Senin, 01 Februari 2010

Kewalian


Syeik Abul Qosim al-Qusyairy
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha­watiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.s. Yunus: 62).

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti seorang wali, berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.“(Hr. Ahmad, Hakim dan Tirmidzi).

Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah swt.
Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya, “... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalia) orang-orang saleh.” (Q.s. AI-A’raf 196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.

Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan.

Kedua arti ini mesti ada pada seorangwali untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hakAllah swt. atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya, di saat senang maupun susah.

Salah satu persyaratan seorang wali adalah bahwa Allah
melin­dunginya dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum). Siapa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang dari syariat Allah swt. berarti telah tertipu.

Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjid. Abu Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata, `Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt ?”

Terdapat ketidaksepakatan di kalangan kaum Sufi mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau bukan. Sebagian mereka mengatakan,
“Hal itu tidak diperbolehkan. Sang wali harus selalu introspeksi dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu karomah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika karomah tersebut merupakan godaan dan dia senantiasa merasa takut jika keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaannya sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan keteguhannya hingga akhir hayat.

Akan tetapi, sebagian Sufi mengatakan, “Boleh saja seorangwali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat kewalian di saat ini.”

Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorangwali akan dianugerahi suatu karamah tertentu yang dengannya Allah memberitahukan kepadanya mengenai kepastian keadaan akhirnya. Sebab, kepercayaan terhadap karomah seorang wali adalah wajib. Yakni, walaupun ia dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan me-Mahabesarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu sendiri.

Ketika Nabi saw bersabda, “Sepuluh orang sahabatku akan berada di surga,” maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw dan mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami`secara benar mengenai kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, disamping itu juga pengetahuan tentang hakikat karomah. Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu karomah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia tidak membedakan antara karomah dan lainnya. Jika menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.

Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan datang dengan tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini sendiri adalah suatu karomah. Ajaran tentang - karomah wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi. Di antara syeikh yang menyepakati hal ini dan pernah saya jumpai adalah Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq.[pagebreak]

Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada seseorang, “Apakah engkau ingin menjadi wali Allah?” Dia menjawab, “Ya.” Ibrahim lalu, berkata, “Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta, kekayaan duniawi ataupun ukhrawi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah swt semata. Palingkanlah mukamu kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu wali-Nya.”

Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut, “Mereka itu adalah hamba-hamba yang berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah mujahadah ketika mereka mencapai tahapan kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan, “Wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak seorang pun yang boleh melihat para pengantin selain mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang melihat mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”

Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah seorang yang saleh, menuturkan, “Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr at-Thamastany di pekuburan al-Hirah dan mengukir namanya pada nisan itu, namun tiba-tiba digali dan dicuri orang, meskipun makam-makam yang lain tidak. Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepada Abu Ali ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan kepadaku, `Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan memperbaiki kenangan kepadanya. Allah swt tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu hidupnya’.”

Sa’id bin Salam al-Nlaghriby mengatakan, “Kadang-kadang seorang wali termasyhur ke mana-mana, namun dia tidak akan tergoda oleh kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata, “Para wali tidak mengajukan tuntutan; mereka justru merasa hina dan tersembunyi.” Dia juga mengatakan, “Pangkal perjalanan para wali adalah langkah pertama para Nabi.”

Sahl bin Abdullah mengatakan, “Wali adalah dia yang selalu melakukan perbuatannya selaras dengan Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Seorang wali berbuat sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik. Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang berwatak seperti itu!”

Abu Ali al Juzajany berkata, “Seorang wali adalah yang fana’ keadaannya namun tetap dalam musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu, cahaya kewalian melimpah.
Dia tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah swt.”

Abu Yazid mengabarkan, “Jatah para wali yang sudah ditentukan berasal dari empat Asma Allah. Masing-masing kelompok wali ber­buat sesuai dengan salah satu Asma tersebut: Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir (Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang Lahir) dan Al-Bathin (Yang Batin). Manakala seorangwali fana’ dari nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah manusia kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya berasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan kekuasaan-Nya; Wali yang mendapatkan bagian dari Al-Bathin, akan menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam rahasia batin dari cahaya-Nya; Wali yang bagiannya dari Al-Awwal disibukkan dengan masa lampau; Wali yang namanya berasal dari Al-Akhir akan berhubungan dengan masa yang akan datang. Masing­masing diberi keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali yang telah dipilih oleh Allah swt. dan dipelihara untuk Diri-Nya.”

Kata-kata AbuYazid ini menunjukkan kelompok terpilih di antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya sibuk dengan masa depan, ataupun masa lalu dalam benaknya, juga bukan karena jalan ruhani yang telah dilewatinya.
Demikian keadaan ruhani mereka yang telah mencapai hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Seperti difirmankan Allah swt
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur.” (Q.s. Al-Kahfi:18).[pagebreak]

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Seorang wali adalah wewangian Allah di bumi, yang dicium baunya oleh para shiddiqin, hingga bau itu menyentuh kalbunya, sampai mereka terbelenggu rindu pada Tuhannya, Ibadat mereka senantiasa bertambah menurut derajat akhlaknya.”

Muhammad al Wasithy ditanya, “Bagaimana seorang wali dibesarkan dalam kewaliannya?” Dia menjawab, “Pada awalnya, dia dibesarkan dengan ibadatnya. Untuk mencapai kematangannya, dia dibesarkan dengan tabir melalui kelembutan-Nya. Kemudian Dia mengembalikannya ke dalam sifat-sifatnya yang terdahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya menikmati rasa keteguhannya dalarn waktu-waktunya.”
Dikatakan, “Tanda kewalian ada tiga: Dia sibuk dengan Allah swt, dia lari kepada Allah swt, dan dia hanya bercita-cita kepada Allah swt.” Al-Kharraz berkata, “Jika Allah swt. berkehendak mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang dzikir kepada-Nya. Jika dia telah merasakan manisnya dzikir, maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan. Lantas dinaikkan ke tahta kesukacitaan ruhani. Kemudian dia ditempatkan­Nya di atas tahta tauhid. Kemudian dibukalah tabir dan dimasukkan ke dalam rumah Ketunggalan. Disibakkan baginya Keagungan dan Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang Kebesaran dan Keagungan, la tetap tanpa dirinya. Pada saat seperti itu si hamba menjadi fana’. Setelah itu dia akan berada di dalam perlindungan Allah swt, bebas dari kecenderungan dirinya sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan, “Manakala hati seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt, maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”

Dikatakan, “Salah satu sifat seorang wali adalah bahwa dia tak punya rasa takut, sebab takut adalah suatu keadaan yang dibenci yang menempati di masa datang. Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu. Sedangkan wali adalah anak waktunya, tak ada gambaran di depan hingga ia harus takut, atau tak ada harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu yang tercinta untuk datang, atau bahkan yang dibenci kelak terbuka kedoknya. Hal itu juga berada di luar lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa sedih, sebab sedih adalah penderitaan dalam waktu. Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan cahaya ridha dan tentramnya selaras dengan­Nya akan tertimpa kesedihan?

Allah swt. berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allahitu, tidak ada kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.s. Yunus: 62).

http://sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=213:kewalian&catid=85:artikel&Itemid=281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar