Senin, 19 Desember 2011
Kisah Sahabat Nabi, Imran bin Hushain
Imran bin Hushain, Menyerupai Malaikat
Pada waktu Perang Khaibar, ia datang kepada Rasulullah SAW untuk berbai’at. Dan semenjak ia menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasul, maka tangan kanannya itu memperoleh penghormatan besar. Ia pun bersumpah pada dirinya, tidak akan menggunakannya kecuali untuk perbuatan utama dan mulia.
Pertanda ini merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus. Imran bin Hushain merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan kesalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah dan menaati-Nya.
Walaupun memperoleh taufik dan petunjuk Allah yang tiada terkira, namun ia sering menangis mencucurkan air mata. "Kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja," ia kerap meratap.
Kaum Muslimin takut kepada Allah bukanlah karena banyak melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa mereka. Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadah, rukuk dan sujud, tetapi ibadah dan syukurnya itu belumlah memadai nikmat yang telah mereka terima.
Pernah suatu saat beberapa orang sahabat bertanya pada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, kenapa kami ini... Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat dengan mata kepala. Tetapi bila kami meninggalkanmu dan berada di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri?"
Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan menampakkan dirinya menyalami kamu. Tetapi, yang demikian itu hanya sewaktu-waktu."
Pembicaraan itu kedengaran oleh Imran bin Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan berhenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut. Bahkan walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun. Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu itu. Ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan Allah Azza Wa Jalla.
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khatthab, Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami agama. Demikianlah, di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka ketika dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil berkah dan meniru teladan ketakwaannya.
Hasan Basri dan Ibnu Sirin berujar, "Tidak seorang pun di antara sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang datang ke Bashrah, lebih utama dari Imran bin Hushain!"
Dalam beribadah dan berhubungan dengan Allah, Imran tak sudi diganggu oleh apa pun. Ia menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam dalam ibadah, hingga seakan-akan dirinya bukan lagi penduduk bumi. Seolah-olah ia adalah malaikat, yang hidup di lingkungan malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman dengannya.
Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara kaum Muslimin, yaitu antara golongan Ali dan Muawiyah, Imran bersikap tidak memihak. Bahkan ia juga meneriakkan kepada umat agar tidak campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. "Aku lebih suka menjadi penggembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah ke salah satu pihak, biar meleset atau tidak," katanya.
Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, ia kerap berpesan, "Tetaplah tinggal di masjidmu. Dan jika ada yang memasuki masjidmu, tinggallah di rumahmu. Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia!"
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang. Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu menggangu selama 30 tahun, tak pernah ia merasa kecewa atau mengeluh. Bahkan tak henti-hentinya ia beribadah kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring.
Dan ketika para sahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil berkata, "Sesungguhnya barang yang paling kusukai ialah apa yang paling disukai Allah."
Dan sewaktu hendak meninggal, ia berwasiat kepada kaum kerabatnya dan para sahabatnya, "Jika kalian telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan!"
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan. Karena kematian seorang Mukmin seperti Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya. Itu tidak lain dari pesta besar dan mulia, di mana satu ruh yang tinggi dan diridhai dibawa menghadap-Nya.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/08/03/lpc6h4-kisah-sahabat-nabi-imran-bin-hushain-menyerupai-malaikat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar