Jumat, 13 Januari 2012
Kekayaan Hakiki
Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/01/13/lxqlqf-kekayaan-hakiki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar