Senin, 19 Desember 2011

Kisah Ma’ruf al-Kurkhi, Sang Murid Para Malaikat


Muhammad bin al-Mudzaffar berkata, “Diriwayatkan kepada kami bahwa semula kedua orang tua Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fairuz al-Kurkhi adalah orang Persia yang beragama Nasrani.

Keduanya menyerahkan pendidikan anaknya (Ma’ruf) sejak dini untuk belajar menulis kepada seorang alim. Suatu hari sang guru memberi pelajaran, katakan, ‘Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Dan Tuhan Ibu.’ Ma’ruf membantah dengan mengatakan, ‘Tuhan hanya satu.’ Kemudian sang guru memukulnya.

Guru pun melanjutkan pengajarannya untuk mengucapkan seperti yang semula. Lagi-lagi Ma’ruf menolak, dia mengucapkan, ‘Tuhan itu satu.’ Pada lain hari sang guru memukul dengan pukulan yang lebih keras, maka Ma’ruf pun melarikan diri.

Nampaknya kedua orang tua Ma’ruf tidak mampu lagi bersabar. Hampir-hampir keduanya berputus asa karena sangat khawatir dengan pembangkangan Ma’ruf. Akhirnya kedua orangtua Ma’ruf berkata, ‘Mudah-mudahan dia menemukan suatu agama yang berkenan di hatinya sehingga kita bisa turut memeluk agama itu.’
Ma’ruf, yang masih anak-anak itu terus berjalan mencari kebenaran sehingga bertemu dengan Ali bin Musa ar-Ridha, lalu menyatakan dirinya masuk Islam dihadapannya. Ia hidup dengan beliau dan membantu beliau dalam tempo yang tidak sebentar.

Tak berapa lama kemudian, ia minta izin kepada Ali bin Musa untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia tiba di rumah pada malam hari, setelah mengetuk pintu, orang tuanya bertanya, ‘Siapa?’ Ma’ruf menjawab, ‘Saya!’ Sebelum membuka pintu, orang tua Ma’ruf bertanya, ‘Sekarang kamu memeluk agama apa?’ Ma’ruf menjawab, ‘Islam.’ Kedua orang tuanya mempersilakan masuk dan memeluk Islam. Allah telah berkenan mengumpulkan keluarga ini dalam agama Islam’.”

Di antara riwayat yang sampai kepada kami adalah bahwa, “Ma’ruf mengajarkan agama yang dipeluknya dengan ucapan-ucapan yang tidak disukai kedua orang tuanya. Sehingga si Ibu berkata kepada sang ayah, ‘Anakmu ini masih sangat kecil, tidak pantas berkata-kata demikian. Jalan pikirannya telah dirusak oleh sebagian umat Islam, sebaiknya ia dilarang keluar rumah saja. Keputusan ini lebih baik untuk anak kita.’

Beberapa hari ia disekap dalam kamar rumahnya. Namun sang ayah tidak tega, lalu melepasnya. Akan tetapi Ma’ruf malah kembali mengunci diri di dalam kamar. Ia tidak mau keluar sebelum kedua orang tuanya memaksa untuk keluar kamar, sampai-sampai sang ayah bertanya, ‘Mau berapa lama lagi kamu akan mengunci diri dalam kamar?’

Ma’ruf menjawab, ‘Ayah, sebenarnya ketika aku berada di dalam kamar ini, aku mendapatkan seseorang yang mampu memberi pencerahan yang ayah ibuku sangka bahwa dia merusak jalan hidupku dan berdampak buruk pada ayah ibu berdua.’

Ayah Ma’ruf bertanya, ‘Siapa dia?’

Ma’ruf diam, tidak memberi jawaban. Sang Ayah marah kepada si Ibu, ‘Ini gara-gara kamu! Anak kesayanganku jadi gila!’ Sang ayah lalu membawa Ma’ruf pergi menemui seorang pendeta, untuk menceritakan kejadian tersebut dan agar pendeta bersedia menjampi dan mengobatinya.

Sang pendeta bertanya kepada Ma’ruf, ‘Siapakah yang dia maksud merusak jalan pikiranmu sehingga berdampak buruk kepada kedua orang tuamu?’

Ma’ruf menjawab, ‘Hati kecilku! Dia senantiasa merenungkan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi juga memikirkan mengapa bisa demikian indah!’

Sang pendeta bertanya lagi, ‘Kalau begitu, bagaimana menurut pendapatmu wahai Ma’ruf mengenai renunganmu itu?’

Ma’ruf menjawab, ‘Menurutku, di sana hanya ada satu Dzat yang mampu mengatur seluruh alam raya ini, tidak boleh ada seorang pun yang menyerupai Dzat itu. Sebab sekiranya ada tentu ia ingin berbuat seperti yang telah diperbuatnya.’

Pendeta berkata, ‘Kalau demikian, tetaplah kamu di situ, sebentar lagi aku datang menemuimu.’

Kemudian pendeta kembali ke biaranya untuk mengambil tinta dan pena. Ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ma’ruf, lalu menulis jawabannya. Selanjutnya pendeta berkata kepada Fairuz (ayah Ma’ruf), ‘Wahai Fairuz, Sekiranya engkau berkata kepadaku bahwa anak ini adalah anakku, tentu aku akan mengatakan bahwa dia adalah salah satu murid para Malaikat.’

Fairuz bersama anaknya pulang dengan perasaan bahagia.

Ma’ruf berkata, ‘Peristiwa ini kemudian aku ceritakan kepada guruku Ali bin Musa ar-Ridha, beliau pun berkomentar, ‘Memang kamu salah satu murid para Malaikat’.” (Anba’ Nujabail Abna’, hal. 185-187.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar