Ada sekelompok kecil umat Islam berpendapat
bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW adalah bid’ah tercela, bahkan dituduh
haram, dengan alasan Nabi SAW tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits
shahih yang menganjurkan. “Benarkah pendapat seperti ini, dan perlukah pendapat
ini diikuti?”
KH Ma’ruf Asrori mengawali ceramahmya
itu pada Peringatan Maulid Nabi Saw yang diselenggarakan Jam’iyyah Al-Islah
Jemurwonosari Surabaya, Ahad (12/1)
“Seandainya
Nabi Saw. memang tidak pernah merayakan hari kelahirannya, dan tidak ada hadits
shahih yang secara tekstual menganjurkan merayakan Maulid ,
maka hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi
Saw. dan menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela,” kata Kiai Ma’ruf.
Menurutnya, umat Islam juga
mempertimbangkan dalil-dalil agama yang lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan
pemahaman secara kontekstual terhadap dalil-dalil syar’i. Karena itu, meskipun
telah dimaklumi bahwa Nabi Saw. tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada
hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan
ahli hadits dari berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan
perayaan Maulid Nabi Saw.
“Peringatan Mailid Nabi juga
didasarkan pada pemahaman secara kontekstual (istinbath/ijtihad)
terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits,” katanya.
Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi
dasar perayaan maulid adalah: “Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107) dan ayat “Dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Nabi Muhammad SAW sendiri
mengagungkan hari kelahirannya dengan puasa, sebagaimana hadis, “Dari Abu Qatadah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW
telah ditanya perihal puasa hari Senin, beliau bersabda: “Pada hari itu aku
dilahirkan dan pada hari itu pula wahyu diturunkan.”(HR. Muslim)
Ayat di atas memerintahkan kita agar
bergembira dengan karunia Allah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita.
Sahabat Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut berkata: “Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan
rahmat-Nya adalah Muhammad SAW.”
Dari
sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW merupakan
pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang memerintahkan kita bergembira
dengan rahmat Allah.
“Hal ini secara implisit memuat arti
perayaan itu sendiri. Hanya saja cara mengungkapkannya berbeda, namun maksud
dan tujuannya tetap sama. Artinya bisa dengan puasa, menjamu makanan, berkumpul
guna berdzikir, bershalawat atas Nabi SAW, ataupun menyimak perangainya yang
mulia.,” demikian KH Ma’ruf Asrori yang juga penasehat Jam’iyyah Al-Islah
sambil mengetengahkan ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang mendasarinya.
Pemahaman seperti ini perlu
diketengahkan. “Peringatan maulid Nabi yang setiap tahunnya diadakan tidak
sekedar seremonial belaka, tapi juga di-ilmiahi agar bernilai ibadah, dalam rangka
mensyukuri rahmat Allah SWT dan menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah.
”Apalagi kalau dilihat acaranya
sungguh padat dengan ibadah, seperti membaca al-Qur’an, shalawat, istighotsah
dan ceramah sekitar akhlak Nabi yang perlu kita teladani, seperti akhlak beliau
menjadi kepala keluarga, menerima tamu, dengan tetangga, menghadapi musuhnya
dan posisinya sebagai kepala negara,” ungkapnya di tengah ratusan warga
nahdliyin. (Red: Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar