Selasa, 20 Desember 2011

Kisah Sehelai Permadani


Untuk menyambung hidupnya dan ketiga anaknya, janda itu membuat kain tenun, yang dikerjakannya dengan sebuah alat tenun sederhana peninggalan suaminya.
Pada suatu hari, janda itu membuat sebuah permadani. Jari-jarinya yang keriput dengan sabar menenun.

Pekerjaan itu memakan waktu yang lama sekali hingga anaknya yang sulung dan penengah bosan untuk membantu ibunya. Tetapi, lain halnya dengan anaknya yang bungsu. Dengan setia ia membantu ibunya.

Kira-kita tiga tahun kemudian, barulah permadani itu selesai. Hiasannya indah sekali. Menggambarkan pemandangan desa lengkap dengan gunung-gunung dan ladangnya yang menghijau. Tenunan permadani itu tampak halus sekali.

Suatu hari, janda itu hendak menggantungkan permadani itu pada dinding. Tiba-tiba bertiuplah angin kencang. Sehingga permadani yang dipegangnya terlepas dari tangannya, lalu terbang ke udara.

Ketiga anaknya berusaha menangkap permadani itu, namun tidak berhasil karena terlampau tinggi. Karena sedih dan kecewa, akhirnya janda tua itu jatuh sakit. Ia menyuruh anak sulungnya mencari permadani itu.

“Anakku, carilah permadani itu hingga kau dapatkan kembali. Sebab benda itu adalah belahan jiwa Ibu?” demikian kata ibunya yang terbaring sakit.

“Baiklah, Bu. Aku akan mencarinya, kata si Sulung. “Kumohon restu Ibu.”
Maka berangkatlah ia keesokan harinya. Dalam perjalanannya, ia sampai di sebuah kuil. Kuil itu dihuni oleh seorang wanita sakti.

“Apa maksudmu ke mari, anak muda?” tanya wanita sakti itu kepada si Sulung. Maka dengan panjang lebar ia ceritakan segala hal ikhwal tentang permadani milik ibunya.

“Anak muda, sebenarnya permadani itu sekarang ada di Bukit Matahari, yaitu sebuah istana yang dihuni oleh bidadari. Untuk sampai di sana, kau harus menempuh perjalanan yang sangat sulit. Ada sebuah pegunungan salju dan pegunungan api,” kata wanita sakti menjelaskan.

Mendadak pucatlah wajah si Sulung mendengar penjelasan wanita sakti itu. Melihat hal itu, berkatalah si wanita sakti, “Jika engkau gentar, sebaiknya jangan pergi. Nanti malah akan membawa malapetaka bagi dirimu. Pulanglah, dan kau akan kuberi sekotak uang emas.”

Dalam hatinya si Sulung merasa malu, karena wanita itu mengetahui ketakutannya. Tetapi setelah membayangkan sekotak uang emas yang akan menjadi miliknya, dibuangnya rasa malu itu jauh-jauh.

Setelah ia menerima sekotak uang emas dari wanita sakti tadi, ia tidak terus pulang. Ia pergi ke tempat lain dan uangnya ia pergunakan sendiri untuk bermewah-mewah.
Setelah satu tahun di tunggu-tunggu tiada muncul, maka janda itupun mengutus anaknya yang nomor dua untuk berangkat mencari permadaninya.

Tak beda dengan kakaknya, si Penengah ini bertemu dengan wanita sakti penghuni kuil. Setelah mendengar penjelasan wanita sakti, ia pun tidak jadi meneruskan perjalanannya. Oleh wanita sakti ia diberi sekotak uang emas.

Dengan sekotak uang emas terpeluk di tangannya, ia meninggalkan kuil itu dan pergi ke tempat lain untuk bersenang-senang dengan uang emasnya.

Akhirnya, setelah kedua anaknya tidak juga pulang, punahlah harapannya untuk mendapatkan kembali permadaninya. Ia tak tega mengutus anaknya yang bungsu, karena masih terlampau kecil. Tetapi si Bungsu mendesak ibunya agar diperbolehkan mencari permadani yang hilang.

“Tidak, Nak. Ibu tak tega melepaskanmu untuk mencari permadani itu. Biarlah permadani itu hilang. Toh umurku tak akan panjang,” kata ibunya setelah mendengar maksud anaknya.

“Tetapi, Ibu. Bagaimanapun juga permadani itu harus kembali dan Ibu akan kembali sembuh. Betapa Ibu telah susah payah menenunnya,” kata si Bungsu.

Karena didesak terus-menerus, akhirnya janda itu melepaskan kepergian anaknya dengan berat hati.

Dalam perantauannya, ia pun sampai di kuil yang dihuni oleh wanita sakti. Seperti halnya kepada kedua kakaknya, wanita memberikan penjelasan setelah mengetahui maksud si Bungsu.

“Tetapi saya tak akan pulang dengan tangan hampa. Bagaimana pun permadani itu harus kembali,” kata si Bungsu tegas.

Wanita sakti tersenyum, lalu berkata,
“Kembali sajalah, dan kau akan kuberi sekotak uang emas.”

“Tidak, ibuku tak akan sembuh dengan sekotak uang emas.”

Melihat tekad bulat si Bungsu, ibalah hati wanita sakti itu.
“Baiklah, anak muda. Kalau itu sudah tekadmu, aku akan menolongmu,” kata wanita sakti sembari tersenyum.

Dengan pelahan-lahan didekatinya si Bungsu. Diambilnya gigi geraham si Bungsu. Ajaib! Si Bungsu tak merasakan sakit sama sekali.

Wanita itu memasukkan gigi si Bungsu yang telah dicabutnya ke dalam moncong sebuah patung kuda yang terbuat dari kayu. Dan seketika itu pula, patung kuda menjadi hidup.

Patung berubah menjadi seekor kuda bertubuh tegap dengan surainya berwarna putih bersih. Demikian pula dengan tubuh dan ekornya, semua serba putih dan bersih.

Si Bungsu termangu sejenak oleh keajaiban yang baru saja dialaminya. Tetapi ia segera ingat bahwa wanita itu sakti. Jadi tak heranlah bila ia berbuat sesuatu yang ajaib.

“Nah, anak muda. Pakailah kuda ini sebagai kendaraan. Ia akan mengantarmu ke bukit Matahari yang terletak di atas awan. Selamat jalan dan semoga kau berhasil,” kata wanita sakti.

“Terima kasih,” ucap si Bungsu pendek. Ia lalu naik ke atas kuda pemberian si wanita sakti. Serendak kuda itu berlari dengan cepat sekali.

Setelah melewati pegunungan salju dan pegunungan api selama tiga hari tiga malam, barulah ia sampai di Bukit Matahari. Yaitu sebuah istana yang indah sekali.

Dengan perlahan-lahan ia masuk pintu gerbang. Sepi sekali. Di sebelah timur pintu gerbang ada sebuah pintu masuk ke sebuah ruangan. Dengan mantap ia masuk ke dalam ruangan itu.

Di dalam ruangan dilihatnya beberapa wanita cantik sedang menenun. Ia mengira itulah yang disebut bidadari. Si Bungsu melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Tiba-tiba hatinya berdesir, di tengah ruangan tergantung permadani kepunyaan ibunya.
Seorang bidadari menghampirinya.

“Selamat datang di istana kami. Kami senang sekali kau datang ke mari. Kau si Bungsu bukan? Nah, itulah permadani yang tergantung di tengah ruangan. Kami kagum tenunan ibu. Kami bermaksud mencontohnya. Kalau ibu mengerjakannya dalam waktu tiga tahun, bagi kami cukup dua tahun saja. Besok pagi adalah hari terakhir bagi kami untuk menyelesaikannya,” bidadari itu terus saja bercerita sebelum si Bungsu sempat bertanya.

“Nah, tunggulah sampai esok hari, Anda boleh membawanya pulang. Sekarang beristirahatlah.” Lalu bidadari itu bertepuk tiga kali, dan muncullah seorang pelayan.

Lalu keduanya, bidadari dan pelayannya, bercakap-cakap dalam bahasa yang tak dimengerti oleh si Bungsu.

“Pelayan ini akan mengantarmu ke kamar istirahat.”

“Terima kasih,” hanya itu yang dapat diucapkan si Bungsu, karena hatinya amat gugup.

Di pojok ruangan, duduk seorang bidadari dengan alat tenun di hadapannya. Kain tenunannya sudah selesai. Ia sedang membandingkan hasil pekerjaannya dengan milik ibu si Bungsu. Tetapi tenunannya tidak sehalus tenunan ibu si Bungsu.

Karena kecewa, ia pun menyulam ke atas kain tenunnya. Ia berharap agar kecantikannya dapat bersatu dengan keindahan di dalam lukisan permadani milik ibu si Bungsu.
Keesokan harinya, si Bungsu telah bersiap-siap untuk kembali ke rumahnya. Tetapi ia tak menjumpai seorang bidadari pun di dalam ruangan yang kemarin dipakai untuk menenun oleh para bidadari.

Yang ditemuinya hanyalah permadani milik ibunya. Cepat-cepat, digulungnya permadani itu dan disandangkannya ke atas bahunya. Ia pun keluar dari ruangan itu.

Cepat sekali ia mengendarai kudanya meninggalkan istana Bukit Matahari. Namun demikian ia tidak terus pulang, melainkan singgah di kuil tempat wanita sakti tinggal. Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada wanita yang telah menolongnya itu.

Ketika gigi yang ada di dalam moncong kuda dicabut, seketika itu juga berubahlah ia menjadi patung kembali. Lalu wanita itu mengembalikan gigi si Bungsu ke tempatnya.
“Nah, kembalilah anak muda. Semoga ibumu lekas sembuh,” kata wanita sakti.

“Terima kasih atas pertolongan Anda,” kata si Bungsu. Lalu ia berjalan pulang.

Betapa bahagia hati si janda tua itu ketika anaknya pulang membawa permadaninya yang hilang. Seketika itu sembuhlah ia dari sakitnya.

Mereka menuju ke halaman dan membuka gulungan permadani. Ajaib sekali. Permadani itu semakin lama semakin bertambah besar.

Semua lukisan di dalamnya menjadi hidup. Betapa herannya dua anak beranak itu. Kemudian janda itu mengajak anaknya menuju ke daerah baru itu.

Dan tiba-tiba pada suatu tempat, mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Ternyata dialah bidadari yang telah menyulamkan dirinya ke atas permadani milik ibu si Bungsu.

Bidadari itu merasa senang dan bahagia tinggal di tempat itu. Oleh karenanya ia tak bermaksud kembali ke istana Bukit Matahari.

Beberapa bulan kemudian si Bungsu menikah dengan bidadari itu dan hidup bahagia dengan istri dan ibunya.


http://kidnesia.gramediamajalah.com/layout/set/print/Kidnesia/Cerita-Kita/Dongeng/Kisah-Sehelai-Permadani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar