Senin, 10 Agustus 2009

Meniti Buih Negara dan Pasar

Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:32 WIB

• Judul: Pertarungan Negara Vs Pasar • Penulis: Prof Dr Budi Winarno, MA • Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta, Mei 2009 • Tebal: viii + 264 halaman

Diskursus ihwal peran pasar dan negara sebagai penggerak perekonomian tidak pernah usai. Ajang kampanye kandidat presiden dan wakil presiden pemilu lalu, misalnya, telah mengerucutkan pertarungan negara versus pasar pada dua pilihan: ekonomi kerakyatan atau neoliberal. Moh Samsul Arifin

Di ranah politik, label neoliberal agaknya coba dihindari masing-masing kandidat. Seluruh kandidat mencitrakan diri—lewat iklan, pidato, dan diskursus—sebagai pihak yang peduli rakyat. Karena itu, hal ihwal yang bisa mendekat pada citra pro-rakyat, penjaga kepentingan nasional (nasionalis)—dan antiliberalisme me- ncuat.

Di sisi lain, pelabelan atau definisi atas apa yang disebut neoliberal atau pro-rakyat kerap kali mendistorsi makna atau hakikatnya. Bahkan, pada sejumlah kasus cenderung menyesatkan. Ada saja yang menafsirkan neoliberal sebagai ”serba pasar”, padahal penganut paham ini tidak identik dengan antinegara. Kalangan neoliberal menginginkan peran negara—direpresentasikan pemerintah—minimal sekali.

Situasi semacam ini bisa menjatuhkan publik pada pemahaman tak utuh atas urgensi negara dan pasar dalam menggerakkan roda perekonomian. Melalui buku ini, Budi Winarno, akademisi yang berjarak dengan riuh rendah perdebatan tentang ekonomi kerakyatan dan neoliberalisme ekonomi itu, ingin menekankan bahwa peran negara dalam era globalisasi sangat penting sekalipun desakan pasar yang begitu meminggirkan perannya sangat kuat.

Buat saya, lewat bukunya, dosen senior Fisipol UGM Yogyakarta ini berlaku bak intelektual seperti dikonstruksi Julien Benda pada buku fenomenalnya La Trahison Des Clercs (1927). Intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun, dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisi materi dan kepentingan sesaat.

Akar neoliberalisme

Penulis mendedahkan sejarah bagaimana neoliberalisme bangkit dengan melacak pada globalisme sebagai titik tolak. Neoliberal sepaket dengan globalisasi, yakni menempatkan pasar sebagai utama dan pokok. Globalisasi mendorong integrasi, di mana setiap individu, perusahaan, dan bangsa-bangsa akan terhubung satu sama lain dengan lebih cepat dan lebih murah. Ini menjadi pintu pembuka bagi pasar bebas dan liberalisasi perdagangan. Negara bangsa (nation state) lambat tetapi pasti menjadi kehilangan kedaulatan, digantikan pasar.

Eksistensi kelompok neoliberal atau Kanan Baru kian menonjol setelah kebijakan yang bersandar pada Keynesian remuk redam pada tahun 1970-an. Kebijakan ekonomi Keynesianisme dicirikan dengan tingginya kehadiran negara dalam menggerakkan perekonomian. John Maynard Keynes berpendapat, pasar tak mungkin mampu mengoreksi dirinya sendiri. Karena itu, pemerintah harus intervensi, setidaknya menerbitkan regulasi yang menjadi sandaran pelaku ekonomi.

Kelompok neoliberal menyerang kebijakan Keynesian yang dinilai meledakkan inflasi karena ekspansi uang dan peningkatan belanja publik. Penganut neolib juga menggugat program kesejahteraan dan welfare state. Program redistribusi pendapatan dinilai sebagai bentuk ketidakadilan. Para penerima santunan kesejahteraan disebut pemalas, oportunis, bahkan parasit sosial karena memperoleh uang dari anggaran pemerintah dan tidak menganggap kerja sebagai salah satu nilai tertinggi dalam masyarakat dan sebagai sumber kekayaan riil (hal 88-89).

Sekalipun fundamentalisme pasar menguat, tak berarti peran negara nihil. Dalam proses pembangunan, misalnya, selalu ada tegangan antara paradigma state led-development dan market driven development. Yang pertama, negara melakukan perencanaan dan menjadi aktor utama dalam proses pembangunan. Paradigma kedua meminta negara dikeluarkan dari pasar karena campur tangan negara hanya akan mendistorsi pasar dan membuat ekonomi tak berjalan efektif dan efisien. Sentralnya peran pasar terutama menonjol di Inggris pada masa Margaret Thatcher dan AS masa Ronald Reagen tahun 1980-an.

Harmoni Asia

Budi Winarno membawa pembaca menyelami keberhasilan praktik ekonomi di sejumlah negara Asia, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Hongkong, Malaysia, India, dan China. Pada kasus empat negara yang disebut pertama, penulis justru menunjukkan keberhasilan mereka tidak semata karena berlakunya pasar yang efisien. Dengan merujuk pada sejumlah studi, menurut penulis, tingginya pertumbuhan ekonomi merupakan pertalian banyak faktor. Keempat macan Asia ini memang berorientasi ke luar dan bersandar pada pasar internasional, tetapi keberhasilan pembangunan tersebut diwarnai kuatnya intervensi pemerintah.

Di Korea Selatan, peran negara dimanifestasikan dalam planned rational development strategy dan diejawantahkan dengan pengadopsian industrialisasi berorientasi ke luar, aktif dalam menarik kapital luar negeri, reformasi institusi, dan maksimalisasi pertumbuhan. Korsel bertumpu pada industrialisasi, tetapi negara ini tak lupa untuk memproteksi industri lokal.

Penanaman modal asing (PMA) juga dikendalikan. Pada dasawarsa 1970-an, PMA kurang dari delapan persen di Korsel. Dengan demikian, akses perusahaan multinasional ke pasar domestik tidak bisa leluasa. Yang tak boleh dilupakan, Korsel berupaya memengaruhi volume dan komposisi impor lewat perdagangan luar negeri yang selektif, lewat instrumen tarif dan kuota.

Untuk menopang dukungan luas rakyat (basis politik) semasa awal Korsel dan juga Taiwan melakukan land reform. Program ini berhasil mengurangi pengaruh kelompok elite pedesaan yang mungkin menolak industrialisasi (sebaliknya mereka malah mendukung) dan pemerintah mendapat surplus yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas dan output dari wilayah pedesaan (hal 148-174).

Serangkaian resep bagaimana negara hadir dan pasar berjalan efektif juga bisa ditemui dari pengalaman Malaysia, Hongkong, dan China. Pengalaman tujuh negara itu bisa dijadikan acuan untuk menyusun sistem ekonomi Indonesia masa mendatang.

Akhirnya, penulis buku menawarkan konsep negara sebagai mitra seperti dimunculkan Tina Rosenberg dan Joseph E Stiglitz. Ini sebagai jawaban atas kerisauannya atas laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) bahwa ketika pasar beroperasi terlalu jauh dalam kehidupan sosial dan politik, kesempatan dan manfaat globalisasi hanya akan menyebarkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Lalu, kesejahteraan hanya akan berada dalam kekuasaan segelintir bangsa, korporasi, dan kelompok.

Gagasan negara sebagai mitra menghendaki agar negara dan pasar saling bersinergi dan tidak saling menegasikan. Bagaimanapun negara merupakan sumber hukum (rule of law), sumber dari segala aturan main. Bekerjanya pasar secara efektif memerlukan peran aktif negara. Itulah negara ramah pasar.

Samsul Arifin Anggota Klub Buku dan Film SCTV

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/09/03325716/meniti.buih.negara.dan.pasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar