Dalam hal ini tidak ada cara-cara tertentu yang diperbolehkan selain cara-cara syari’at. Bahkan seluruh syari’at Islam, baik yang menyangkut masalah aqidah maupun masalah hukum, dari masalah yang paling besar hingga masalah paling kecil, semuanya berujung pada, ketakwaan, pembersihan jiwa dan peribadatan hanya kepada Allah semata.[1]
Penjelasannya adalah melalui contoh-contoh berikut:
1- Tauhid merupakan pembersihan jiwa.
Tauhid ialah meng-Esakan Allah dengan melakakukan peribadatan dan penyembahan hanya kepadaNya saja.[2] Segala peribadatan yang berbentuk permohonan, cinta, takut, tawakal, taat, malu dan lain-lain dari gerakan-gerakan hati, lidah maupun anggauta badan, hanya dipersembahkan kepada Allah saja, dengan mengikuti ketentuan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.
Tauhid yang intinya adalah penyembahan hanya kepada Allah saja ini merupakan penyucian jiwa yang paling besar dan paling penting. Sebab, itulah tujuan pokok diciptakannya manusia dan jin. Orang yang bersih tauhidnya adalah orang yang bersih jiwa dan hatinya.
Lawan dari tauhid adalah syirik. Jika tauhid merupakan kebersihan jiwa yang paling besar, maka kemusyrikan merupakan kotoran jiwa yang paling besar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah orang-orang yang najis. (QS. At-Taubah/9 : 28)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat itu bukanlah najis dalam arti fisik. Tetapi najis jiwa dan agamanya.[3]
Dengan demikian, jika orang ingin melakukan proses pembersihan jiwa, maka hal pertama dan paling utama untuk dilakukan adalah membersihkan tauhidnya dari segala macam syirik. Misalnya tidak datang untuk meminta sesuatu kepada dukun atau orang ‘pintar’, tidak meminta-minta kepada kuburan orang shaleh dan tidak ngalap berkah ditempat-tempat keramat atau kuburan-kuburan yang diagungkan.
2- Wudhu’
Wudhu’ juga merupakan proses penyucian jiwa, di samping membersihkan fisik dari kotoran yang melekat pada anggauta fisik tertentu. Imam Nawawi rahimahullah, dalam Riyadhus Shalihin,[4] membawakan satu ayat tentang keutamaan wudhu’ ini, yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! , Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci; usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’matNya bagimu, agar kamu bersyukur. (Al-Ma’idah/5 : 6)
Beliau juga membawakan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa barangsiapa berwudhu’ dengan benar dan baik, maka kotoran-kotoran jiwanya, berupa dosa dan kesalahan-kesalahannya akan lenyap.
Di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Siapa yang berwudhu’, dan ia memperbagus wudhu’nya, maka akan keluar kesalahan-kesalahan dirinya dari jasadnya hingga keluar pula melalui bawah kuku-kukunya. HR. Muslim.[5]
Jadi, kegiatan ibadah wudhu’pun sebenarnya merupakan pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran dosa.
Demikian pula tayamum serta mandi besar, baik mandi junub, mandi jum’at maupun mandi hari raya. Tentu dengan syarat ikhlas dan diniatkan sebagai peribadatan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3- Shalat
Shalat juga merupakan pembersihan serta penyucian jiwa. Karena shalat itu dapat menyingkirkan kotoran-kotoran yang berupa perbuatan keji dan munkar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya, shalat akan mencegah perbuatan keji dan munkar. (QS. Al-’Ankabuut/29 : 45)
Sesungguhnya di dalam shalat terkandung tiga unsur penting: ikhlas, takut kepada Allah, dan zikir serta mengingat Allah.
Unsur ikhlas akan mengendalikan pelakunya untuk berbuat kebaikan. Sedangkan unsur takut kepada Allah akan menghalangi pelakunya dari perbuatan munkar. Adapun unsur zikir serta mengingat Allah akan menjadikannya selalu waspada untuk tidak terjerumus ke dalam kejahatan.
Shalat juga merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Pelakunya akan merasa malu ketika menghadap Allah sedangkan ia membawa dosa-dosa besar serta perilaku-perilaku keji.[6]
Maka untuk menyucikan jiwa, cukuplah seseorang melaksanakan shalat dengan ikhlas, benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4- Zakat
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam, juga ibadah yang membersihkan jiwa. Zakat ini akan dapat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil, serta membersihkan diri dari dosa-dosa.[7]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan (jiwa) mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah/9: 103)
Zakat fitri, shadaqah-shadaqah lain serta infak, baik wajib maupun sunat, semuanya juga merupakan ibadah yang membersihkan jiwa dan harta dari kotoran-kotaran dosa.
5- Demikian pula ibadah puasa, haji serta menyembelih hewan korbanpun adalah amaliah ibadah yang membersihkan jiwa.
Bahkan seluruh syi’ar yang disyari’atkan dalam Islam adalah amal ibadah yang berfungsi membersihkan jiwa menuju kebaikan, ketakwaan serta peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
Penutup
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat difahami bahwa pembersihan jiwa hanya dapat terwujud dengan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara benar, mulai yang paling pokok hingga menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.
Barangsiapa yang menjalankan ketetapan-ketetapan Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia selalu membersihkan jiwanya. Dan barangsiapa yang enggan mengamalkan ajaran Islam atau mengamalkannya tetapi tidak berpedoman pada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia adalah orang yang mengotori jiwanya. Bahkan barangsiapa yang berusaha membersihkan dan menyucikan jiwa serta qalbunya, tetapi tidak berdasarkan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia justeru sedang mengotori jiwanya. Sebab syari’at Islam adalah syari’at yang sudah sempurna dan lengkap, tidak memerlukan penambahan, apalagi pengurangan.
Maka “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya“.(Asy-Syams: 9-10).
Ya Allah, bimbinglah kami menjadi orang-orang yang bersih jiwanya dan jadikanlah sebagai orang-orang yang beruntung. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
Penulis: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Artikel: www.UstadzFaiz.com
Catatan kaki:
[1] Al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus. Op.Cit. h.59 dst.
[2] Lihat Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syaikh, Syarh Tsalatsah al-Ushul, I’dad: Fahd bin Nashir as-sulaiman, Riyadh, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M, hal. 39
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz II, dan Tafsir Fathu al-Qadir juz II, QS. At-Taubah: 28
[4] Lihat Riyadhus-Shalihin, Daar Ihya’ at-Turats al-’Arabi & Maktabah al-Ghazali, Beirut, tanpa tahun, bab: Fadhlu al-Wudhu’, hal. 411 dst.
[5] An-Nawawi, Shahih Muslim Syarh an-Nawawi. Op.Cit. III/127, no. hadits: 577.
[6] Lihat al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus. Op.Cit. h. 63-64.
[7] Al-Hilali, Salim bin ‘Id, Syaikh, Bahjatu an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, KSA, Daar Ibni al-Jauzi, cet. V, J. Ula, 1421, juz II, hal. 346.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar