Rabu, 23 Desember 2015

Dosa Besar Ke-65: Jidal (Suka Berdebat)




https://www.youtube.com/watch?v=0wTtWFEJwHs

Assalamu'alaikum, Bismillah, 

Asy Syaikh Abu Ibrahim Muhammad bin 'Abdul Wahhab Al Wushobi Al Abdaly hafizahulloh  Wahai penuntut ilmu, jika kamu membuka pintu debat bersama temanmu maka sunguh kamu telah membuka pintu penyakit fitnah buat dirimu. Apabila seorang penuntut ilmu tidak menjauhkan diri darinya, tentu akan mendapat marabahaya. 

Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: 
"Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan petunjuk kecuali Allah berikan kepada mereka ilmu debat."Kemudian baginda membaca:  ('Mereka tidak memberikan perumpamaan kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar')." [HR. At Tirmidzi dan selainnya dari shahabat Abu Umamah Al Bahily). 

Saya masih teringat seorang teman ketika awal belajar di Madinah, mungkin kurang lebih dua puluh empat atau dua puluh lima tahun yang silam, dia terkenal banyak berdebat. Terkadang dia berdebat mulai setelah isya' sampai akhir malam.

Ternyata pada akhirnya dia mendapatkan kegagalan, tidak menjaga waktu, tidak beristighfar, bertasbih, bertahlil, bangun malam, dan tidak menjalankan bimbingan Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam. 

Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam bukanlah suka berdebat. 
Tatkala Rosululloh pergi ke rumah Fathimah dan Ali ketika baginda ingin membangunkan keduanya untuk sholat malam, baginda mengetuk pintu dan berkata: "Tidaklah kalian bangun untuk sholat malam ? 

Ali mengatakan: "Sesungguhnya jiwa kami di tangan Allah, dia membangunkan sesuai dengan kehendak-Nya.

" Baginda Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam balik sambil memukul pahanya dan berkata: "Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat." QS. Al Kahfi: 54 

Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam tidak mendebat Ali, dan baginda menganggap apa yang dijawab Ali termasuk dari jidal (debat) dengan berdalilkan Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala: "Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat." (QS. Al Kahfi: 54). 

Wahai penuntut ilmu jauhilah dari perdebatan, kerana yang demikian itu menyebabkan kemurkaan dan kebencian di dalam hati. Katakan kepada temanmu apa yang kamu ketahui, kalau temanmu mengatakan tidak, kembalikanlah permasalahannya kepada syaikhmu, dan sekali lagi menjauhlah kaum dari perdebatan. 

Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:"Apabila kamu berselisih di dalam Al Qur'an maka tinggalkan tempat itu." [Muttafaqun 'Alaihi]

Maksudnya: “Oleh sebab itu jika mereka berhujah membantahmu maka katakanlah: Aku telah berserah diriku kepada Allah dan demikian juga orang yang mengikutku. Dan bertanyalah kepada orang yang diberi Kitab, dan orang yang buta huruf: Sudahkah kamu mematuhi dan menurut (agama Islam yang aku bawa itu)? Jika mereka memeluk  Islam, maka sebenarnya mereka telah medapat petunjuk; dan jika mereka  berpaling, maka sesungguhnya kewajipanmu hanyalah menyampaikan (dakwah Islam itu). Dan (ingatlah), Allah Maha Melihat (tingkah laku) sekalian hamba-Nya.” (Ali Imran: 20)

Sebelum kita menyimak apa yang dikatakan para ulama tentang perdebatan, kita hendaknya meresapi kandungan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal (debat untuk membantah)." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat: "Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zuhruf: 58]” (HSR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)


I. Perkataan Imam Asy-Syafii rahimahullah1. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafii rahimahullah:

وَكَتَبَ إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ، وَالْجُلُوس مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ مَعَ أَهْل الزَّيْغ وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا فِي كِتَابِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ .

Seseorang menulis surat kepada Imam Asy-Syafii menanyainya tentang berdebat dengan ahli kalam dan duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”

2. Az-Za’faroni berkata: Aku mendengar Asy-Syafii rahimahullah berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَهْلَ الْكَلَام إلَّا مَرَّةً وَأَنَا أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذَلِكَ .

“Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan setelah itupun aku beristighfar kepada Allah dari hal itu.”

3. Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata:

الْمِرَاءُ فِي الْعِلْمِ يُقَسِّي الْقُلُوبَ وَيُوَرِّثُ الضَّغَائِنَ .

“Berdebat dalam ilmu akan membuat keras hati dan mewariskan dendam.”


II. Perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah1. 

Beliau berkata:

كُلَّمَا جَاءَ رَجُلٌ أَجْدَلُ مِنْ رَجُلٍ تَرَكْنَا مَا نَزَلَ بِهِ جِبْرِيلُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ لِجَدَلِهِ ، وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ : { عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي } الْخَبَرُ .

“Apakah setiap datang seseorang yang lebih pandai berdebat dari orang lain, kami akan meninggalkan wahyu yang diturunkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam karena perdebatannya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terlah bersabda: ‘Wajib kalian memegang teguh sunnahku’.”

2. Abul Muzhaffar As-Sam’ani berkata dalam Kitab Al-Intishor Li Ahlil Hadits: Imam Malik rahimahullah pernah ditanya siapa ahli bid’ah itu. Maka beliau menjawab:

أَهْلُ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَكَلَّمُونَ فِي أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ وَكَلَامِهِ وَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ ، وَلَا يَسْكُتُونَ عَمَّا سَكَتَ عَنْهُ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ .

“Ahli Bid’ah adalah orang-orang yang berbicara tentang Nama-Nama Allah, Sifat-Sifat-Nya, Kalamullah, Ilmu-Nya, dan Taqdir Allah, dan mereka tidak diam dari perkara yang para shohabat dan tabiin diam darinya.”

3. Imam Malik rahimahullah berkata:

لَيْسَ هَذَا الْجَدَلُ مِنْ الدِّينِ بِشَيْءٍ .

“Tidaklah jidal ini sedikitpun dari agama Islam.”

Baca selanjutnya" Fatwa Al-Imam Asy-Syafii dan Ulama Madzhab Asy-Syafiiyyah: Larangan berdebat dan jidal Ahli Kalam


III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah1. Abdus bin Malik Al-‘Aththar berkata: Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:

أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ ، وَتَرْكُ الْخُصُومَاتِ، وَالْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ ، وَتَرْكُ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ.وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ ... لَا تُخَاصِمْ أَحَدًا وَلَا تُنَاظِرْهُ ، وَلَا تَتَعَلَّمْ الْجِدَالَ فَإِنَّ الْكَلَامَ فِي الْقَدَرِ وَالرُّؤْيَةِ وَالْقُرْآنِ وَغَيْرِهَا مِنْ السُّنَنِ مَكْرُوهٌ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لَا يَكُونُ صَاحِبُهُ إنْ أَصَابَ بِكَلَامِهِ السُّنَّةَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ حَتَّى يَدَعَ الْجِدَالَ .

“Pokok-pokok aqidah menurut kami adalah berpegang teguh dengan yang dipegang oleh para shohabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladani mereka, serta meninggalkan bid’ah. Karena semua bid’ah itu sesat. Dan juga untuk meninggalkan percekcokan dan duduk-duduk bersama ahlul ahwa, serta meninggalkan perdebatan, jidal, dan percekcokan dalam agama ... Janganlah engkau cekcok dengan seorangpun dan jangan mendebatnya. Janganlah engkau mempelajari jidal, sesungguhnya ilmu kalam dalam aqidah seperti dalam masalah taqdir, ru’yah (melihat Allah di hari kiamat), Al-Qur’an, dan lainnya adalah dibenci dilarang. Tidaklah pelakunya walau dia mencocoki aqidah (yang benar) dengan ilmu kalamnya menjadi ahlussunnah, sampai dia meninggalkan jidal.”

Baca selanjutnya" Fatwa Al-Imam Asy-Syafii dan Ulama Madzhab Asy-Syafiiyyah: Larangan berdebat dan jidal Ahli Kalam.

Imam Malik menegaskan hal yang penting ini, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Satibi dalam kitab al-’Itisom bahwa debat yang tidak berguna itu tidak termasuk dalam bagian agama sama sekali (bid’ah). Imam al-Lalikai menukil perkataan Imam Malik dalam kitab Syarhul Usul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah berkata,

“Aku membenci debat dalam permasalahan-permasalahan agama. Dan penduduk negri kita (Madinah) senantiasa membenci dan melarangnya, seperti berdebat seputar pemikiran Jahmiah dan Qadariah dan yang semacamnya. Dan aku membenci perbincangan, kecuali perbincangan yang akan mendatangkan manfaat berupa amal.”

Ibnu Abdil Bar menyatakan dalam kitab beliau Jami al-Bayan al-Ilmi, menukil perkataaan Imam Ahmad bahwa beliau berkata,
“Berpeganglah kalian dengan atsar sahabat dan al-hadits, dan sibukkanlah diri kalian dengan hal-hal yang bermanfaat. Jauhilah berbantah-bantahan, karena orang yang suka berdebat tak akan pernah beruntung.”

Beliau juga berkata,
“Tak akan pernah bahagia orang yang suka berdebat. Dan tidaklah engkau menjumpai seseorang yang suka berdebat kecuali di hatinya tersimpan sebuah penyakit.”

Imam al-Ajuri di dalam kitab beliau asy-Syari’ah, menyinggung pokok yang penting ini. Dia menukil perkataan Imam al-Auzai yang berkata,

“Hendaklah kalian berpegang teguh pada jejak generasi salaf walaupun kalian ditinggalkan manusia. Dan janganlah kalian tergiur oleh pendapat-pendapat orang belakangan walaupun dipoles dengan ungkapan-ungkapan indah.”

Inilah jalan para generasi Salafus shaleh. Mereka melarang manusia dari debat sia-sia tentang agama. Dan keengganan mereka untuk berdebat itu bukanlah karena mereka itu bodoh atau karena takut kepada manusia atau karena tidak mampu sebagaimana diduga oleh sebagian orang bodoh. Tetapi mereka mengekang dari hal itu semata-mata takut kepada Allah.

Sebagaimana dinukil Imam al-Ajuri dalam kitab beliau asy-Syari’ah dari Ibnu Sirrin, beliau berkata kepada seseorang yang mengajak beliau untuk berdebat,

“Aku mengerti apa yang engkau inginkan; dan sebenarnya aku lebih pandai bersilat lidah daripada kamu, tetapi aku tidak berselera untuk berdebat denganmu.”

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab beliau Fadlu Ilmi Salaf menegaskan ketentuan ini dan membantah orang yang menuduh bahwa generasi salaf (karena tidak banyak bicara) sebagai orang yang lemah dan bodoh. Beliau berkata,

“Sungguh telah terfitnah orang banyak dari generasi kiwari ini dengan penyakit suka bedebat atau berbantah-bantahan. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak bicara dan berdebat dalam masalah agama adalah lebih alim dari orang yang tidak banyak bicara dan berdebat. Hal ini sangat bodoh karena komentar-komentar generasi tabi’in lebih banyak dari pada komentar para sahabat, padahal para sahabat lebih alim dari tabi’in; dan begitu pula komentar-komentar generasi tabiut tabi’in lebih banyak dari generasi tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih alim dari generasi tabiut tabi’in.”


Adapun debat yang sesuai syari’at (dalam rangka mendakwahi orang-orang jahil, atau dalam rangka sama-sama mencari kebenaran) adalah yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya,

“Mereka berkata, Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami.” (QS. Hud:32)

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An’am:83)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata, Saya dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah:258)

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl:125)

…dan ayat-ayat lain yang semisalnya. Bahkan justru merupakan sesuatu yang wajib atau mustahab (yang dianjurkan). Jidal (adu hujjah) seperti ini tidaklah dilarang dan dicela oleh syari’at.
Beliau juga berkata,

“Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain) atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti; berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran, serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.

Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.

Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.”

Wallahua'lam.. Pesanan untuk diri ana juga insyaallah.. Barakaallahufeekum..
jika ada kesalahan dalam teks ini sila tegur untuk pembetulan diri ana insyaallah..

by
محمد عريف الحضرمي


http://fauzimasbor90.blogspot.co.id/2012/11/larangan-berdebat.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar