Minggu, 15 Januari 2012
Kebohongan Memang Menyenangkan
Ada sebuah teka-teki, sedikit janggal tapi cukup faktual untuk menggambarkan apa yang terjadi di tengah-tengah kita saat ini. Jika suatu malam, digelar sebuah makan malam di sebuah restaurant yang hanya menyediakan dua meja saja. Satu meja diisi oleh para moralis dan filsuf-filsuf besar seperti Immanuel Kant, David Hume dan yang lain-lainnya. Meja satu lagi diisi oleh para pembohong dan si mulut besar, seperti Machiavelli, Casanova, Rousseau, Ernest Hemingway dan Oscar Wilde.
Pertanyaannya, meja mana yang lebih ramai dan paling riuh?
Kira-kira jawaban Anda, meja yang mana?
Saya melakukan survey kecil-kecilan dengan mengajukan teka-teki di atas pada teman-teman dekat. Dan seperti dugaan, semua jawaban yang saya dapatkan, tentu saja meja yang lebih ramai dan paling riuh adalah meja kedua. Meja tempat berkumpulnya orang-orang bermulut besar dan para pembohong. Sejak awal saya juga sudah menduga, bahwa meja itulah yang lebih menyenangkan daripada meja para moralis dan para filsuf. Meja kebenaran adalah meja yang membosankan.
Saya mendapatkan teka-teki ini dari buku The Penguin Book of Lies. Termasuk salah satu buku klasik yang pernah diterbitkan oleh penerbit internasional Penguin. Terbit pertama kali pada tahun 1990. Istri saya menghadiahkan buku ini, setelah membelinya dalam keadaan bekas pakai di halaman sebuah masjid di wilayah Jakarta Selatan. Rezeki besar, batin saya. Buku bagus, dalam kondisi yang masih bagus, dengan content yang sangat bagus. Memuat sejarah kebohongan dalam sejarah manusia sejak era purba sampai zaman modern. Tidak saja kebohongan yang dilakukan oleh manusia, tapi juga oleh institusi bernama negara, media, bahkan sekolah.
Frederich Nietzche mengatakan, bagaimanapun kebohongan adalah sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan. “Lies are necessary to life,” begitu kata Nietzche.
Begitulah kehidupan kita saat ini, dibangun di atas konstruksi kebohongan yang bukan saja merajalela, tapi sudah menjadi semacam kebutuhan dalam hidup. Dengan kebohongan, hidup nampak lebih indah. Dengan kebohongan, sesuatu yang sulit menjadi mudah. Dengan kebohongan, kita seolah-olah menjadi lebih bahagia.
Kebohongan ada di mana-mana, di sekitar kehidupan kita. Di rumah, mungkin kebohongan tak pernah absen kehadirannya. Seperti dalam sebuah novel yang ditulis Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera atau El amor en los tiempos del cólera, ada sebuah dialog antara dua tokoh di dalamnya tentang perkawinan yang telah lama mereka bina. Di hari peringatan perkawinan, sang suami bersulang dengan istrinya untuk pernikahan mereka. “Untuk perkawinan kita. Dalam perkawinan, kebahagiaan bukanlah segalanya, tapi stabilitas adalah yang utama,” ujar sang tokoh.
Di ranah sosial yang lebih luas, kebohongan seolah menjadi tiket utama kesuksesan manusia. Lihat saja para politisi di negeri ini. Semakin besar mulut mengumbar bualan, semakin besar kemungkinan untuk menang. Tepat seperti yang digambarkan oleh Niccolo Machiavelli dalam The Prince yang ia tulis pada tahun 1532. “Prince never lacks legitimate reason to break his promise,” tulis Machiavelli.
Hari ini, kebohongan adalah kehidupan kita sehari-hari. Yen ora edan, ora keduman, kata Jayabaya dalam jongkonya. Kita dipaksa kompromi dengan dusta. Dan akhirnya, kita dipaksa menikmatinya. Lalu kita terlena. Terjerat dengan sangat erat. Nyaris tak punya daya untuk lepas dari bualan dan omong besar. Karena hanya dengan bualan dan omong besar, hidup menjadi lebih hidup. Apalagi yang dicari, selain hidup terasa lebih hidup. Jika harus bohong untuk mendapatkannya, biarkan saja.
Saya teringat kisah tentang Ka’ab bin Malik yang tak turut dalam perang Tabuk. Dalam kitab Riyadhus Shalihin diriwayatkan, Ka’ab sendiri berkata, “Aku tak pernah menemukan diriku sesiap ini, aku tidak pernah menemukan diriku sekuat ini.” Ia merasa sangat siap dan kuat untuk berangkat ke perang Tabuk. Tapi perjalanan perang itu ia tunda-tunda, dan akhirnya ia batal untuk bergabung dengan pasukan Muslimin lainnya.
Ketika Rasulullah dalam perjalanan pulang ke Madinah, hatinya berdebar-debar.
Mempersiapkan alasan-alasan yang akan ia jadikan hujjah mengapa tak turut berjuang di jalan mulia. Segala alasan telah ia kumpulkan, “Aku adalah lelaki dengan lidah yang tajam. Niscaya jika aku kemukakan alasan, Rasulullah akan menerimanya.” Persiapan kebohongan itu, ternyata tidak membuatnya bahagia. Akhirnya Ka’ab berterus terang, ia tak punya alasan ketika tak turut berperang.
Andai saja ia dusta, tentu ia tak dihukum demikian rupa. Selama berhari-hari ia dikucilkan, bahkan oleh istrinya sendiri. Tatapan matanya tak pernah bertemu dengan tatapan mata Rasulullah, lelaki yang paling dicintainya. Salamnya tak pernah dibalas oleh penduduk Madinah. Bumi yang luas, ia rasakan menjadi sempit menghimpit. Itulah yang harus dibayar untuk sebuah kejujuran.
Tapi ketika firman Allah turun, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. at Taubah:118) Ka’ab belum pernah merasakan hatinya bahagia, seperti kebahagiaannya saat ayat ini diturunkan sebagai tanda penerimaan atas taubatnya.
Apakah kita akan menukar ridha Allah dengan kebohongan yang terus kita ada-adakan dalam kehidupan kita? Mungkin saat ini kita bahagia, tapi tak akan ada manusia yang mampu menipu dirinya sendiri, terlebih menutupi kebohongannya di depan Allah SWT.
http://penerang.com/2011/04/04/kebohongan-yang-menyenangkan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Very inspiring post, terima kasih sekali sudah mengingatkan ttg pentingnya arti kejujuran yg jg merupakan bagian dr integrity :)
BalasHapus