusnya, dia
juga seorang yang rendah hati, siap mendengar suara yang ada di luar dirinya.
Seterusnya, sang pemimpin juga selalu siap untuk mawas diri atau instrospeksi
dan lebih lanjut siap mau dikoreksi.
Kita sudah tahu, sifat naluriah
manusia secara umum cenderung tidak mau mengaku atau disalahkan oleh orang lain
secara langsung meski boleh jadi dia berprilaku salah. Terlebih terhadap
orang-orang yang memiliki bobot tertentu, seperti halnya pemimpin. Serendah
hati apa pun, seseorang biasanya cenderung mengabaikan jika dia dinyatakan
bersalah secara langsung, apalagi terhadap seorang bersosok pemimpin.
Arogansi, disadari atau tidak, selalu
menyertai setiap diri seseorang, termasuk pemimpin. Hal itulah mengapa banyak
pemimpin seolah seperti tidak mau mendengar, tidak mau dipersalahkan, apalagi
kalau dipojokkan. Hal ini, menurut banyak orang bijak, manusia pada dasarnya
tidak suka dikritik. Boleh jadi dalam ucapannya dia menyatakan suka, siap atau
terbuka terhadap kritikan tetapi nalurinya sesungguhnya tidak senang dikritik.
Hanya lewat bukulah sebenarnya kritik
dapat diterima oleh setiap orang, termasuk sang pemimpin. Lewat buku-buku yang
punya bobot pengembangan diri, seseorang dapat menilai dirinya dan sekaligus
dia melakukan otokritik. Bukulah yang mampu atau efektif mengkritik kita tanpa
kita merasa tersinggung oleh kritik yang diberikan.
Terlalu banyak orang menyebut tentang
manfaat membaca buku. Tidak ada yang membantah bahwa kegemaran membaca buku itu
sangat baik buat kita. Malahan ada yang menyebut bahwa membaca adalah ibarat
kita menyantap makanan. Maksudnya, kalau makanan disantap untuk membuat fisik
kita tetap sehat dan segar maka membaca buku adalah agar pikiran kita menjadi
sehat dan segar. Bahkan ada yang menyebut, pikiran yang sehat dan segar jauh
berlipat-lipat manfaatnya daripada fisik yang sehat dan segar.
Sungguh beruntung jika kita banyak
memiliki pemimpin yang juga seorang pembaca. Tentu saja yang dibaca adalah
buku-buku berbobot, punya nilai positif. Apalagi kalau buku-buku tersebut,
berkait dengan pengembangan diri sang pemimpin. Lewat buku-buku tersebut, sang
pemimpin dapat menjadikannya sebagai cermin untuk menilai dan mengontrol diri,
sekaligus melakukan setiap saat melakukan otokritik terhadap dirinya sendiri.
Banyakkah para pemimpin kita gandrung
membaca buku? Jika banyak yang hobi membaca buku, adakah buku-buku itu juga
banyak yang terkait dengan pengembangan diri, buku yang mampu mengubah atau
memperbaiki prilakunya? Tampaknya cukup sulit juga kita mencari tahu pemimpin
yang gemar membaca buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar