Kamis, 26 Januari 2012

Menelusuri Jejak Dabiq: Tanda-tanda Akhir Zaman

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum sungai Eufrat menyingkap gunung emas, sehingga manusia saling membunuh (berperang) untuk mendapatkannya. Lalu terbunuhlah dari setiap seratus orang sebanyak sembilan puluh sembilan dan setiap orang dari mereka berkata: ‘Semoga akulah orang yang selamat’.’’ (HR Muslim).

Pertempuran paling besar akan berkecamuk di Suriah, dekat kota Damaskus, yakni disuatu tempat yang bernama A’maq dan Dabiq. “Kiamat takkan terjadi sehingga bangsa Romawi singgah di Al-A’maq atau di Dabiq. Lalu mereka diserbu oleh balatentara dari Madinah, yang merupakan penduduk dunia yang terbaik waktu itu’’. (Muslim bin Hajjaj dari Abu Hurairah RA)

Dalam hadis yang menerangkan tanda-tanda akhir zaman di atas disebut kata ‘Dabiq’. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi, Dabiq adalah padang rumput dekat kota Aleppo, Suriah. ‘’Dulu (Dabiq) dihuni Bani Marwan bin al-Hakim setelah memerangi kaum ash-Sha’ifah sampai teluk al-Mushaisah,’’ ujar Dr Sayuqi.

Di Dabiq, menurut Dr Syauqi, terdapat makam Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, khalifah Dinasti Umayyah yang berkuasa pada 715 M hingga 717 M. Selain dikaitkan dengan peristiwa yang akan menjadi tanda-tanda akhir zaman, Dabiq juga merupakan tempat bersejarah. Di wilayah itulah, pada 1516 pasukan dari Dinasti Turki Usmani berperang melawan pasukan Dinasti Mamluk.

Pertempuran antara dua kerjaaan Islam yang besar pada abad ke-16 itu bernama ‘’Perang Marj Dabiq’’. Inilah pertempuran militer yang paling menentukan dalam sejarah Timur Tengah antara Kekhalifahan Turki Usmani alias Ottoman dan Kesultanan Mamluk.

Pertempuran ini terjadi pada 24 Agustus 1515 di Dabiq, 44 km di utara Aleppo (Halab), Suriah. Marj Dabiq berarti ‘padang rumput Dabiq‘. Sultan Mamluk pada saat itu, Al-Ashraf Wansuh al-Ghawri, menghabiskan musim dingin tahun 1515 hingga musim semi tahun 1516 demi mempersiapkan pasukannya untuk merebut wilayah perbatasan Asia Minor.

Ketika ia sedang mempersiapkan pasukannya, seorang duta yang diperintahkan oleh Sultan Salim I dari Turki Usmani tiba di Mesir. Duta yang dikirim Kesultanan Ottoman itu menyatakan bahwa kerajaan yang berpusat di Turki itu masih bersahabat dengan Kesultanan Mamluk. Sang duta besar juga meminta agar perbatasan untuk perjalanan barang dagangan dan para budak tetap dibuka.

Pada musim panas 1516, Al-Ashraf bergerak dari Kairo dengan kekuatan yang besar, sekitar 20 ribu ksatria dan artileri. Dengan kekuatan penuh itulah pasukan yang dipimpin Al-Ashraf melakukan perjalanan menuju Suriah. Pemimpin negeri tersebut, Khalifah Al-Mutawakkil III, para syikh, anggota istana, muazin, dokter dan pemusik, mengikuti di atas keretanya.

Dalam perjalanan itu, Al-Ashraf juga bertemu dengan anak penerus tahta Turki Usmani yang juga keponakan Sultan Salim I, Ahmad. Al-Ashraf mengajaknya untuk turut serta dalam rombongan itu. Meski kedua kerajaan Islam itu bersitegang, penguasa Mamluk tetap memperlakukan Ahmad dengan sopan dengan harapan dapat mengambil simpati dari kekuatan Turki Usmani.

Rombongan Al-Ashraf pun akhirnya memasuki Damaskus pada bulan Juni. Ia disambut dengan meriah dengan karpet di bawah kakinya dan para pedagang Eropa yang mengelu-elukannya di antara orang ramai. Setelah menginap beberapa hari di Damaskus, ia kemudian berangkat kembali ke Homs dan Hama, lalu menuju Halab (Aleppo).

Sementara itu, duta besar lain dari Turki Usmani juga datang membawa hadiah-hadiah mahal untuk Sultan dan juga Khalifah Al-Mutawakkil III dan wakilnya. Ia juga membawa permintaan Raja Salim I, yaitu persediaan gula Mesir. Utusan yang ternyata sedang itu menyampaikan berita bahwa Turki Usmani akan melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Safawi.
Sebagai kunjungan balasan, Kanselir Mamluk, Mughla Baig, datang menemui Raja Salim I dan tak lupa membawa hadiah balasan. Namun ketika sampai di Kerajaan Turki Usmani, Raja Salim I justru tak menyambut kedatangan Mughla Baig dengan baik. Sultan justru justru menunjukkan kebenciannya terhadap orang Mesir.

Salim I memperlakukan kanselir tersebut dengan kasar dan mengirimkannya kembali dalam keadaan memalukan dengan kaki pincang. Mugla Baig pun pulang dengan kondisi yang memprihatinkan. Ia membawa kabar tentang sikap Raja Salim I yang memusuhi dan membeci Dinasti Mamluk.

Mengetahui kabar itu, Al-Ashraf marah. Ia mengambil sumpah setia dari para Emir, Qadi, dan orang-orang di kesultanan Mamluk. Hadiah-hadiah diberikan kepada mereka, yang sebelumnya tidak menerima hadiah. Sultan Mamluk sempat memperingatkan ketidaksetiaan seorang Gubernur Mamluk bernama Khayr Baig, dan menyarankannya untuk tidak ikut campur dalam masalah ini.

Pasukan yang dipimpin Al-Ashraf telah bersiap untuk bertempur. Mereka maju ke medan perang. Pada Agustus 1516, mereka berbaris di padang rumput Dabiq, sebuah wilayah yang ditempuh satu hari perjalanan dari Halab (Aleppo). Di sana mereka menunggu serangan musuh, karena di dataran inilah takdir kerajaan akan ditentukan.

Dalam pertempuran itu, pasukan Turki Usmani Salim I sempat berpikir untuk mundur, karena hampir kalah. Namun, keadaan berbalik. Setelah sempat keteteran, pasukan Turki Usmani justru balik unggul, baik dalam jumlah maupun artilerinya. Pasukan Mamluk pun dikalahkan oleh Turki Usmani.

Setelah kekalahan itu, orang-orang dari Mesir segera pergi menuju Damaskus, karena pintu gerbang ke Aleppo telah ditutup untuk mereka. Dinasti Mamluk benar-enar terpuruk. Sebaba, Khalifah Al-Mutawakkil III dan beberapa Emir telah berpaling dan berpihak kepada Turki Usmani.

Al-Ashraf pun meninggal dalam pertempuran itu. Namun ada beberapa beragam versi mengenai bagaimana Al-Ashraf menemui ajalnya. Ada yang mengatakan bahwa Khayr Baig menyebarkan kabar kematian Al-Ashraf, ketika ia dalam perjalanan bersama orang Mesir.

Ada pula yang menyebutkan bawah Al-Ashraf, ditemukan masih hidup di medan perang, dan kepalanya dipenggal dan dikubur agar tidak jatuh ke tangan musuh. Laporan dari pihak Turki Usmani menyebutkan bahwa Al-Ashraf dibunuh oleh seorang Turki yang seharusnya dihukum mati oleh Sultan Salim. Namun akhirnya ia diampuni.

Sultan Salim I masuk ke Aleppo dengan kemenangan. Ia disambut oleh penduduk sebagai seorang pembebas dari pendudukan orang-orang Mamluk. Khalifah menyambutnya dengan sangat baik. Bersama Khayr Baig dan beberapa pegawai Mesir, Salim I beralih menuju Citadel.

Dari Halab (Aleppo). Salim I melakukan pawai kemenangan menuju Damaskus. Sebagian kalangan mengira, sepeninggal Al-Ashraf, tahta kerajaan akan diduduki oleh Janberdi al-Ghazali, putranya. Namun ketika pasukan Turki Usmanu tiba, banyak dari mereka menyerahkan diri, namun tidak sedikit pula yang melarikan diri ke Mesir.

Salim I memasuki kota itu pada pertengahan Oktober. Para penduduk merasa senang. Mereka bersedia wilayahnya berada di bawah kendali dan kekuasaan Ottoman. Kesultanan Turki Usmani menguasai wilayah itu selama tiga abad

Dabiq adalah sebuah desa di Aleppo, Suriah. Desa ini terletak 23 mil (37 km) di utara Aleppo, dan 216 mil (374 km) di utara Damaskus. Dabiq terletak di jalan dari Kota Manbidj menuju Antakiya. Desa tersebut dilalui oleh sungai Nahr Kuwayk. Dabiq berada 450 meter di atas permukaan laut.

Desa ini juga dikenal dengan nama Dabigu atau Dabekon dalam bahasa Yunani. Desa ini terletak di tepi dataran luas padang rumput Dabiq di bawah kekuasaan Umayyah dan Abasiyyah. Para pasukan ditempatkan di Dabiq sebelum dikirim untuk operasi melawan Bizantium.

Dabiq terkenal sebagai lokasi peperangan antara bangsa Mamluk di bawah pimpinan Al-Ashraf Wanquh al-Ghawri dan Kerajaan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim I. Pasukan Turki Usmani berhasil membuktikan kekuatannya dengan mengalahkan pasukan Mamluk dan Al-Ashraf tewas di medan perang.

Kemenangan Sultan Salim I membuka jalan bagi mereka untuk memperluas wilayah kekuasaan di Suriah dan Mesir. Akibat dari perang ini, Kekhalifahan Abbasiyah dihapuskan dan kekhalifahan Turki Utsmani menjadi penguasa dunia Islam hingga 1924.

Dabiq juga menjadi tempat bersejarah karena di desa itu terdapat makam makam Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, khalifah Dinasti Umayyah yang berkuasa pada 715 M hingga 717 M. Ayahnya bernama Abdul-Malik bin Marwan. Ia adalah adik khalifah Dinasti Umayyah sebelumnya al-Walid I.

Di era kekuasaannya, Umayyah berhasil memperluas wilayah kekuasaan hingga bagian pegunungan di Iran seperti Tabiristan. Sulaiman juga memerintahkan serangan ke Konstantinopel, namun gagal. Ia juga telah membangun kota Makkah. Sulaiman hanya memerintah selama dua tahun dan mengangkat Umar bin Abdul Aziz, seorang yang bijaksana, cakap, dan berpribadi alim di masa itu.


Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/15/lxuj5g-menelusuri-jejak-dabiq-tandatanda-akhir-zaman-bag-1
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/15/lxukjr-menelusuri-jejak-dabiq-tandatanda-akhir-zaman-bag-2
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/15/lxukpk-menelusuri-jejak-dabiq-tandatanda-akhir-zaman-bag-3habis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar