Senin, 03 Agustus 2009
Jangan Undang Narablog ke Konferensi Pers
Blogger (narablog) bukan jurnalis. Tapi orang sering salah paham. Mereka mengira keduanya sama saja — pekerjaannya sama-sama menulis — lalu menerapkan strategi yang sama pula untuk menghadapinya.
Begitulah kesan yang saya tangkap ketika Rabu lalu saya diundang ke sebuah seminar tentang penanganan krisis perusahaan di ranah daring (online). Dalam acara itu, saya diminta memberi insight kepada peserta, yang terdiri atas kalangan humas dan pemasaran, perihal blog dan narablog.
Seorang peserta, brand manager sebuah perusahaan, bertanya, “Bagaimana mengontak para blogger? Di manakah alamat mereka? Bagaimana caranya bila saya ingin mengundang mereka ke konferensi pers?”
Sang manajer melontarkan pertanyaan itu karena belakangan kerap diminta dewan direksi melibatkan narablog di setiap program kampanye pemasaran. Masalahnya, dia tak tahu ke mana menghubungi narablog.
Pertanyaan seperti itu bukan yang pertama kali saya dengar. Bahkan hampir di setiap kesempatan pelatihan, ada saja yang mengajukan pertanyaan sama. Saya menduga, meski blog sudah populer, masih banyak staf humas dan pemasaran yang memang belum benar-benar mengenal sosok narablog, di mana mereka berada, bagaimana mereka bekerja, dan seterusnya.
Akibat minimnya pengetahuan itu, pertanyaan yang diajukan pun kurang tepat. Contohnya, manajer tersebut menanyakan cara mengundang narablog ke konferensi pers. Padahal, sesuai dengan namanya, acara itu untuk pers. Bukan narablog.
Narablog bukan pekerja pers. Narablog adalah orang-orang yang memakai media blog untuk menerbitkan ekspresi personal mereka. Bisa berupa teks, foto, audio, video, maupun gabungan dari semuanya.
Sementara jurnalis merupakan produsen informasi, narablog itu prosumen, konsumen sekaligus produsen. Jurnalis bekerja untuk perusahaan pers. Narablog memiliki dan mengelola media masing-masing: blog. Jurnalis tunduk kepada aturan perusahaan, kode etik, dan Undang-Undang Pers. Narablog tidak.
Jurnalis bisa dicari di kantornya, narablog ditemukan dengan cara mengetikkan url blognya. Narablog tak memiliki kantor bersama atau markas seperti halnya para jurnalis atau anggota partai. Untuk mengontak mereka, cukup mengirimkan e-mail, yang biasanya ada di halaman kontak sebuah blog.
Berbeda dari para jurnalis, narablog bukan kelompok yang harus mencari berita di lapangan. Mereka bahkan bisa tak peduli terhadap undangan jumpa pers. Kecuali kalau konferensi pers itu dianggap menarik minat dan penting, baru mereka datang.
“Oh iya, Mas. Masak saya pernah diundang ke konferensi pers sebuah perusahaan program antivirus pada Sabtu pagi. Padahal saya ndak tahu apa-apa soal virus. Dan Sabtu itu hari keluarga. Apa ndak ngawur itu namanya, Mas?” kata Mat Bloger.
Format acara untuk narablog harus dibedakan karena berpengaruh pada strategi penyampaian pesan. Narablog lebih tepat diundang dalam sebuah pertemuan berlabel “kopi darat”, yang formatnya kasual. Narablog lebih suka diajak ngobrol, berdialog, ketimbang dicekoki informasi satu arah, seperti yang biasa terjadi dalam sebuah konferensi pers.
Staf humas atau pemasaran tak bisa menganggap semua narablog itu saja. Narablog adalah komunitas yang heterogen. Pekerjaan mereka sehari-hari berbeda-beda. Kesibukan mereka tentu berlainan pula. Carilah waktu yang pas jika ingin mengundang mereka.
Dengan lebih memahami profil narablog, pekerja humas dan pemasaran akan dapat menentukan strategi yang tepat untuk bekerja sama dengan narablog.
humas, jurnalis, marketing, narablog, strategi
http://blog.tempointeraktif.com/blog/jangan-undang-narablog-ke-konferensi-pers/#more-762
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar