Rabu, 05 Agustus 2009

Kembali ke Nurani


Suatu saat sejumlah sahabat berkumpul di hadapan Rasulullah saw dalam sebuah majelis. Di antara mereka ada seorang laki-laki bernama Wabishah bin Ma'bad, yang ingin sekali mengajukan pertanyaan perihal kebajikan dan dosa. Menanggapi pertanyaan itu Rasulullah saw meletakkan tangan di dada orang itu dan bersabda: ''Hai Wabishah, bertanyalah kepada dirimu sendiri. Kebajikan adalah apa yang dapat membuat hati dan jiwa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang bergejolak di dalam hati dan ketidakpastian di dalam dada, walaupun orang telah memberimu fatwa (nasihat, pertimbangan),'' (Hadis Riwayat Ahmad).

Hadis Nabi saw yang sangat ringkas dan tegas itu jangan diartikan bahwa kita tak perlu belajar fikih untuk mengetahui status hukum perbuatan kita. Tapi, hadis itu mengajarkan bahwa sesungguhnya hati nurani manusia tidak berbohong dan tidak dapat dibohongi. Walaupun orang dapat mengemukakan berbagai argumentasi dengan pertimbangan tertentu, hati nuraninya tetap ''independen'' dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang batil. Orang bisa saja berkelit dengan seribu satu macam logika untuk menutupi suatu kecurangan, namun hati nuraninya tak mungkin sepakat dengan ketidakjujuran yang dilakukan itu. Hati nurani senantiasa berpihak kepada kebenaran, maka kata hati yang merupakan ''kesadaran terdalam'' adalah suara kebenaran.

Di tengah situasi kehidupan yang berlangsung dinamis dan semangat reformasi yang terus menggema di sana-sini hingga saat ini, timbul nuansa-nuansa pemikiran dari berbagai kalangan -- baik yang ''ditokohkan'' masyarakat maupun yang ''menokohkan'' diri sendiri --di sekitar tema upaya membawa bangsa ini keluar dari berbagai macam krisis menuju keadaan yang lebih baik. Acap kali dalam situasi semacam itu orang ''terlalu bersemangat'' dengan retorika-retorika, dan berusaha mengklaim pandangan sendiri sebagai yang benar dan ideal, sementara pihak lain dituding sebagai yang salah atau keliru.

Nuansa-nuansa itu memang menambah semaraknya kebebasan berpendapat. Akan tetapi hal itu bisa jadi akan menjerumuskan massa awam --baik yang dilibatkan secara langsung maupun tidak-- kepada suatu krisis dan ''kebingungan'' baru, sebab tidak jarang ukuran kebenaran pendapat mereka itu paralel dengan kepentingan yang sangat relatif, yang orang lain mungkin tidak tahu.

Untuk itulah, seyogianya setiap pihak mempertimbangkan objektivitas sikap dan pandangannya dengan kembali ''bertanya kepada hati nurani'', dan tidak membohongi diri sendiri. Akhirnya, kita berharap dengan berkonsultasi kepada hati nurani itu kita akan mampu melihat dengan jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan yang ada di sekeliling kita, sebagaimana isyarat firman Allah (QS Al-Isra' (17): 81), ''Katakanlah: Kebenaran telah datang dan kebatilan pun telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.'' Mudah-mudahan Allah segera memberikan pertolongan-Nya kepada bangsa kita yang sedang mengalami ''cobaan nasional'' saat ini. Amiin yaa Mujib as-Sa'ilin. ahi


By Aminullah Elhady
Selasa, 04 Agustus 2009 pukul 11:25:00
http://www.republika.co.id/berita/66893/Kembali_ke_Nurani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar